Memahami Rigiditas dan Anomali Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi
Resensi

Memahami Rigiditas dan Anomali Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi

Penulis mengajukan pentingnya dialog konstitusional untuk membangun kesepahaman bersama. Buku yang mengungkap fakta pasca ketuk palu Mahkamah Konstitusi.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit

Faktanya mungkin mencengangkan bagi sebagian orang. Dengan mengkaji 138 putusan (2003-2013) yang dianalisis, penulis menemukan fakta bahwa sebagian besar putusan belum ditindaklanjuti. Hanya 28,2 persen putusan yang ditindaklanjuti. Ini menunjukkan pembentuk undang-undang belum merespons putusan MK, dengan jalan mengganti atau mengubahnya. Penulis juga menunjukkan gambaran mencengangkan lainnya. Dari 39 putusan yang telah ditindaklanjuti selama periode yang sama, masih ada 38,5 persen putusan yang disimpangi. Riset Mahkamah Konstitusi dan Fakultas Hukum Universitas Trisaksi tahun 2019 juga menunjukkan 54,12 persen putusan dipatuhi seluruhnya; dan 22,01 persen tidak dipatuhi seluruhnya (hal. 48-49)

Hukumonline.com

Pengesampingan (overrule)adalah bentuk anomali dari asumsi umum bahwa putusan Mahkamah Konstitusi pasti diikuti. Bentuk-bentuk pengesampingan yang terjadi dapat berupa pengesampingan eksplisit atau implisit; pengesampingan dengan atau tanpa alasan; dan pengesampingan terhadap norma batal atau norma penafsiran. Mengenai penafsiran ini, pembaca dapat membaca buku ‘..’ karya M. Ilham Kermawan.

(Baca juga: Originalist atau Non-Originalis, Banyak Jalan Menafsir Konstitusi Kita).

Setidaknya, dari 44 putusan yang mengabulkan pada periode 2003-2013 ada 15 putusan yang disimpangi dalam pembentukan Undang-Undang (hal. 124-125). Contoh yang eksplisit disimpangi adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 05/PUU-IV/2006 mengenai fungsi pengawasan Komisi Yudisial (hal. 128).

Selain pengesampingan, ada beberapa wujud tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi: mengikuti atau mematuhi (comply), mengabaikan (ignore), dan menyerang balik (counterattack). Pembaca yang ingin melanjutkan penelusuran mengenai masing-masing wujud tindak lanjut ini dapat membaca buku Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democrarices (2003).

Buku yang ditulis Reza ini mencoba melihat persoalan ini dari relasi bersegi tiga, yaitu antara Mahkamah Konstitusi, DPR, dan Pemerintah. Sederhananya, Mahkamah Konstitusi  berwenang menguji Undang-Undang yang dihasilkan DPR dan Pemerintah menggunakan batu uji UUD 1945. Sedangkan DPR dan Pemerintah adalah legislator yang berwenang membentuk dan menghasilkan Undang-Undang setelah ada ‘persetujuan bersama’. Teori pemisahan kekuasaan dan prinsip checks and balances dapat dipergunakan untuk melihat relasi ketiga lembaga negara.

Tentu saja, tidak lengkap rasanya jika tidak ada solusi terhadap persoalan ketatanegaraan tersebut. Penulis mengajukan gagasan yang disebut dialog konstitusional berkelanjutan. Dialog ketatanegaraan ini adalah sebuah siklus. Apa yang dimaksud dengan dialog konstitusional? Pertanyaan ini juga diajukan Sigalet, Webber and Dixon dalam pengantar buku Constitutional  Dialogue Rights, Democracy, Institutions (2019): “What is ‘constitutional dialogue’ and why should it interest constitutional  and political scholars and actors?”. Apakah karena metafora yang digunakan?

Para pembaca sebaiknya menemukan jawaban atas pertanyaan itu dengan membaca buku Reza ini. Sebagai hasil riset, tentu saja, perlu riset lain yang memperkuat atau mengoreksi legal reasoning yang dipakai Reza. Beberapa kesalahan klerikal tak banyak mengurangi kekayaan substansi buku ini.

Selamat membaca…!

Tags:

Berita Terkait