Membandingkan Hukum Itu Harus Hati-Hati
Berita

Membandingkan Hukum Itu Harus Hati-Hati

Salah metode, salah pula kesimpulannya.

Ali
Bacaan 2 Menit
Sekretaris Asosisasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia Susi Dwi Harijanti di Depok, Jawa Barat, Senin (13/4). Foto: RES.
Sekretaris Asosisasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia Susi Dwi Harijanti di Depok, Jawa Barat, Senin (13/4). Foto: RES.

Ada banyak metode untuk melakukan pembangunan hukum. Salah satu yang dianggap paling efektif adalah dengan melakukan perbandingan. Makanya, di dunia akademis dikenal adanya “Master of Comparative Law”. Namun, membandingkan hukum tidak bisa dilakukan secara serampangan.  

Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH UNPAD) Susi Dwi Harijanti mengatakan melakukan perbandingan hukum harus dilakukan secara hati-hati, karena ketika salah menentukan metode, maka salah pula kesimpulannya.

“Kita harus memperhatikan faktor budaya hukum atau legal culture. Jadi tak bisa asal saja mengambil atau mengadopsi,” ujar wanita yang baru saja ditunjuk sebagai Sekretaris Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia di Depok, Jawa Barat, Senin (13/4).

Susi mengutip pandangan profesor comparative law asal Skotlandia, Alan Watson yang menyatakan, “Berhasil atau tidaknya transplantasi hukum, apabila berfungsi di tempat semula.” Itu erat kaitannya dengan budaya hukum di masyarakat sekitar.

Lebih lanjut, Susi memberi dua contoh perbandingan hukum yang bisa diperdebatkan apakah berhasil atau tidak di Indonesia. Pertama, dissenting opinion atau pendapat berbeda yang sudah sering dilakukan oleh hakim-hakim di Indonesia. Ia menilai dengan melakukan perbandingan hukum, maka bisa dinilai keberhasilan perilaku tersebut.

Susi menuturkan bahwa dissenting opinion berasal dari hakim-hakim yang negaranya menggunakan sistem common law. Pasalnya, dengan sistem yang dikenal juga sebagai anglo saxon ini, hakim itu bersifat individual terhadap putusannya. Jadi, wajar saja bila ada hakim yang berbeda pendapat, lalu mencantumkan dissenting opinion

Namun, lanjut Susi, praktek tersebut menjadi agak kurang tepat bila diadopsi ke peradilan di Indonesia. Sebab, Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental atau Civil Law, yang menganggap bahwa hakim dianggap satu kesatuan dengan majelis.

“Mekanisme dissenting opinion ini diadopsi ke sistem peradilan kita. Kita agak lupa sistem besar kita. Maksudnya baik, tapi lupa bahwa dissenting opinion itu ada di common law karena hakim itu di sana sebagai individu,” jelasnya.

“Mungkin orang nggak terlalu sadar, apa di Eropa Kontinental itu bisa nggak dissenting opinion? Itu secara teori ya,” tambahnya.

Contoh kedua, lanjut Susi, adalah ketika seseorang meneliti freedom of religion (kebebasan beragama) di Indonesia, lalu membandingkannya dengan negara lain. “Harus dikaji terlebih dahulu perbandingan dengan negara mana? Ada kriteria dan karakteristik untuk menentukan objek perbandingan,” ujarnya.

Susi menjelaskan ketika orang tersebut membandingkannya dengan Amerika Serikat, maka kesimpulannya bisa jadi kurang tepat. Pasalnya, di Amerika Serikat, kebebasan beragama cukup mutlak, yakni negara tidak boleh ikut campur dengan urusan agama.

“Itu pandangan barat yang belum fit di kita (Indonesia,-red),” ujarnya.

Lebih lanjut, Susi memaparkan sejak negara Indonesia didirikan, negara ini memang di-setting untuk bisa mencampuri urusan agama masing-masing warga negaranya. “Kira-kira kalau seperti ini, bisa nggak kita melakukan perbandingan dengan Amerika Serikat untuk konteks ini?” lanjutnya.

Oleh karena itu, Susi memaparkan bahwa perbandingan sebagai metode memang sangat menarik digunakan, tetapi manakala digunaka dengan cara yang tidak benar, maka berpotensi disalahgunakan. “Harus hati-hati, karena kesimpulannya bisa nggak valid,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait