Melanggar HAM
Berbagai peraturan yang bersifat diskriminatif ini jelas melanggar hak asasi manusia (HAM). Sesuai Pasal 1(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1/1999, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan.
Lebih tegas dalam Konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dinyatakan bahwa diskriminasi rasial merupakan pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pemilihan yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal bangsa atau etnik yang bertujuan atau berdampak pada penihilan atau perusakan terhadap pengakuan, kesempatan menikmati atau melaksanakan, atas dasar kesetaraan, HAM dan kemerdekaan asali dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang-pidang kehidupan publik lainnya.
Pendeknya, diskriminasi rasial merupakan tindakan pembedaan yang bersifat illegal atas dasar ras, etnis, agama, dan kebudayaan, dan sebagainya. Diskriminasi rasial di Indonesia terdapat dalam perspektif vertikal, berupa pelestarian peraturan-peraturan hukum produk kolonial yang bersifat diskriminatif secara rasial serta penerapan peraturan-peraturan baru yang juga bersifat diskriminatif secara rasial. Sementara dalam perspektif horizontal, masyarakat menjadi terpecah belah karena faktor kepentingan sosial politik dan ekonomi, sehingga menimbulkan rasa curiga dan bisa berujung pada konflik.
Menurut Esther Jusuf Purba, Ketua Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), ada sekitar 64 peraturan di Indonesia yang dikeluarkan sejak zaman Belanda hingga sekarang yang membatasi dan membebani warganegaranya, terutama etnis Cina, dalam berbagai ruang hidup. Alasannya, sistem hukum dan perundangan di Indonesia masih menerapkan pembedaan status kewarganegaraan antarsektor dalam masyarakat.
Penerima Yap Thiam Hien Award tahun 2001 ini melihat, politik dan budaya yang rasis hidup dan diterima sebagai sebuah kewajaran di negeri kita. Dan, hal itu dilegitimasi dengan berbagai perangkat hukum. Hukum rasis yang menjadi alat untuk pemerasan dipaksakan dengan dalih menggelikan, yaitu untuk melindungi. "Padahal, korban tahu persis bahwa penandaaan dengan SKBRI bukanlah senjata pelindung. SBKRI adalah jerat pemerasan," cetus Esther kepada hukumonline dalam sebuah perbincangan.
Esther termasuk sedikit dari mereka berjuang untuk menentang berbagai diskriminasi ras dan etnis. Ia meyakini, hal-hal yang diskriminatif masih akan tetap terjadi di masa datang, jika tidak dilakukan upaya konkret untuk menanggulanginya. "Sistem nilai diskriminatif yang tersistem dalam politik hukum ini merupakan kejahatan yang amat mengerikan. Namun, hal ini kerap tidak disadari oleh masyarakat," ungkapnya.
Membuka belenggu
Diskriminasi terhadap etnis Cina sebenarnya sudah berlangsung lama. Bahkan, sejak zaman kolonial Belanda. Sejak zaman Orde Lama, WNA keturunan Cina dilarang melakukan usaha di pedesaan Indonesia. Selain itu, ada peraturan yang melarang sekolah Cina, pembentukan kelompok kebudayaan atau ikatan usaha khusus Cina, serta pajangan berhuruf Cina.