Memahami Zakat Profesi
Edsus Lebaran 2019

Memahami Zakat Profesi

Menurut Fatwa MUI, zakat penghasilan (profesi) dapat dikeluarkan saat menerima jika sudah cukup nishab. Atau jika tidak mencapai nishab, semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, lalu zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Setiap jelang lebaran, umat Islam selalu diingatkan pada kewajiban membayar zakat baik zakat fitrah (jiwa) maupun zakat mal (harta) sebagai bentuk ibadah menjalankan salah satu rukun Islam. Selama ini potensi zakat di Indonesia sangat besar dari sisi pemberdayaan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat jika dikelola secara lebih produktif dan tepat sasaran. Padahal, urusan zakat ini sudah diserap dalam hukum nasional melalui berlakunya UU No. 38 Tahun 1999 dan kemudian diubah dengan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang lebih banyak mengatur seputar kelembagaan amil zakat (Baznas dan LAZ).       

 

Sesuai UU Pengelolaan Zakat itu, zakat didefinisikan sebagai harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim/muslimah atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq) sesuai syariat Islam. UU Pengelolaan Zakat tidak mengatur siapa saja yang masuk kategori mustahiq dan muzakki (pembayar zakat) termasuk syarat nishab (batas minimal harta terkena wajib zakat) dan kadar zakat yang harus dikeluarkan.   

 

Mengutip QS At-Taubah (9): 103 disebutkan "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan mensucikan mereka."  Dalam QS At-Taubah (9): 60, ada 8 golongan (asnaf) yang masuk kategori mustahiq yang berhak menerima zakat:

 

  1. Fakir (orang yang tidak memiliki harta).
  2. Miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi).
  3. Riqab (hamba sahaya atau budak).
  4. Gharim (orang yang memiliki banyak utang).
  5. Mualaf (orang yang baru masuk Islam).
  6. Fisabilillah (pejuang di jalan Allah).
  7. Ibnu Sabil (musafir dan para pelajar perantauan).
  8. Amil zakat (panitia penerima dan pengelola dana zakat).

 

Salah satu jenis zakat yang wajib dibayar adalah zakat harta yang pelaksanaannya tidak harus saat jelang Hari Raya Idul Fitri. Kewajiban zakat mal ini berlaku bagi mereka (muzakki) yang telah memiliki kemampuan lebih secara finansial dan memiliki harta yang telah mencapai nishab. Nishab adalah batas minimal harta/pendapatan terkena wajib zakat. Jika kurang dari nilai batas minimal tersebut, tidak wajib berzakat.

 

Mengutip buku Panduan Zakat Praktis yang diterbitkan Baznas-Dompet Dhuafa (September, 2006), ada 6 syarat atau prinsip kekayaan yang wajib dizakati sesuai fikih zakat (kajian fuqaha). Pertama, hartanya dimiliki/dikuasai secara penuh dan diperoleh secara halal. Kedua, hartanya berkembang yang memberi keuntungan atau pendapatan secara ekonomi. Ketiga, hartanya mencapai nishab jumlah tertentu sesuai ketetapan syariat Islam.  

 

Keempat, harta yang dimiliki melebihi jumlah kebutuhan pokok. Kelima, hartanya terbebas dari hutang. Keenam, harta yang dimiliki genap selama setahun (haul). Syarat haul itu hanya berlaku bagi zakat peternakan; emas/perak atau uang simpanan; barang yang diperdagangkan (perniagaan). Sedangkan, zakat pertanian, buah-buahan, rikaz (barang temuan//harta karun/hasil tambang), dan sejenisnya tidak disyaratkan harus satu tahun, tetapi saat memetik hasil, panen, ditemukan.          

 

Menurut Prof Mohammad Daud Ali dalam bukunya, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Penerbit UI Press: Jakarta, 1988), ada beberapa jenis zakat mal, seperti zakat emas/perak/uang simpanan, zakat pertanian, zakat perniagaan/perdagangan, zakat peternakan, rikaz. Masing-masing jenis zakat mal tersebut memiliki nishab, waktu ditunaikan, kadar zakat yang berbeda-beda.

 

Dia mengutip QS At-Taubah (9): 35 jo Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi dari Ali bin Abi Thalib, dalam zakat emas/perak, harta yang wajib dizakati dimiliki selama setahun penuh (haul) dengan nishab emas sebesar 20 dinar (setara 85 gram emas murni); nishab perak sebesar sebesar 200 dirham (setara 595 gram perak) dan kadar zakat yang harus dikeluarkan keduanya sebesar 0,5 dinar dan 5 dirham (2,5 persen). Jika zakat berbentuk uang simpanan nishab-nya disetarakan dengan harga 85 gram emas dengan kadar zakatnya 2,5 persen.

 

Untuk zakat perdagangan, dalam QS Al-Baqarah (2): 267 jo Hadits Nabi yang berasal dari Samurah disebutkan dalam zakat perdagangan ditunaikan setelah tutup buku dalam setahun, semua uang dan barang dagangan yang ada dihitung nilainya. Dari total jumlah itu, dikeluarkan kadar zakatnya sebesar 2,5 persen jika memang nishab-nya mencapai harga 85 gram emas saat itu.              

