Memperkuat Arah dan Peran Organisasi Advokat
Utama

Memperkuat Arah dan Peran Organisasi Advokat

Hasil temuan penelitian ada beberapa hal yang kurang berkesesuaian dengan mandat dan implementasi UU Advokat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Tapi yang pasti, menurut Eras rekomendasi dari penelitian tersebut memuat tiga hal. Pertama, soal OA. Kedua, profesi advokat. Ketiga, menyoal kewenangan advokat yang melekat pada UU. Seperti pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan KUHP. “Kami berharap advokat bisa kembali ke officium nobile dan menjadi harapan menerima panggilan profesi yang mulia sebagai subsistem peradilan pidana,” ujarnya.

Peneliti senihor ICJR Fachrizal Afandi memaparkan hasil penelitian bersama tim. Menurutnya, dalam risetnya menemukan beberapa hasil temuan. Pertama, bentuk OA. Kondisi ideal berdasarkan UUU 18/2003 memang single bar. Namun realita di lapangan justru multi bar. Tak saja berbasiskan wilayah, namun secara organisasi pun berbeda-beda. Sepertihalnya data advokat tersebar berdasarkan data  berita acara sumpah di masing-masing pengadilan tinggi.

Bahkan masing-masing OA memiliki data jumlah anggota. Tapi sayangnya tak dapat diakses oleh publik sewaktu-waktu. Tak hanya itu, beberapa OA mengklaim telah melaporkan secara rutin ke Mahkamah Agung (MA) dan Kemenkumham. Namun MA tidak mengolah lebih lanjut dengan merekapitulasi data advokat secara nasional agar dapat diakses publik.

“Sedangkan Kemenkumham (Dirjen AHU, red) mengkonfirmasi tidak menerima data anggota organisasi advokat,” ujarnya.

Kedua, fungsi OA dalam menjalankan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), magang hingga mengajukan permohonan sumpah. Tapi hasil temuan menunjukan OA tidaklah tunggal. Termasuk pelaksanaan PKPA diserahkan ke masing-masing OA tanpa adanya standarisasi yang jelas. Pendidikan profesi lanjutan tidak diatur secara khusus dalam UU 18/2003, tapi sifatnya tidak wajib alias voluntary. Sementara beberapa OA memiliki divisi khusus. Probono dalam UU 18/2003 bersifat wajib bagi advokat. Tapi praktiknya di lapangan voluntary.

Ketiga,  dampak ketidakteraturan kelembagaan OA. Antara lain belum tercapainya fungsi OA dalam meningkatkan kualitas profesi advokat. Kemudian tidak adanya standarisasi dalam proses pengangkatan advokat yang dapat menjamin kualitas advokat berada di level kompetensi yang sama. Malahan lemahnya akuntabilitas advokat dalam konteks penegakan kode etik dan OA dalam menjalankan kewenangannya.

Dampak lainnya, menurut Fachrizal negara (eksekutif, yudikatif, -red) menerbitkan kebijakan yang berdampak terhadap ketidakteraturan kelembagaan OA, serta belum melaksanakan perannya secara optimal aspek fungsi pemantauan terhadap advokat dan OA. Padahal negara berkepentingan memastikan akses terhadap keadilan, termasuk masyarakat marjinal dan rentan. Begitupula tidak optimalnya pemenuhan kewajiban probono.

Tags:

Berita Terkait