Memperkokoh Payung Hukum Ekosistem Ekonomi Digital
Kolom

Memperkokoh Payung Hukum Ekosistem Ekonomi Digital

Pembenahan harus meliputi aspek substansi, struktur dan kultur hukum.

Bacaan 6 Menit
M Indra Kusumayudha. Foto: Istimewa
M Indra Kusumayudha. Foto: Istimewa

Perkembangan perusahaan rintisan (start up) di Indonesia bergerak cukup pesat, di mana sebagian besar perusahaan start up menjalankan operasional bisnisnya dengan infrastruktur teknologi yang komprehensif. Keberadaan perusahaan start up ini memberikan dampak positif dan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari. Perusahaan start up hadir dengan memberikan terobosan baru, yakni mengubah lanskap bisnis konvensional menjadi bisnis yang berbasis internet.

Menurut catatan Startup Ranking, jumlah start up di Indonesia mencapai 2.219 perusahaan pada tahun 2021, dan menduduki peringkat kelima dengan jumlah perusahaan rintisan terbanyak setelah Amerika Serikat, India, Inggris, dan Kanada. Selain itu terdapat delapan perusahaan start up Indonesia yang masuk dalam daftar Forbes Asia 100 to Watch.

Banyaknya kemunculan perusahaan start up tidak terlepas dari banyaknya jumlah pengguna internet aktif dari masyarakat Indonesia, selain itu meningkatnya daya beli masyarakat juga turut mempengaruhi pertumbuhan industri digital di tanah air. Namun pesatnya pertumbuhan perusahaan start up di Indonesia belum didukung dengan payung hukum ekosistem digital yang memadai, sehingga masih terdapat hambatan dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan.

Penguatan Regulasi

Ekosistem start up telah berkembang di kota-kota besar di Indonesia, sebagai perusahaan yang berbasis teknologi dan inovasi, maka start up diharapkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat dan terus menghadirkan inovasi yang fresh.

Pertumbuhan start up perlu disiapkan dan dilengkapi dengan peraturan ekonomi digital yang memadai, yang mana hal ini berkaitan dengan kepastian hukum yang mengatur fleksibilitas start up untuk menghadirkan inovasi dan meyakinkan pelaku usaha untuk mencoba hal baru serta keluar dari zona nyaman yang selama ini mereka lakukan.

Penguatan regulasi haruslah disesuaikan dengan kebutuhan hukum saat ini, pengaturan dari sisi regulasi diharapkan dapat mengakomodir segala kepentingan yang mencakup aturan main bagi para pendiri start-up, pelaku usaha, konsumen, pemerintah dan masyarakat luas.

Sebenarnya terdapat beberapa regulasi yang mengatur jalannya ekonomi digital dan perusahaan start up di Indonesia, aturan tersebut seperti UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik, PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, UU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) serta UU Perlindungan Konsumen.

Meskipun terdapat banyak peraturan yang menyangkut ekonomi digital dan perusahaan start up, namun masih terdapat area fundanmental yang masih belum diatur secara utuh, yakni area perlindungan/kerahasiaan data, ketahanan/keamanan siber dan aspek hukum persaingan usaha. Hal ini juga ditambah dengan kondisi institusi dan regulasi yang terpisah-pisah sehingga berpotensi memunculkan multitafsir dan sulitnya mewujudkan kepastian hukum.

Berkaitan dengan perlindungan atau kerahasiaan data pribadi, pemerintah telah merumuskan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) sejak tahun 2014. RUU tersebut terdaftar dalam Program Legislasi Nasional 2020, artinya RUU tersebut seharusnya disahkan pada tahun tersebut, namun pada kenyataannya sampai saat ini RUU Perlindungan Data Pribadi belum di sahkan.

Saat ini ketentuan hukum terkait perlindungan data pribadi masih bersifat parsial dan sektoral, dan belum bisa memberikan perlindungan yang optimal dan efektif terhadap data pribadi sebagai bagian dari privasi. Privasi atas data pribadi merupakan kebutuhan mendasar untuk melindungi hak warga Negara dalam hal pengolahan data pribadi.

Sejalan dengan RUU PDP di atas, pemerintah bersama dengan DPR juga telah merumuskan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber. RUU ini memiliki tujuan utama untuk membendung dan mengatur ancaman kejahatan siber, yang mana terkait persoalan keamanan dan ketahanan siber ini belum memiliki payung hukum yang menyeluruh, alhasil menyebabkan tanggung jawab tidak terkoordinasi dengan maksimal sehingga berpotensi memunculkan ancaman siber yang dapat menyerang kapanpun.

Keamanan siber (cyber security) masih menjadi tantangan dalam hal pengembangan perekonomian digital. Hal ini sangat erat kaitannya dengan Indonesia, sebagai negara berkembang memiliki arus transaksi online yang terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini dapat menjadi celah baru bagi pihak tertentu untuk melakukan penyerangan atau perbuatan negatif terhadap dunia siber. Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk menciptakan sistem keamanan digital berteknologi tinggi guna menjaga transaksi dan investasi ekonomi digital.

Pertumbuhan ekonomi digital dan perusahaan start up di tanah air juga membawa persaingan pasar yang semakin ketat dan kompleks. Perusahaan start up Indonesia tentunya harus bersaing dengan e–commerce yang membuka pintu masuk bagi produk-produk yang berasal dari luar negeri dengan begitu mudahnya. Konsekuensi logisnya apabila produk lokal kita tidak berkembang dan berinovasi maka akan tergerus oleh produk dari negara lain yang cenderung dijual dengan harga yang terjangkau dan sesuai dengan permintaan masyarakat Indonesia.

