“Membentengi” Pekerja Pers dari Kriminalisasi dalam RKUHP
Terbaru

“Membentengi” Pekerja Pers dari Kriminalisasi dalam RKUHP

Dengan memasukkan frasa “kecuali untuk kepentingan tugas jurnalistik dan kepentingan umum”.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kebebasan berpendapat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai protes dan kritik dari banyak kalangan masyarakat. Pengekangan kebebasan berpendapat dan pers berdampak terhadap kemunduran demokrasi. Tapi, tudingan tersebut ditampik pemerintah. RKUHP yang dirancang dan disusun pemerintah dan pembahasannya bersama DPR tak dianggap mengekang kebebasan berpendapat bagi masyarakat ataupun pers.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan tak RKUHP tak mengekang kebebasan berpendapat ataupun pers. Soal pasal penghinaan terhadap presiden, tim perumus RKUHP tidak menghidupkan putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Tapi menjaga marwah dan martabat presiden sebagai kepala negara.

Kemudian soal kebebasan pers. Menurutnya, dalam RKUHP sama sekali tidak menyinggung tindak pidana pers. Namun, tim perumus memaklumi adanya kekhawatiran potensi mengekang kebebasan pers. Bahkan potensi mengkriminalisasi pekerja pers. Namun begitu, pemerintah dan DPR terus menyerap masukan dari publik.

Menariknya, kata Prof Edy begitu biasa disapa, Dewan Pers telah memberikan daftar inventarisasi masalah (DIM) beserta masukannya kepada DPR pada 23 Agustus 2022 lalu. Memang Dewan Pers mengkritik materi terkait kebebasan berpendapat dan pers. Tapi, selain mengkritik, Dewan Pers memberikan solusi.

“Solusi ini menurut saya pribadi itu sangat bisa diakomodir. Karena konstruksi pasalnya tidak diubah, tapi ditambahkan dalam rumusan pasal itu. Seperti (frasa, red) ‘kecuali untuk kepentingan jurnalistik’. Kalau itu sudah aman,” ujarnya pada sebuah diskusi dalam rangka diseminasi informasi RKUHP, Senin (29/8/2022).

Baca Juga:

Dia yakin Komisi III DPR bakal sepakat dengan masukan Dewan Pers mencegah sejumlah pasal RKUHP berpotensi membungkam pers. Prof Edy menyebut frasa “untuk kepentingan dan tugas jurnalistik” bakal dimasukkan dalam sejumlah pasal. Seperti Pasal 218, 219 RKUHP. Menurutnya, sejumlah masukan Dewan Pers seputar frasa “untuk kepentingan dan tugas jurnalistik” tidak dapat dipidana tak hanya dimasukkan dalam Pasal 218 dan 2019, tapi juga Pasal 240, 241, 246, 247, 248, 263, 303, 351, 437, 440, 443, dan 447 RKUHP.

Menurutnya, dalam Pasal 188 ayat (1) menyebutkan “Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.  Tapi Dewan Pers memberi masukan dalam ayat 6 menjadi,” Tidak dipidana orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana pada ayat (1) apabila dilakukan untuk ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah”.

Kemudian dalam Pasal 218 ayat (2) semula, “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”. Sementara Dewan Pers memberi masukan pada ayat (2) dengan menambahkan frasa menjadi, “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, kepentingan umum atau pembelaan diri”.

Dewan Pers pun mengusulkan penambahan substansi satu ayat pada Pasal 219 menjadi ayat (2) menyebutkan, Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, kepentingan umum atau pembelaan diri”.

Begitu pula usulan penambahan substansi satu ayat pada Pasal 240 menjadi ayat (2) menyebutkan, Tidak merupakan penghinaan terhadap pemerintah yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, atau kepentingan umum”.

“Jadi itu kalau untuk kepentingan akademik dan kepentingan jurnalistisk, kemudian juga pasal penghinaan pejabat publik menyerang martabat presiden, jadi tinggal di-insert saja ke pasal-pasal itu. Insya Allah kita insert. Kalau DPR setuju, kita insert. Kan sekali lagi tidak mengubah substansi,” ujar Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Univesitas Gajah Mada itu.

Anggota Dewan Pers Ninik Rahayu berpandangan terkait penyerangan kehormatan atau harkat martabat presiden dan wakil presiden tidak dipidana sepanjang dilakukan untuk tugas jurnalitik, kepentingan umum, ataupun pembelaan diri. Dewan Pers mengusulkan sejumlah reformulasi pada sejumlah pasal, namun tidak mengubah substansi.

Sementara anggota Dewan Pers lainnya, Arif Zulkifli menguraikan contoh reformulasi penghasutan melawan penguasa di Pasal 246 RKUHP. Semula Pasal 246 menyebutkan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan: a. menghasut orang untuk melakukan Tindak Pidana; atau b. menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan Kekerasan.”.

Sementara usulan reformulasi Dewan Pers, “a. mengajak publik secara terang-terangan untuk melakukan tindak pidana atau, b. mengajak publik secara terang-terangan untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan”. Bagi Dewan Pers, usulan reformulasi sedemikian gamblang, jelas, terang, delik materiilnya dipertajam dan mudah dipahami, serta menghindarkan salah tafsir atau pasal karet.

Sementara Wakil Ketua Komisi III Desmon Junaedi Mahesa mengapresiasi masukan dari Dewan Pers. Tak sekeda mengkritik, Dewan Pers pun memberikan opsi dan solusi terhadap penyempurnaan draf RKUHP. Khususnya soal kebebasan berpendapat dan pers. “Membaca reformulasi yang disampaikan Dewan Pers, kami merasa tercerahkan. Terasa ada relaksasi. Ini clear dan adem (sejuk). Terima kasih, pada dasarnya kami oke,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman Dewan Pers.

Tags:

Berita Terkait