 

Untuk zakat peternakan, bersumber dari Hadits Shahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan At-Tirmidji-Abu Dawud dari Anas bin Malik dan Muadz bin Djabal, zakat peternakan yang wajib dikeluarkan adalah hewan ternak yang dipelihara selama setahun, seperti kambing/biri-biri, sapi, kerbau. Nishab memelihara kambing sebanyak 40-120 ekor, zakat yang dikeluarkan 1 ekor kambing; sebanyak 121-200 ekor, zakatnya 2 ekor kambing. Sedangkan nishab memelihara sapi/kerbau/kuda sebanyak 30-59 ekor, maka zakat yang dikeluarkan 1 ekor sapi/kerbau/kuda.

                   

Beragam jenis zakat mal tersebut kemudian diatur Pasal 4 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat. Zakat mal terdiri dari:

 

  1. emas, perak, dan logam mulia lainnya;
  2. uang dan surat berharga lainnya;
  3. perniagaan;
  4. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
  5. peternakan dan perikanan;
  6. pertambangan;
  7. perindustrian;
  8. pendapatan dan jasa; dan
  9. rikaz.

 

Baca:

 

Zakat Profesi

Salah satu bentuk zakat harta yang kerap menjadi perbincangan yakni zakat pendapatan yang lazim dikenal zakat profesi. Jenis zakat mal, profesi ini awalnya tidak dikenal dalam khasanah Islam yang dibahas kalangan generasi ulama salaf (terdahulu). Berbeda dengan jenis zakat harta lain, seperti zakat emas/perak/harta simpanan, pertanian, peternakan, perniagaan, yang mendapat porsi pembahasan yang sangat memadai dan detail.

 

Meski begitu, menurut ijtihad (pemikiran) kalangan ulama fikih kontemporer, bukan berarti harta dari hasil menjalani profesi tertentu terbebas dari pembayaran zakat. Sebab, hakikatnya pungutan zakat harta diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Ini sesuai perintah QS Al-Baqarah (2): 267 yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagai dari hasil usahamu yang baik-baik.”  

 

Akan tetapi, jika hasil pendapatannya tak mencukupi kebutuhan hidup keluarga, ia akan menjadi mustahiq. Atau jika hasilnya hanya sekedar menutupi kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan biaya lain yang diperlukan, maka tidak wajib zakat karena nilai hasil profesinya tidak mencapai nishab.         

 

Prof Didin Hafidhuddin dalam bukunya berjudul, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah dan Zakat dalam Perekonomian Modern, menyebutkan penggagas atau yang mempopulerkan istilah zakat profesi adalah Syaikh Yusuf al-Qaradhawi lewat karyanya berjudul Fiqh al-Zakat. Yusuf al-Qaradhawi menyebut penghasilan yang diperoleh pekerja wiraswasta atau pegawai negeri dikenal dalam ilmu fikih dengan istilah al-mal almustafad.           

 

Ulama kenamaan asal Mesir ini memberi definisi zakat yang dikenakan (diwajibkan) pada setiap pekerjaan atau keahlian profesi tertentu baik dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga yang mendatangkan penghasilan (kasab) dan memenuhi nishab. Misalnya, penghasilan profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, penjahit, tukang batu, dan sebagainya. Termasuk didalamnya penghasilan/gaji pegawai negeri dan pegawai swasta yang menerima upah bulanan.  

 

Pandangan itu dikutip pula oleh Wahbah al-Zuhaili dalam buku Zakat: Kajian Berbagai Mazhab (PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 1995). Besarnya zakat profesi yang harus dikeluarkan sebesar seperempat puluh (2,5 persen) berdasarkan nash-nash (teks Al-Qur’an dan Hadits) yang mewajibkan zakat pada uang simpanan baik kepemilikannya telah setahun maupun belum mencapai setahun.

 

Namun, jika seorang muslim mengeluarkan zakat atas pendapatan profesinya ketika dia menerimanya (per bulan), maka dia tidak wajib zakat lagi pada akhir tahun. Dengan begitu, ada kesamaan (qiyas) antara pendapatan dari profesi-profesi itu dengan penghasilan para petani (zakat hasil pertanian) yang diharuskan membayar zakat tanaman dan buah-buahan ketika mereka memetik atau memanen.

 

Selama ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih (fuqaha) terkait nishab, kadar, dan waktu zakat profesi ini. Namun, menurut buku Panduan Zakat Praktis itu, disimpulkan ketentuan zakat profesi berupa harta (uang) di-qiyas-kan (disamakan secara analogi) dengan dua jenis zakat mal yakni zakat pertanian dan harta simpanan emas/perak/uang.

