Mempersoalkan Jerat Hukum Penyebaran Hoaks di Kasus Ratna Sarumpaet
Berita

Mempersoalkan Jerat Hukum Penyebaran Hoaks di Kasus Ratna Sarumpaet

Pasal yang paling mungkin menjerat RS melalui sangkaan Pasal 14 KUHP, tetapi itupun harus dapat dibuktikan korelasi tindakannya itu dengan keonaran yang timbul di kalangan rakyat. Sedangkan, pasal-pasal dalam UU ITE tidak dapat diterapkan dalam kasus RS.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Anggara pasal-pasal pidana penyebaran berita bohong terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi. Pertama, berita bohong harus dengan sengaja atau memiliki niat (jahat) untuk menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Kedua, orang tersebut harus mengetahui bahwa berita tersebut adalah berita bohong atau setidak-tidaknya harus memiliki persangkaan bahwa berita tersebut berita bohong.

 

Unsur pertama merupakan unsur paling krusial untuk dibuktikan yakni unsur “keonaran”. Keonaran yang dimaksudkan memiliki ukuran terjadi pergolakan dan kepanikan di masyarakat. Sementara dalam kurun waktu unggahan kesembilan orang tersebut beredar, tidak ada ‘keonaran’ atau ‘keributan’ apapun yang terjadi yang menimbulkan pergolakan di dalam masyarakat.

 

“Ukuran keonaran yang ditetapkan pasal ini sangat tinggi, sehingga penegak hukum tidak dapat secara serampangan menetapkan seseorang sebagai tersangka apabila unsur ini tidak terpenuhi. Hukum pidana ini tidak hanya melihat tindakan bohongnya saja, tetapi melihat dampak dari bohongnya tersebut,” kata Anggara.

 

Unsur kedua, orang yang menyebarkan berita bohong dan berlebihan harus mengetahui bahwa berita tersebut memang benar berita bohong atau patut menduga bahwa berita tersebut adalah berita bohong. Dalam contoh kasus ini, sebagian besar masyarakat yang menyebar berita bohong ini tidak mengetahui kebenaran yang ada di balik berita tersebut. Hal ini yang harus digali secara hati-hati oleh aparat penegak hukum. Sebab, unsur ini berhubungan dengan niat jahat pelaku tindak pidana (mens rea), apakah benar niat jahat tersebut ada di dalam perbuatannya. Jika niat jahatnya tidak dapat diketemukan dalam dirinya, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut sebagai tindak pidana ini.

 

“Bila hanya bohong masih jauh untuk dapat dipidana, kecuali berita bohong disertai keonaran dan disertai korban jiwa dan hilangnya nyawa seseorang. Saya juga tidak melihat apakah kasus RS dapat dikenai pasal lain.” (Baca Juga: Pentingnya Pembuktian Unsur Pidana dalam Menjerat Penyebar Hoaks)

 

Tidak dapat diterapkan

Senada, Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar menilai Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak dapat diterapkan dalam kasus RS. Sebab, penyebaran berita bohong dalam media elektronik, RS tidak menyinggung SARA karena ketentuan pasal itu mensyaratkan adanya unsur kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA.

 

Demikian pula Pasal 35 UU ITE yang intinya adanya unsur manipulasi informasi elektronik. Padahal, RS tidak pernah menyampaikan tindakannya (kebohongan) melalui elektronik. Sekalipun kepolisian menjerat Pasal 55 dan 56 UU ITE, sangkaan pasal kedua pasal itu masih harus dibuktikan lebih jauh bahwa RS menyuruh menyebarkan. “Jadi, tidak tepat menjerat RS dengan pasal-pasal pidana dalam UU ITE,” kata Abdul Fickar kepada Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait