Memperkuat Konsep Rehabilitasi Debitor Korporasi Insolven Kala Seluruh Utang Terlunasi
Kolom

Memperkuat Konsep Rehabilitasi Debitor Korporasi Insolven Kala Seluruh Utang Terlunasi

Apabila terbukti seluruh utang debitor PT telah terlunasi melalui proses pemberesan harta debitor insolvensi, dan debitor PT tersebut masih berkeinginan terus berbisnis, kurator dapat mengajukan permohonan rehabilitasi ke Pengadilan Niaga agar status pailitnya diangkat atau dicabut.

Bacaan 7 Menit

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bila ternyata sebaliknya, ketika ternyata seluruh utang mampu dilunasi oleh kurator dari hasil pemberesan harta milik debitor insolven?  Walaupun jarang, pelunasan seluruh utang melalui hasil pemberesan harta debitor insolven mungkin saja terjadi. Misalnya, karena keberhasilan kurator menguatkan future value debitor insolven melalui keberhasilan penertiban seluruh aset-aset; perbaikan kinerja going concern; dan keberhasilan mendapatkan komitmen investor. Tidak hanya melalui penyuntikan working capital, tetapi juga penyuntikan debt-settlement capital untuk melunasi utang-utang debitor insolven terhadap seluruh kreditornya.

Seperti yang telah diuraikan, UU Kepaiilitan dan PKPU pada intinya mengatur dua solusi penyelesaian utang debitor terhadap seluruh kreditornya yaitu: melalui penyelesaian damai dengan pembayaran secara tunai (cash settlement) dan melalui debt rescheduling ataupun debt restructuring. Bila tidak berhasil, penyelesaian utang akan dilakukan melalui hasil penjualan (forced sale) seluruh harta pailit. Bila salah satu dari solusi tersebut berhasil melunasi utang debitor pailit/insolven terhadap seluruh kreditornya, berdasarkan Pasal 215 UU Kepailitan dan PKPU terbuka peluang bagi debitor mengajukan rehabilitasi ke Pengadilan Niaga, seperti yang dikutip sebagai berikut:

Setelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166, Pasal 202, dan Pasal 207, maka debitor atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan rehabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit.”

Yang menjadi pertanyaan adalah, apa arti dan tujuan dari rehabilitasi, dan siapa yang berhak mengajukannya? Apakah hanya debitor pribadi (personal debtor)? Bukankah rehabilitasi juga bagian dari upaya penyelamatan debitor korporasi (corporate rescue), ketika masih mampu melanjutkan aktivitas berbisnis? 

Rehabilitasi dalam Prinsip Corporate Rescue

Dalam praktek, banyak kurator atau pemerhati hukum kepailitan cukup puas dengan pemahaman bahwa penggunaan kata “debitor atau ahli warisnya” dalam Pasal 215 UU Kepailitan dan PKPU menekankan seakan-akan pengajuan permohonan rehabilitasi hanya merupakan kewenangan dari debitor pribadi saja. Akan tetapi, bila kata “debitor” dalam pasal tersebut dihubungkan dengan tiga pasal pengakhiran kepailitan yaitu: Pasal 166, Pasal 202, dan Pasal 207 UU Kepailitan dan PKPU, serta definisi “debitor” berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menjadi lebih jelas bahwa permohonan rehabilitasi bukanlah hanya hak debitor pribadi, tetapi juga hak debitor korporasi. Dengan kata lain, penggunaan kata penghubung (konjungsi disjungtif) “atau” diantara kata “debitor” dan kata “ahli warisnya” dalam Pasal 215 UU Kepailitan dan PKPU tidak dapat diartikan bahwa yang dimakud dengan “debitor” hanyalah debitor pribadi.

Demikian pula halnya dengan penggunaan frasa “semula dinyatakan pailit” dalam Penjelasan Pasal 215 UU Kepailitan dan PKPU menegaskan bahwa pengertian rehabilitasi, tidak terbatas hanya pada “pemulihan nama baik”, tetapi juga termasuk pada “pengangkatan status pailit” yang sebelumnya telah dijatuhkan Pengadilan Niaga terhadap debitor, sehingga menjadi tidak lagi pailit. Pentingnya menghidupkan kembali (reinstatement) debitor PT yang telah dinyatakan bubar akibat insolvensi - tetapi terbukti telah mampu melunasi seluruh utangnya kepada kreditornya - untuk dapat kembali berbisnis sangat melekat dengan asas keadilan dan asas kelangsungan usaha sebagai tiang fundamental dari reformasi UU Kepailitan dan PKPU.

Ketidakjelasan tindakan kurator setelah pengakhiran kepailitan berdasarkan Pasal 202 selama ini telah mengakibatkan kepastian hukum. Tidak sedikit debitor korporasi yang telah insolven tidak diakhiri dengan likuidasi pembubaran, seperti dimaksud Pasal 142 ayat (2) huruf (a) UU PT, tetapi juga tidak direhabilitasi berdasarkan Pasal 215 UU Kepailitan PKPU.  Kurator hanya sekedar mengembalikan seluruh dokumen-dokumen milik debitor insolven atas alasan berakhirnya kepailitan berdasarkan Pasal 202 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU. Sehingga tidak sedikit debitor, yang secara hukum sebenarnya telah bubar, berubah menjadi “zombie” dan bahkan masih terus berbisnis setelah berakhirnya pemberesan.

Tags:

Berita Terkait