Banyaknya produk-produk dari luar negeri harus diperhatikan dan diperlukan sinergi dari pihak pemerintah maupun swasta agar produk lokal dapat bersaing. Baik melalui pembinaan hingga bantuan inovasi supaya di masa mendatang produk lokal dapat menikmati keuntungan dari adanya investasi ekonomi digital Indonesia.

Kerangka hukum persaingan usaha Indonesia tentunya berdasarkan pada UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan pengaturan persaingan usaha ini diharapkan menjadi pedoman bagi pertumbuhan ekonomi digital agar bisa menjamin kepastian hukum dan iklim investasi.

Namun yang menjadi catatan di sini adalah perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1999, hal ini tidak lain dikarenakan perkembangan ekonomi digital yang meningkat pesat. Pelaku usaha yang bermain tidak hanya dari dalam negeri namun dari pihak luar negeri juga turut meramaikan pasar ekonomi digital kita.

Perkembangan ekonomi digital tentunya menuntut perubahan atas perilaku dari pelaku usaha, khususnya dari aspek anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Otoritas persaingan usaha juga dituntut untuk berbenah dan memperbaharui aspek pengawasan berbasis digital, karena perdagangan ekonomi digital secara online menggunakan teknologi informasi yang semakin canggih setiap harinya sehingga tidak mudah untuk diawasi.

Selain itu perumusan definisi beserta pengaturannya dalam UU No. 5 Tahun 1999, seperti definisi ruang lingkup pasar, perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan, tata cara penanganan perkara dan penentuan sanksi perlu ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan hukum ekonomi digital saat ini.

Dengan demikian cita-cita dalam mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat dapat terwujud dan menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.

Pembenahan Aspek Substansi, Struktur dan Kultur Hukum

Kita harus sepakat bahwasanya hukum harus ditempatkan sebagai kerangka proses yang terus mengalami perkembangan (law in the making). Hukum bukanlah dogma yang bersifat final. Hukum tentu saja akan bergerak secara simultan sesuai dengan tuntutan zamannya (continue on progress).

Menurut Lawrence M. Friedman, dalam setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub sistem, yaitu sub sistem substansi hukum (legal substance), sub sistem struktur hukum (legal structure), dan sub sistem budaya hukum (legal culture).

Substansi hukum meliputi materi hukum yang diantaranya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Struktur hukum menyangkut kelembagaan pelaksana hukum, kewenangan lembaga dan personil aparat penegak hukum. Sedangkan kultur hukum menyangkut perilaku hukum masyarakat. Ketiga unsur itulah yang mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum di suatu Negara hukum, yang antara satu dengan lainnya saling bersinergi untuk mencapai tujuan penegakan hukum itu sendiri yakni kepastian, kemanfaatan dan keadilan.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka akan dijelaskan lebih lanjut dalam beberapa hal di bawah ini:

  1. Aspek Substansi Hukum

Peraturan perundang-undangan tentunya menjadi hal penting dalam Negara hukum, segala perbuatan, tindakan dan sanksi harus terlebih dahulu diatur dalam suatu aturan. Regulasi yang mengatur lalu lintas ekonomi digital Indonesia saat ini ada yang diatur dalam undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan di beberapa kementerian.

Terkait proses regulasi maka pengaturan bersama adalah pendekatan yang paling menjanjikan untuk merancang dan melaksanakan kebijakan yang aman, inklusif, dan adaptif. Gemuknya regulasi, multitafsir teknis penerapan dan tumpang tindih aturan harus dihindari, hal ini disebabkan perekonomian digital begitu sensitif karena berkaitan dengan iklim investasi.

Oleh karena itu hal pertama dan utama dari suatu penegakan hukum adalah pengaturan regulasi yang pasti, stabil dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.

  1. Aspek Struktur Hukum

Struktur hukum menjadi perhatian utama bagi penulis, hal ini dikarenakan struktur hukum memiliki pengaruh yang kuat terhadap corak budaya hukum. Budaya hukum adalah sikap mental yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau bahkan disalahgunakan. Struktur hukum yang tidak mampu menggerakkan sistem hukum akan menciptakan ketidakpatuhan (disobedience) terhadap hukum.

Hal ini menyangkut kelembagaan pelaksana, kewenangan lembaga dan personil. Penguatan struktur hukum dalam pengaturan maupun pengawasan dalam perekonomian digital sangat dibutuhkan, hal ini bertujuan agar jalannya perekonomian digital berlangsung sesuai dengan aturan yang berlaku.

  1. Aspek Kultur Hukum

Dalam konteks penegakan hukum, budaya hukum menjadi fondasi yang sangat penting. Budaya hukum meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai bagaimana hukum itu diaplikasikan dan seberapa besar kepatuhan masyarakat akan hukum yang berlaku.

Seperti halnya di era teknologi saat ini, ruang dunia maya (cyberspace) adalah ruang maya yang bersifat artifisial, di mana semua orang dapat bertindak apa saja yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang baru. Semua orang dapat terhubung dan dapat berinteraksi kapanpun melalui internet. Oleh karena itu, kultur hukum digital perlu dibangun dengan ketaatan hukum dan etika/moral dalam bersosialisasi.

Dengan membentuk payung hukum ekosistem ekonomi digital yang kokoh dari hulu hingga ke hilir, maka para pelaku serta penggerak ekonomi digital tersebut dapat memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk meningkatkan proses bisnis mereka baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini juga penting untuk menumbuhkan motivasi para pelaku ekonomi digital untuk terus berkarya di industri masa depan ini.

*)Indra Kusumayudha, Advokat & Konsultan Hukum di Jakarta, Member Young Arbitration Group at Energy Disputes Arbitration Center (EDAC), Young ICCA, Young International Arbitration Group (YIAG) & Member YSIAC, Singapore International Arbitration Centre (SIAC).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait