Memperkuat Arah dan Peran Organisasi Advokat
Utama

Memperkuat Arah dan Peran Organisasi Advokat

Hasil temuan penelitian ada beberapa hal yang kurang berkesesuaian dengan mandat dan implementasi UU Advokat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Fachrizal Afandi (tengah), Arsul Sani (kedua dari kanan) dalam diskusi peluncuran hasil riset Menerapkan Standardisasi, Memperkuat Akuntabilitas dan Nilai-Nilai Ideal Profesi Advokat: Studi Kelembagaan Organisasi Advokat di Indonesia, Kamis (27/7/2023). Foto: Rfq
Fachrizal Afandi (tengah), Arsul Sani (kedua dari kanan) dalam diskusi peluncuran hasil riset Menerapkan Standardisasi, Memperkuat Akuntabilitas dan Nilai-Nilai Ideal Profesi Advokat: Studi Kelembagaan Organisasi Advokat di Indonesia, Kamis (27/7/2023). Foto: Rfq

Adanya gap antara mandat UU No.18 Tahun 2018 tentang Advokat dengan praktik di lapangan dari berbagai organisasi menjalankan fungsinya meningkatkan kualitas advokat tidak merujuk pada satu sistem yang tersandarisasi. Akibatnya berdampak mengancam akuntabilitas advokat sebagai officium nobile dan Organisasi Advokat (OA) serta kurang menjamin akses terhadap keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

Demikian sekelumit inistisari dari hasil penelitian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bersama Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) Universitas Brawijaya yang diluncurkan di Jakarta, Kamis (27/7/2023). “Kita harus ingat, advokat sebagai bagian dari penegak hukum,” ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam sambutan pembukaan diskusi peluncuran hasil riset Menerapkan Standardisasi, Memperkuat Akuntabilitas dan Nilai-Nilai Ideal Profesi Advokat: Studi Kelembagaan Organisasi Advokat di Indonesia’ di Jakarta, Kamis (27/7/2023).

Eras begitu biasa disapa itu menerangkan, perdebatan di  kalangan dunia advokat lebih menitikberatkan pada persoalan single bar atau multi bar semata. Ternyata, hasil temuan dalam penelitian menemukan data di Direktorat Jenderal (Ditjen) Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ada 51 OA yang terdaftar

Nah, dalam konteks teknis 51 OA menjalankan fungsi organisasi profesi advokat. Masalahnya ketika Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan putusan Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUUXIII/2015), namun respons di lapangan tak maksimal. Terlebih respons pembentuk UU ternyata tidak sebanding dengan persoalan yang ada.

Baca juga:

Terlebih lagi dengan banyaknya OA yang bermunculan tidak memiliki standar etik yang satu dan mandiri. Begitupula dengan perbedaan skema profesi advokat dengan penegak hukum lainnya yang belum mampu dijawab. Oleh karenanya dibutuhkan negara hadir dalam mengatasi persoalan dunia advokat.

“Kita meminta negara hadir untuk bersama-sama mencari jalan keluar atas permasalahan advokat. Tapi advokat berbeda dengan penegak hukum lainnya yang bisa diatur negara, advokat bisa mengatur dirinya sendiri dan kemandirian,” ujarnya.

Tapi yang pasti, menurut Eras rekomendasi dari penelitian tersebut memuat tiga hal. Pertama, soal OA. Kedua, profesi advokat. Ketiga, menyoal kewenangan advokat yang melekat pada UU. Seperti pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan KUHP. “Kami berharap advokat bisa kembali ke officium nobile dan menjadi harapan menerima panggilan profesi yang mulia sebagai subsistem peradilan pidana,” ujarnya.

Peneliti senihor ICJR Fachrizal Afandi memaparkan hasil penelitian bersama tim. Menurutnya, dalam risetnya menemukan beberapa hasil temuan. Pertama, bentuk OA. Kondisi ideal berdasarkan UUU 18/2003 memang single bar. Namun realita di lapangan justru multi bar. Tak saja berbasiskan wilayah, namun secara organisasi pun berbeda-beda. Sepertihalnya data advokat tersebar berdasarkan data  berita acara sumpah di masing-masing pengadilan tinggi.

