Memfidusiakan Benda yang Sudah Difidusiakan: Setelah UU Fidusia Berlaku
Kolom Hukum J. Satrio

Memfidusiakan Benda yang Sudah Difidusiakan: Setelah UU Fidusia Berlaku

​​​​​​​Mengapa penerima fidusia yang belakangan mendaftarkan ikatan jaminannya harus mengalah terhadap yang pertama mendaftarkan?

RED
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Bagaimana kalau peristiwa yang disebutkan dalam artikel “Memfidusiakan Benda yang Sudah Difidusiakan” muncul sesudah berlakunya UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia)? Karena jaminan fidusia sekarang sudah diakui dalam undang-undang, maka tidak ada lagi isu tentang penyelundupan undang-undang gadai.

 

Pertanyaan pokoknya adalah, apakah benda fidusia, yang katanya telah diserahkan hak kepemilikannya (atas dasar kepercayaan) oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia, selanjutnya -selama penjaminan berjalan- menjadi hak milik Penerima Fidusia?

 

Adanya embel-embel “secara kepercayaan” di belakang kata “penyerahan” menimbulkan pertanyaan seperti itu.

 

Dalam UU Fidusia terdapat ketentuan bahwa hak milik atas benda jaminan fidusia masih ada pada Pemberi Fidusia (baca Pasal 8, 16, 17, 20, 21 dan Pasal 22 UU Fidusia). Di samping itu, juga ada pasal-pasal yang mengindikasikan, bahwa hak milik atas benda fidusia sudah beralih kepada Penerima Fidusia (Pasal 1 sub 1, 17, 21 dan Pasal 23 UU Fidusia).

 

Jadi, kedudukan hukum Pemberi Fidusia dalam UU Fidusia terhadap benda fidusia tidak jelas.

 

Dalam Pasal 8 UU Fidusia dikatakan “jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia”, padahal Pemberi Fidusia harus pemilik benda jaminan.

 

Untuk jelasnya kita kutip  Pasal 1 sub 5 UU Fidusia, yang mengatakan: “Pemberi Fidusia adalah orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia”.

 

Perhatikan kata-kata “pemilik benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia”. Kalau fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan (baca Pasal 1 sub 1 UU Fidusia), maka sudah dengan sendirinya, bahwa Pemberi Fidusia harus pemilik dari benda obyek jaminan fidusia. Bukankah orang tidak bisa mengalihkan lebih daripada yang dipunyainya?

 

Menurut Pasal 8 UU Fidusia: “Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia tersebut”. Bukankah hal itu berarti, Pemberi Fidusia masih bisa mengambil tindakan pemilikan atas benda miliknya yang sudah difidusiakan?

 

Malahan, sebelum benda fidusia didaftarkan, undang-undang mengatakan, Pemberi Fidusia masih bisa melakukan fidusia ulang (disimpulkan dari Pasal 17 UU Fidusia).  

 

Pasal 17 UU Fidusia mengatakan: “Pemberi Fidusia dilarang melakukan Fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah didaftar”.

 

Secara a contrario hal itu berarti, selama obyek jaminan fidusia belum didaftarkan, maka tidak ada larangan untuk memfidusiakan ulang benda obyek fidusia.

 

Dalam Pasal 16 UU Fidusia ternyata masih dimungkinkan Pemberi Fidusia mengadakan perubahan terhadap benda jaminan fidusia. Malahan pemberi fidusia masih bisa mengalihkan benda fidusia yang berupa benda persediaan (Pasal 21 UU Fidusia), bahkan pembelinya dilindungi, sekalipun ia tahu bahwa benda itu sedang memikul beban jaminan (Pasal 23 UU Fidusia).

 

Jadi, apakah penyerahan itu -dengan embel-embel “secara kepercayaan”- adalah penyerahan bohong-bohongan saja? Lalu, dengan adanya ketentuan-ketentuan yang disebutkan di atas, bagaimana solusinya, kalau peristiwa di depan -yaitu ada dua kali fidusia atas benda yang sama kepada 2 kreditur yang berlainan- terjadi sesudah berlakunya UU No. 42 Tahun 1999?

 

Sehubungan dengan adanya ketentuan Pasal 8 jo Pasal 1 sub 5 UU Fidusia, maka mestinya yang memfidusiakan jaminan fidusia kepada lebih dari satu Penerima Fidusia adalah pemilik benda Fidusia. Atas dasar mana kita bisa menyimpulkan bahwa pemilik benda fidusia, setelah memfidusiakan benda jaminan, masih bisa memfidusiakan lagi kepada Penerima Fidusia yang lain.

 

Dalam larangan-larangan Pasal 23 ayat 2 UU Fidusia yang ditujukan kepada Pemberi Fidusia, tidak disebutkan larangan Pemberi Fidusia untuk memfidusiakan lagi benda fidusia. Kalaupun ada ketentuan yang melarang fidusia ulang, ketentuan itu hanya tertuju kepada fidusia yang sudah didaftarkan (Pasal 17 UU Fidusia). 

 

Kalau sejalan dengan apa yang disebutkan di atas, memfidusiakan ulang benda fidusia kepada kreditur lain tidak dilarang, maka kita tetap terhutang jawaban, kalau benda fidusia difidusiakan ulang kepada kreditur lain, siapa di antara kedua kreditur yang didahulukan, kalau debitur wanprestasi dan kedua kreditur melaksanakan eksekusi atas benda jaminan fidusia?

 

Pasal 1977 ayat (1) BW pada intinya mengatakan, bahwa orang yang melihat orang lain menguasai suatu benda bergerak tidak atas nama dan beranggapan (mengira), bahwa orang itu adalah pemilik benda itu, maka kalau ia mengoper benda itu daripadanya, benda itu menjadi miliknya.

 

Jadi, pasal itu tidak mensyaratkan orang yang menyerahkan adalah pemilik benda (sebagai yang disyaratkan Pasal 584 BW), sudah cukup kalau ia mengoper berdasarkan suatu titel yang sah.

 

Pertama-tama, taruhlah hak milik atas benda jaminan fidusia -atas dasar penyerahan hak milik (secara kepercayaan)- ada pada Penerima Fidusia yang pertama, yaitu Bank Ratenan. Kemudian, karena ia salah menyerahkan benda “miliknya” kepada pemegang yang tidak bisa dipercaya (yaitu pemilik-asal), maka oleh pemegang, benda jaminan fidusia itu telah diserahkan kepada Penerima Fidusia yang kedua, yang sama sekali tidak tahu, bahwa pemegang itu bukan pemilik benda itu.

 

Penerima Fidusia yang kedua boleh berlindung di belakang Pasal 1977 ayat (1) BW. Pembuat undang-undang melindungi Penerima Fidusia yang kedua, karena permasalahan di sini sedikit banyak terjadi karena kesalahan Kreditur Penerima Fidusia yang pertama, kenapa ia menaruh benda fidusia dalam tangan orang yang tidak bisa dipercaya untuk memegangnya bagi Penerima Fidusia pertama.

 

Kalau begitu hak milik atas benda fidusia sekarang ada pada Penerima Fidusia yang kedua.

 

Siapa yang didahulukan untuk mengambil pelunasan dari hasil eksekusi benda jaminan Fidusia?

 

Kalau kedua jaminan fidusia itu sama-sama belum didaftarkan, maka siapa yang pertama mendaftarkan, kedudukkannya lebih tinggi (Pasal 11 jo. Pasal 14 sub 3 UU Fidusia), karena bukankah Hak Jaminan Fidusia merupakan hak kebendaan (Pasal 20 UU Fidusia) dan salah satu sifat hak kebendaan adalah, yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.

 

Apakah ketentuan seperti itu adil? Bukankah atas benda bergerak tidak terdaftar orang tidak bisa tahu siapa pemiliknya? Kalau ikatan jaminan itu didaftarkan, bukan di sana ada ikatan jaminan yang terdaftar atas benda yang tidak terdaftar, sehingga pihak ketiga yang melihat daftarpun tidak bisa tahu, benda mana yang telah difidusiakan?

 

Mengapa penerima fidusia yang belakangan mendaftarkan ikatan jaminannya harus mengalah terhadap yang pertama mendaftarkan?

 

Di samping itu, kalau kita memperhatikan sejarah timbulnya lembaga hukum jaminan fidusia, maka adalah sangat tidak bisa dimengerti, apa dasarnya UU Fidusia  mengatur piutang sebagai benda jaminan fidusia (Pasal 9 UU Fidusia)?

 

Bukankah jaminan fidusia diadakan untuk memenuhi kebutuhan praktik akan lembaga jaminan benda bergerak, di mana benda jaminan masih bisa tetap dikuasai oleh pemberi-jaminan, karena masih dibutuhkan untuk usaha pemberi-jaminan?

 

Kalau wujud benda jaminan adalah surat tagihan, lalu apa untungnya pemberi-jaminan tetap menguasai tagihannya?

 

Kalau dengan itu kreditur Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menagih tagihan itu, apakah dengan itu mau diakui bahwa hak tagihnya sekarang -dengan adanya pemberian jaminan Fidusia- sudah menjadi milik kreditur Penerima Fidusia?

 

Jadi diakui bahwa penyerahan hak milik secara kepercayaan adalah benar-benar merupakan penyerahan hak milik?

 

Apakah ini tidak bertentangan dengan asas, bahwa kreditur tidak boleh memperjanjikan milik beding? Milik beding adalah janji, bahwa kalau debitur wanprestasi, maka benda jaminan menjadi milik kredidtur (Pasal 1154 BW).

 

Mengapa tidak digadaikan saja? Karena tagihan mempunyai nilai nominal, mestinya -kalau debitur wanprestasi- kreditur bisa langsung menguangkan dan memperhitungkan hasil tagihan dengan hutang debitur. Bukankah lelang hanya dimaksudkan untuk mendapat harga yang wajar?[1]

 

Demikian rangkaian pembicaraan kita tentang “Penyerahan Berulang Kepada DUa Orang Berlainan”. Semoga Bermanfaat.

 

J. Satrio

 

[1]     J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Hak Jaminan Kebendaan, hlm. 141.

Tags:

Berita Terkait