Tim peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencoba melakukan pengumpulan peraturan dimaksud. Tim peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi, Estu Dyah Arifianti, M. Faiz Azis, Putri Bilqish, dan Abi Marutama, telah menganalisis 114 peraturan perundang-undangan di 19 sektor. Mulai dari dari politik, kepegawaian, sosial, hingga pajak.
Hasil kajian tim peneliti PSHK itulah yang kemudian dibukukan dengan judul Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia (2015). Kajian ini perlu dipandang sebagai sumbangan pemikiran PSHK untuk penguatan kerangka hukum perlindungan kaum disabilitas di Indonesia. Terutama dalam kaitannya dengan pengabaian hak-hak asasi asasi kaum disabilitas (hal. 2) semisal hak mendapatkan pekerjaan.
Judul | Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia. |
Penulis | Fajri Nursyamsi dkk. |
Cet-1 | 2015 |
Halalam | xii + 130 |
Penerbit | PSHK, Jakarta |
Perubahan cara pandang itu tak lepas dari pergeseran paradigma dalam kaidah hukum internasional. Sejak 2006, negara-negara di dunia sudah terikat pada Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD). Indonesia pun sudah meratifikasi Konvensi ini dengan UU No. 19 Tahun 2011. Ratifikasi ini menunjukkan komitmen Indonesia secara yuridis formal ‘untuk mengambil segala upaya dalam mewujudkan secara optimal segala bentuk nilai kehormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas’ (hal. 5).
PSHK sebenarnya sudah lama menggeluti isu-isu hukum penyandang disabilitas, dan melakukan kajian intensif sejak 2012 silam. Tak hanya melakukan kajian, tim peneliti lembaga ini sudah ikut melakukan advokasi revisi UU No. 4 Tahun 1997.
Buku ini memang lebih menggambarkan kerangka hukum ketimbang pengalaman-pengalaman advokasi. Di dalamnya kita akan mendapati list 114 peraturan perundang-undangan yang relevan. Cuma, melihat kerangka hukum tak bisa semata-mata pada perundang-undangan formal. Kita perlu melihat bagaimana hakim memutuskan sengketa, bagaimana pengelola maskapai membuat pedoman-pedoman pelayanan bagi penyandang disabilitas, dan melihat ‘kerangka’ lain dalam di luar teks UU, PP, Perpres, atau Perda. Jika realitas di lapangan itu dimasukkan ke dalam buku setebal 130 halaman ini niscaya pembaca akan dapat gambaran yang lebih utuh.
Bagaimanapun, buku ini penting bagi banyak kalangan. Para pengambil keputusan, akademisi, lembaga-lembaga advokasi, dan peneliti. Apalagi buku ini membandingkan kerangka hukum sejenis di sejumlah negara.
Kerja tim peneliti akan lebih bermakna lagi jika naskah ini tidak hanya dalam bentuk buku, tetapi juga bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan para penyandang disabilitas. Bukankah para penyandang disabilitas juga perlu –bahkan mungkin lebih perlu -- memahami kerangka hukum itu? Inilah pertanyaan yang mungkin muncul saat menyelami halaman per halaman buku ini.
Selamat membaca…