Memperjuangkan Masa Depan Kekayaan Intelektual Indonesia
Kolom

Memperjuangkan Masa Depan Kekayaan Intelektual Indonesia

Perlu upaya strategis untuk memperjuangkan masa depan kekayaan intelektual Indonesia agar dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Bacaan 6 Menit

Selain itu, DJKI juga telah melakukan inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) sejak tahun 2017 dalam Pusat Data Nasional KIK sebagai bentuk pelindungan yang bersifat defensif terhadap KIK untuk mencegah dan menghentikan penggunaan KIK oleh pihak-pihak yang tidak berhak. KIK adalah kekayaan intelektual yang dimiliki secara komunal berupa Pengetahuan Tradisional, Ekspresi Budaya Tradisional, Sumber Daya Genetik, dan Potensi Indikasi Geografis.

Persetujuan TRIPS mengamanatkan mekanisme penyelesaian perselisihan atau sengketa KI yang cepat dengan menggunakan hukum acara peradilan perdata. Oleh karena itu, pemerintah saat itu merespon dengan menerbitkan beberapa undang-undang di bidang KI yang di dalamnya telah mengatur tentang penyelesaian sengketa gugatan ganti rugi secara perdata melalui Pengadilan Niaga. Dalam ketentuan tersebut telah diatur limit waktu pengajuan gugatan hingga putusan hakim dengan waktu paling lama 6 (enam) bulan.

Meski dalam peraturan perundang-undangan di bidang KI tersebut diatur juga mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti melalui mediasi atau arbitrase, namun belum banyak yang memanfaatkan secara optimal mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut. Padahal saat ini telah ada Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) yang berdiri sejak tahun 2012 untuk menyelesaikan sengketa KI di luar pengadilan, namun hingga kini belum menangani satu perkara pun. BAM HKI memiliki arbiter yang terdiri dari para ahli dan praktisi hukum KI senior sehingga seharusnya dapat diandalkan untuk menghasilkan putusan yang tepat.

Dari segi substansi hukum, saat ini Indonesia telah memiliki tujuh undang-undang khusus di bidang KI beserta peraturan pelaksanaannya, yaitu mengenai merek dan indikasi geografis; desain industri; paten; hak cipta; rahasia dagang; desain tata letak sirkuit terpadu; dan perlindungan varietas tanaman. Peraturan perundang-undangan tersebut telah disusun menyesuaikan dengan perjanjian/konvensi internasional di bidang KI, termasuk Persetujuan TRIPS.

Selain itu, juga terdapat PP No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP No. 7/2021) yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur juga mengenai fasilitasi KI bagi usaha mikro dan kecil. Dalam PP No. 7/2021 tersebut diatur bahwa Pemerintah memfasilitasi kepemilikan KI dalam negeri dan untuk ekspor. Penting memfasilitasi KI untuk tujuan ekspor tersebut dengan banyaknya program pemerintah yang memfasilitasi produk lokal untuk mengikuti pameran dagang di luar negeri. Tanpa pelindungan KI di negara yang bersangkutan, produk lokal tersebut rentan mengalami pelanggaran KI. Hal itu karena prinsip pelindungan KI bersifat teritorial, yakni KI hanya dilindungi di negara tempat KI itu didaftarkan.

Kemudian Pemerintah menerbitkan PP No. 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Ekonomi Kreatif (PP No. 24/2022) pada tanggal 12 Juli 2022. PP No. 24/2022 pada pokoknya mengatur mengenai skema pembiayaan berbasis KI dan fasilitasi pengembangan sistem pemasaran produk ekonomi kreatif berbasis KI.

Dari segi budaya hukum, meski telah diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sejak tahun 1840-an, namun pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai pelindungan KI masih rendah. Hal tersebut terlihat dari survei yang pernah dilakukan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Pusat Statistik pada tahun 2016 yang menunjukkan bahwa baru 11,05% unit usaha ekonomi kreatif yang memiliki KI terdaftar, yang penyebab utamanya adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran untuk melindungi KI.

Tags:

Berita Terkait