Membedah Pidana Korporasi dalam Perspektif Prof.Dwidja Priyatno
Terbaru

Membedah Pidana Korporasi dalam Perspektif Prof.Dwidja Priyatno

Mulai dari lemahnya sanksi untuk korporasi hingga perspektif viktimologi.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit

Ia melanjutkan, bisa dilakukan penambahan beberapa pengaturan pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru. Misalnya syarat pertanggungjawaban pidana (Pasal 36), strict liability dan vicarious liability (Pasal 37), kekurangmampuan bertanggungjawab (Pasal 38), ketidakmampuan bertanggungjawab (Pasal 39), usia pertanggungjawaban pidana (Pasal 40 dan 41), daya paksa absolut dan relatif (Pasal 42), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 43), perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang (Pasal 44), dan pertanggungjawaban pidana korporasi (Pasal 45 dan 50).

Sementara itu, Angkasa membahas soal korban yang ia kupas dengan perspektif viktimologi. Secara sederhana, ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang korban kejahatan disebut viktimologi. Sebagai suatu cabang ilmu yang relatif muda, tidak banyak orang yang dapat memahami pengertian, isi, dan ruang lingkup viktimologi.

Viktimologi merupakan suatu studi atau pengetahuan yang sebenarnya berasal dari kriminologi. Viktimologi dapat dikatakan sebagai anak atau turunan dari kriminologi. Pokok pengetahuannya terkait dengan kejahatan yaitu akibat dari kejahatan itu sendiri yang menimbulkan adanya korban.

Penderita dampak dari suatu kejahatan menyandang status sebagai korban karena mengalami kerugian. Mereka menjadi objek yang dibahas dalam viktimologi. “Perspektif viktimologi terbagi atas tiga yaitu menganalisis berbagai aspek masalah korban, menjelaskan penyebab viktimisasi, dan mengembangkan sistem tindakan untuk mengurangi penderitaan manusia,” ujar Angkasa.

Salah satu faktor terjadinya viktimisasi dalam tindak pidana korporasi adalah mudahnya terjadi sebuah kejahatan korporasi akibat pengaruh budaya perusahaan. Mengejar keuntungan dan pertumbuhan menjadi tujuan utama korporasi tetapi kerap mengabaikan pertimbangan etis.

“Ini dapat menyebabkan pengabaian terhadap peraturan serta toleransi terhadap perilaku tidak etis,” kata Ketua Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia itu. Angkasa menyayangkan bahwa kejahatan dan kecurangan dalam menjalankan perusahaan saat ini kadang dipandang sebagai seninya bisnis.

Tags:

Berita Terkait