Bahkan masing-masing OA memiliki data jumlah anggota. Tapi sayangnya tak dapat diakses oleh publik sewaktu-waktu. Tak hanya itu, beberapa OA mengklaim telah melaporkan secara rutin ke Mahkamah Agung (MA) dan Kemenkumham. Namun MA tidak mengolah lebih lanjut dengan merekapitulasi data advokat secara nasional agar dapat diakses publik.

“Sedangkan Kemenkumham (Dirjen AHU, red) mengkonfirmasi tidak menerima data anggota organisasi advokat,” ujarnya.

Kedua, fungsi OA dalam menjalankan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), magang hingga mengajukan permohonan sumpah. Tapi hasil temuan menunjukan OA tidaklah tunggal. Termasuk pelaksanaan PKPA diserahkan ke masing-masing OA tanpa adanya standarisasi yang jelas. Pendidikan profesi lanjutan tidak diatur secara khusus dalam UU 18/2003, tapi sifatnya tidak wajib alias voluntary. Sementara beberapa OA memiliki divisi khusus. Probono dalam UU 18/2003 bersifat wajib bagi advokat. Tapi praktiknya di lapangan voluntary.

Ketiga,  dampak ketidakteraturan kelembagaan OA. Antara lain belum tercapainya fungsi OA dalam meningkatkan kualitas profesi advokat. Kemudian tidak adanya standarisasi dalam proses pengangkatan advokat yang dapat menjamin kualitas advokat berada di level kompetensi yang sama. Malahan lemahnya akuntabilitas advokat dalam konteks penegakan kode etik dan OA dalam menjalankan kewenangannya.

Dampak lainnya, menurut Fachrizal negara (eksekutif, yudikatif, -red) menerbitkan kebijakan yang berdampak terhadap ketidakteraturan kelembagaan OA, serta belum melaksanakan perannya secara optimal aspek fungsi pemantauan terhadap advokat dan OA. Padahal negara berkepentingan memastikan akses terhadap keadilan, termasuk masyarakat marjinal dan rentan. Begitupula tidak optimalnya pemenuhan kewajiban probono.

“Sulit memastikan ketersediaan advokat yang merata di wilayah seluruh Indonesia secara kualitas maupun kuantitas,” ujarnya.

Urgensi penguatan OA

Dosen hukum pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya itu melanjutkan, terhadap berbagai hasil temuan, diperlukan pengatan terhadap OA. Yakni OA mesti dirancang untuk dapat berperan aktif mengawasi terlaksananya jaminan akses terhadap masyarakat pencari keadilan. Sementara soal posisi advokat sebagai penegak hukum, OA mesti dapat mengembangkan penanganan kebijakan khusus untuk kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Kemudian memastikan bahwa proses peradilan sesuai due process dan sesuai dengan standar internasional. Selain itu, OA sebagai salah satu aktor sistem peradilan pun memiliki peran penting dalam melakukan reformasi hukum. Tak hanya itu, peningkatan kualitas advokat menjadi fokus utama dalam perbaikan kelembagaan OA di Indonesia.

“Penting bagi advokat untuk memiliki tanggung jawab untuk menjaga integritas dalam sistem peradilan,” katanya.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani mengapresiasi hasil penelitian ICJR dan Persada Universitas Brawijaya. Menurutnya hasil riset tersebut amat berguna sebagai bahan dalam merevisi UU 18/2003. Begitupula bermanfaat sebagai bahan tambahan terhadap revisi KUHAP.

“Sehingga kita bisa mitigasi sudut pandang yang berbeda. Isu besarnya terkait OA apakah single atau multi bar,” ujarnya.

Tapi Arsul tak ingin terjebak pada perdebatan soal single atau multi bar. Yang pasti, single setidaknya hanya pada ranah regulator, seperti halnya khusus melakukan fungsi pengawasan. Menurutnya ke depan tak boleh ada organisasi profesi yang menjalankan fungsi reglator dan eksekutor atau bisnis player.

“Ini sebenarnya pasca reformasi itu dianut negara kita sebagai sebuah artikulasi di demokrasi dipisahkan,” pungkas politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Tags:

Berita Terkait