 

Pertama, zakat penghasilan (profesi) ini di-qiyas-kan dengan zakat pertanian berdasarkan nishab 653 kg gabah atau setara 524 kg beras dan waktu pengeluaran zakatnya setiap kali panen (analoginya setiap terima upah/gaji) dengan kadar zakat 2,5 persen. Kedua, zakat penghasilan ini yang diterima berupa uang, sehingga bentuk harta ini dapat di-qiyas-kan dengan zakat harta simpanan/kekayaan berdasarkan nishab harga 85 gram emas dan kadar zakat yang harus dikeluarkan sebesar 2,5 persen.

 

Pembahasan fikih zakat profesi ini yang mendasari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa. Seperti tertuang dalam Fatwa MUI No. 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan tertanggal 7 Juni 2003, yang menyebutkan penghasilan yang wajib dizakati adalah penghasilan bersih (netto). Penghasilan bersih setelah dikeluarkan kebutuhan pokok (al-haajah al-ashliyah), antara lain kebutuhan diri seperti sandang, pangan, papan, kebutuhan, kesehatan, pendidikan termasuk kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya.

 

Fatwa MUI ini mendefinisikan “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lain.

 

Semua bentuk penghasilan halal itu wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab senilai (minimal) harga emas 85 gram dalam satu tahun (haul) dan kadar zakat penghasilan yang dikeluarkan sebesar 2,5 persen. Zakat penghasilan (profesi) ini dapat dikeluarkan saat menerima jika sudah cukup nishab. Atau jika tidak mencapai nishab, semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, lalu zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.   

 

Pengaturan itu diadopsi pula dalam Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif. Beleid ini mengatur lebih detail teknis pelaksanaan zakat fitrah dan beragam jenis zakat maal termasuk zakat emas/perak/logam mulia, zakat pendapatan. Salah satunya, disebutkan nishab zakat pendapatan dan jasa disetarakan 653 kg gabah atau 524 kg beras dengan kadar zakat pendapatan dan jasa sebesar 2,5 persen.  

 

Misalnya, jika pendapatan minimal mencapai 524 kg beras dengan kadar zakatnya 2,5 persen dikeluarkan setiap menerima gaji bulanan atau setara sebesar Rp5,24 juta jika asumsi harga beras per kilogram Rp10 ribu. Atau nishab, pendapatan minimal zakat profesinya sebesar 85 gram emas (minimal pendapatan bersihnya mencapai Rp 51 juta selama setahun jika harga emas per gram Rp600 ribu) dengan tarif sebesar 2,5 persen dan dikeluarkan setiap tahun saat pendapatannya mencapai nishab.    

  

Baca:

 

Kurang Tepat

Sejak Februari 2018 lalu, muncul wacana pemungutan zakat profesi bagi ASN yang sempat menuai polemik dari kalangan pemangku kepentingan. Bahkan, belum lama ini, Presiden Joko Widodo siap menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemungutan Zakat ASN jika draft kajiannya sudah diajukan oleh Kementerian Agama. Namun, hingga tulisan ini diturunkan, Perpres Pemungutan Zakat Profesi bagi ASN ini belum diterbitkan. Kementerian Agama masih mengkaji sebelum mewajibkan atau memotong zakat profesi sebesar 2,5 persen dari gaji/penghasilan ASN per bulannya.    

 

Meski begitu, zakat profesi bagi ASN sudah berjalan di sejumlah daerah provinsi/kabupaten/kota yang pengaturannya diatur dalam peraturan daerah. Setiap gaji yang diterima ASN secara otomatis sudah dipotong 2,5 persen setiap bulannya untuk membayar zakat profesi oleh Baznas setempat. Seperti di Bekasi, Purwakarta, Riau, Bantul, Serang, Makassar, Bandung, dan lain-lain.

 

Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan MUI, M. Cholil Nafis mencatat data Baznas menunjukkan potensi zakat di Indonesia mencapai Rp200-an triliun pada 2018. Namun, realisasinya hanya sekitar 8 triliunan pada 2018. Secara prinsip, zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam, tapi pemerintah sampai saat ini belum membuat regulasi yang mewajibkan zakat terutama bagi ASN.

 

Cholil menilai pemungutan zakat di Indonesia melalui UU Pengelolaan Zakat selama ini sifatnya sukarela (voluntary). Selain itu, penyaluran/pengelolaan zakat oleh badan atau lembaga amil zakat (Baznas/LAZ) resmi sebagian besar untuk kalangan fakir dan miskin (pendayagunaan zakat kurang produktif). Persoalan lain, kata Cholil, UU Pengelolaan Zakat hanya mengatur kelembagaan amil zakat, belum mengatur kategori muzakki dan mustahiq

 

“Karena itu, UU Zakat layak untuk direvisi guna mengatur lebih lanjut antara lain mengenai muzakki dan mustahiq serta integrasi zakat dalam pajak,” saran dia.

 

Terkait rencana pemerintah yang ingin mewajibkan zakat untuk ASN, Cholil menilai hal tersebut kurang tepat. Menurutnya, tidak semua ASN masuk kategori wajib zakat (penghasilannya mencapai nishab). Jika tujuan pemerintah ingin menggenjot jumlah zakat yang dikumpulkan, Cholil mengusulkan agar zakat diintegrasikan (digabung) saja dengan komponen pajak.

Tags:

Berita Terkait