Memetakan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN Terindikasi Rangkap Jabatan
Terbaru

Memetakan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN Terindikasi Rangkap Jabatan

Maraknya praktik rangkap jabatan di BUMN dapat dipandang sebagai buruknya pengelolaan GCG karena menimbulkan potensi konflik kepentingan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit

“Secara persentase, 53,9% instrumen pengawas BUMN diindikasikan rangkap jabatan. Data tersebut menggambarkan bahwa asal instansi negara yang membiarkan rangkap jabatan tidak patuh terhadap UU 25/2009 dan Kementerian BUMN juga mengabaikan UU 19/2003,” papar Kurnia.

Rangkap jabatan yang dimaknai oleh ICW ini terdiri dari tiga bagian. Yakni komisaris/dewan pengawas BUMN merangkap di kementerian atau institusi negara, komisaris/dewan pengawas BUMN merangkap di perusahaan swasta, komisaris/dewan pengawas BUMN merangkap di kementerian atau institusi negara dan di perusahaan swasta.

“Jabatan-jabatan yang diemban oleh pejabat rangkap ini terbilang strategis dan sudah barang tentu akan sulit jika mesti dibagi, baik tenaga maupun pikiran, dengan tugas di BUMN. Fungsi administrasi seperti Sekretaris Jenderal Kementerian atau pengambil kebijakan strategis pada jabatan Direktur Jenderal atau Deputi selayaknya tetap menitikberatkan pekerjaan pada institusinya,” papar Kurnia.

Tiga aturan berbeda menteri

Sementara itu, peneliti ICW lainnya, Yassar Aulia mengatakan penelitian ICW turut mengurai aturan internal BUMN yang mengatur mengenai pengangkatan komisaris dan dewan pengawas BUMN. Tiga aturan BUMN tersebut yakni Permen BUMN Nomor PER-19/MBU/10/2014, Permen BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015, dan Permen BUMN PER-10/MBU/10/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN. Tiga aturan ini terbit dan diundangkan oleh Menteri BUMN yang berbeda, mulai dari Dahlan Iskan, Rini Soemarno, hingga Erick Thohir.

Yassar mengungkapkan secara umum kesimpulan yang bisa ditarik dari tiga regulasi internal BUMN tersebut menunjukkan ketidakharmonisan antar aturan dan pelanggaran terhadap undang-undang. Misalnya, satu sisi ketiga aturan tersebut memasukkan syarat materil berupa berdedikasi bagi setiap calon komisaris maupun dewan pengawas. Akan tetapi, pada bagian lain justru membenarkan rangkap jabatan.

Dia menjelaskan titik awal problematika pejabat rangkap ada pada aturan tahun 2015. Kementerian yang saat itu dipimpin oleh Rini mencantumkan dalam Bab III tentang Tata Cara Pengangkatan huruf A angka 3 bahwa sumber bakal calon komisaris/dewan pengawas BUMN dapat berasal dari Pejabat Struktural dan Pejabat Fungsional Pemerintah. Ini kemudian yang dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai alasan pembenar melanggengkan rangkap jabatan.

“Bukannya diperbaiki, pada era kepemimpinan Erick praktik pelanggaran itu justru diteruskan, bahkan dibuat bab khusus mengenai rangkap jabatan. Aturan yang terbit tahun 2020 tersebut membenarkan rangkap jabatan dengan menambahkan syarat kehadiran 75%, baik kepada komisaris maupun dewan pengawas. Hal ini bertolak belakang dengan pemaknaan nilai dedikasi yang dijadikan syarat materiil untuk dapat diangkat sebagai pengawas BUMN,” jelas Yassar.

Bukan hanya itu, hasil penelitian ICW ini juga mengungkapkan permasalahan dalam regulasi tahun 2020 juga menyangkut aspek check and balance serta berkaitan dengan kompetensi kandidat komisaris dan dewan pengawas. Sebab, Erick menghapus mekanisme uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan lembaga profesional sebagai tim penilai calon pengawas BUMN.

Hal yang sama juga terjadi dalam konteks pengangkatan kandidat pengawas pada Bank BUMN dan BUMN terbuka, di mana aturan tahun 2015 mewajibkan adanya keterlibatan tim yang dibentuk menteri, namun era kepemimpinan Erick justru menghapusnya.

Sekalipun itu, terdapat praktik baik dalam beberapa bagian pada aturan tahun 2020, yakni, kewajiban pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi calon komisaris maupun dewan pengawas yang berasal dari penyelenggara negara dan ketentuan pemberhentian jika ada penetapan tersangka atau terdakwa oleh aparat penegak hukum yang merugikan BUMN atau keuangan negara.

Tags:

Berita Terkait