Memperkenalkan Konsep Co-determination
Kolom

Memperkenalkan Konsep Co-determination

Bacaan 2 Menit
Memperkenalkan Konsep Co-determination
Hukumonline

Salah satu RUU yang diprioritaskan pembahasannya tahun ini –sebagaimana yang tertera di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013, adalah RUU tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kebijakan DPR memprioritaskan pembahasan RUU BUMN tahun ini sudah tepat. Peran BUMN yang amat menentukan dalam perekonomian negara adalah alasan utama mengapa revisi atas undang-undang tersebut tepat dijadikan prioritas.

Pentingnya peran BUMN tersebut digambarkan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam kolom 'Manufactoring Hope 47' yang berjudul 'Menggerakkan Tangan Kiri BUMN 22 Kali'. Dalam artikel yang dimuat di beberapa media massa ini, Dahlan menyebut BUMN sebagai 'tangan kedua' Pemerintah dalam menggerakkan roda perkenomian negara. Kemampuan investasi 141 BUMN yang berjumlah sekitar Rp250 triliun per tahun yang kurang lebih sama dengan kemampuan 'tangan pertama' Pemerintah (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) adalah dasar argumennya (Dahlan Iskan, 15/10/2012).

Mengingat posisi BUMN yang strategis itu, sewajarnyalah kita ikut serta menyodorkan beragam ide kepada Komisi VI DPR yang berinisiatif merevisi UU BUMN demi melihat perusahaan-perusahaan pelat merah yang lebih hebat di masa datang. Model co-determination (pekerja diberikan kursi di dewan komisaris) Jerman adalah ide yang hendak saya perkenalkan di tulisan ini.

Co-determination Jerman
Konsepsi mendudukkan wakil pekerja, selain wakil pemegang saham di kursi dewan komisaris perseroan adalah salah satu keunikan hukum perusahaan Jerman yang bergenre serupa dengan kita sebagai salah satu negara pengikut sistem hukum Eropa Kontinental.

Di Jerman konsep ini dinamakan Mitbestimmung, atau Co-determination dalam istilah Inggris. Seperti yang dijelaskan Jean du Plessis dan Otto Sandrock (2005), sistem co-determination Jerman terdiri dari tiga tipe, yakni full-parity co-determination, quasy-parity co-determination, dan one-third co-determination.

Full-parity co-determination diterapkan pada perusahaan-perusahaan Jerman yang bergerak dalam bidang industri pertambangan, besi dan baja berdasarkan the Mining, Iron and Steel Industry Act of 1951. Undang-undang ini mengungkapkan bahwa jumlah dan komposisi dewan komisaris sebuah perseroan tergantung kepada besarnya modal perseroan tersebut.

Misalnya, perseroan yang memiliki modal di bawah 10 Miliar Euro diwajibkan memiliki 11 orang anggota dewan komisaris, dimana 5 orang diantaranya adalah hasil pilihan rapat umum pemegang saham (RUPS), 5 orang dipilih oleh para pekerja, dan 1 orang lainnya adalah figur netral yang langsung menjabat sebagai presiden komisaris.

Co-determination jenis kedua berlaku untuk semua perseroan publik, perseroan pribadi dan perseroan terbatas yang memiliki satu atau lebih partner sebagai pemegang saham yang mempekerjakan lebih dari 2000 orang pekerja. The Codetermination Act of 1976 adalah dasar hukum quasy-parity co-determination. Menurut Undang-undang ini, separuh kursi dewan komisaris diisi oleh para wakil pemegang saham. Separuh lainnya adalah jatahnya para pekerja. Kursi presiden komisaris adalah haknya komisaris yang mewakili pemegang saham, sedangkan wakil pekerja berhak menduduki kursi wakil presiden komisaris.

Sementara itu, one-third co-determination berlaku bagi perseroan yang memiliki pekerja antara 500-2000 orang. Seperti yang termaktub di dalam the Third Act of 2004, sepertiga dari jumlah anggota dewan komisaris perseroan tersebut merupakan wakil pekerja, sedangkan sisanya merupakan wakil para pemegang saham (Joachim Wagner, 2009).

Wakil Pekerja dan Publik
Undang-Undang terkait BUMN yang berlaku sekarang (UU No. 19/2003 dan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas) tidak mengenal konsep co-determination. Di dalam UU No. 40/2007, selain Komisaris Biasa, perseroan juga diberikan kebebasan mengangkat 1 (satu) orang atau lebih Komisaris Independen dan 1 (satu) orang Komisaris Utusan.

UU mendefinisikan komisaris independen sebagai komisaris yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, dengan anggota direksi perseroan, dan dengan anggota dewan komisaris lainnya. Sementara Komisaris Utusan didefinisikan sebagai komisaris yang diangkat berdasarkan rapat dewan komisaris.

Seperti halnya UU No. 40/2007, di dalam UU No. 19/2003 tidak ditemukan Komisaris Independen dan Komisaris Utusan. Keharusan setiap BUMN mengangkat paling sedikit 20 persen Komisaris Independen dari jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris baru muncul di dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance). Menurut Permen BUMN ini, Komisaris Independen diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Sedangkan terminologi Komisaris Utusan tidak di dalam Permen ini.

Tidak ada isu penting berkenaan dengan aturan yang memberikan kekuasaan pengangkatan dan pemberhentian anggota dewan komisaris di tangan RUPS pada Badan Hukum Milik Swasta (BUMS). Sebagai forum berkumpulnya para pemegang saham BUMS, RUPS tentu berhak menentukan siapa saja yang mereka percayai mengurus dan mewakili kepentingan mereka di dewan komisaris perusahaan. 

Akan tetapi, hal ini menjadi isu penting di BUMN dilihat dari sudut kepemilikan. Kepemilikan saham Pemerintah di BUMN tidak sama dengan kepemilikan di BUMS. Tidak sebagaimana halnya pemegang saham BUMS, Pemerintah hanyalah pemegang saham wakil (acting shareholder) di BUMN, bukan sebagai pemegang saham yang sebenarnya (ultimate shareholders). Keberadaan Pemerintah di BUMN adalah sebagai wakil publik.

Konsepsi pengangkatan dan pemberhentian anggota dewan komisaris yang berlaku sekarang –yang menjadikan Pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengangkat dan memberhentikan anggota dewan komisaris, memberikan Pemerintah (pemegang saham wakil) peran yang sangat dominan terhadap BUMN. Dari sudut teori keagenan (agency theory) –teori utama dalam hukum perusahaan, dominasi Pemerintah itu berbahaya karena sangat mungkin misi yang dijalankan para komisaris yang merupakan wakil Pemerintah (agent) tidak sama bahkan bertentangan dengan kepentingan publik (principal). Ujung dari pertentangan kepentingan itu adalah kerugian publik  karena ketiadaan anggota dewan komisaris wakil publik yang menyuarakan perbedaan kepentingan itu.

Di tengah fakta amat besarnya kekuasaan Pemerintah di BUMN dan ketiadaan wakil publik di dewan komisaris, ide penerapan co-determination di BUMN menjadi amat penting. Di bawah konsep co-determination, pekerja yang merupakan pihak yang paling berkepentingan di BUMN dapat bertindak untuk dan atas nama kepentingan publik disamping mewakili kepentingan pekerja sendiri.

*Direktur Eksekutif Institut untuk Reformasi BUMN (iReformbumn); Pengajar Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Bung Hatta

Tags: