Memahami Bursa Karbon dan Urgensi Pengaturan yang Ideal
Terbaru

Memahami Bursa Karbon dan Urgensi Pengaturan yang Ideal

Dibentuknya bursa karbon mampu meningkatkan validasi data yang lebih akurat serta real-time basis transaksi karbon. Di beberapa negara yang telah menjalankan bursa karbon, sisi positif pembentukan bursa karbon membantu penentuan harga acuan unit karbon yang sebanding terhadap standar global.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: Hukumonline
Ilustrasi: Hukumonline

Sebagai bentuk komitmen terhadap pengendalian emisi, perdagangan karbon melalui bursa karbon telah memiliki payung hukum dengan disahkannya UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Nantinya, karbon tersebut akan diperdagangkan atau carbon trading dalam bursa yang saat ini masih dirumuskan aturan mainnya.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, mengatakan pembentukan bursa karbon memasuki fase yang sangat menentukan. Setelah pengesahan UU 4/2023 diharapkan aturan teknis bursa karbon dirilis dalam waktu dekat. Urgensi perangkat aturan bursa karbon dapat mempercepat dampak positif dari potensi ekonomi hijau berbasis alam atau carbon credit potential.

“Bursa karbon sangat diperlukan dalam mendukung percepatan target Net Zero Emission pada 2050 karena sektor yang memiliki unit karbon positif akan mendapat insentif dari skema perdagangan karbon. Mekanisme bursa karbon memang sudah lama ditunggu, tentu nya kualitas dari pengaturan teknis penyelenggara bursa karbon menjadi penting,” ujarnya  kepada Hukumonline, Selasa (18/4/2023).

Baca juga:

Selain itu dibentuknya bursa karbon mampu meningkatkan validasi data yang lebih akurat serta real-time basis transaksi karbon. Di beberapa negara yang telah menjalankan bursa karbon, sisi positif pembentukan bursa karbon membantu penentuan harga acuan unit karbon yang sebanding terhadap standar global.

Berkaitan dengan standar acuan bursa karbon di beberapa negara, Bhima menilai bentuk penyelenggara bursa karbon yang ideal perlu dipisah dengan bursa efek. Sebagai contoh penyelenggara bursa karbon di AS adalah Intercontinental Exchange (ICE), sementara untuk bursa efek terdapat New York Stock Exchange (NYSE) dan Nasdaq. Bhima yang juga Ekonom mengungkapkan pentingnya pengaturan bursa karbon dalam Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK)) memberikan ruang kompetisi yang adil kepada setiap penyelenggara yang ingin terlibat.

Dia menilai, ekosistem dan best practices aturan main di bursa karbon sudah selayaknya dibuat berbeda dengan bursa efek. Oleh karena itu menjadi aneh kalau ada wacana peraturan khusus, di mana bursa efek bisa otomatis jadi penyenggara bursa karbon. Padahal dalam Pasal 24 UU PPSK, disebutkan bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara yang mendapat izin usaha OJK, bukan otomatis berasal dari penyelenggara bursa efek.

“Kita perlu memastikan aturan teknis khususnya dalam perizinan usaha bursa karbon tidak ekslusif hanya untuk bursa efek tapi terbuka bagi penyelenggara lainnya,” ungkap Bhima.

Salah satu perbedaan yang paling jelas didalam bursa karbon terdapat penjual serta pembeli dan pedagang karbon, sementara bursa efek lebih berperan memfasilitasi investor dengan emiten. Fungsi bursa karbon sebagai price discovery (penemuan harga acuan karbon), sementara bursa efek memiliki fungsi pencarian dana bagi emiten. Usulan bursa efek menjadi penyelenggara bursa karbon menimbulkan beragam pertanyaan besar terhadap desain bursa karbon dan efektivitas perdagangan karbon di Indonesia.

Menurutnya, OJK pun perlu hati-hati dalam merumuskan aturan penyelenggara bursa karbon. Dia melihat pemain bursa karbon ke depannya dapat muncul perusahaan teknologi sebagai penyelenggara yang bukan bagian dari bursa efek. Inovasi yang muncul di ekosistem bursa karbon perlu difasilitasi oleh OJK. Khawatirnya, jika dibatasi hanya bursa efek yang otomatis menjadi penyelenggara bursa karbon akan menghambat laju inovasi dan kedalaman pasar karbon.

“Karena kebingungan dari mekanisme bursa karbon menjadi disinsentif bagi pelaku pasar yang ingin terlibat,” tutup Bhima.

Dalam artikel Hukum Online berjudul ‘Menyongsong Bursa Karbon Indonesia’, Associate Professor dan Pemerhati Hukum Investasi dan Perdagangan Karbon, Rio Christiawan menyampaikan bursa karbon di Indonesia resmi memiliki payung hukum setelah disahkannya UU 4/2023. Secara spesifik bursa karbon disebut dalam Bagian Ketiga Pasal 23 UU 4/2023 yang menggunakan model omnibus law tersebut.

Dengan melihat potensi ekonomi yang sangat besar maka setelah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No.98 Tahun 2021 Tentang Nilai Ekonomi Karbon dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 (Permen LHK) Tentang Tata Laksana Perdagangan Karbon, dalam perspektif economic analysis of law merupakan hal yang positif. Tujuannya guna memberikan stimulus bagi perdagangan karbon khususnya bagi pihak swasta maupun pemerintah itu sendiri demikian juga merupakan stimulus bagi perdagangan karbon baik dalam pasar mandatory maupun voluntary.

Dengan demikian maka pihak yang telah mendapatkan PBPH (Perizinan berusaha penguasaan hutan) di bidang restorasi dan peruntukan perdagangan karbon dapat memperkirakan besaran volume karbon yang akan diperdagangkan di pasar voluntary. Pasal 7 Permen LHK 21/2022 tersebut telah memberi batasan yang jelas mengenai volume karbon yang dapat diperdagangkan beserta besaran bagi NDC Indonesia dan cadangannya. Demikian juga Pasal 4 ayat (2) Permen LHK 21/2022 juga memberikan petunjuk yang jelas bagi penyisihan unit karbon bagi pencapaian NDC terkait komitmen NDC Indonesia pada 2030.

“Dengan diterbitkannya Permen LHK 21/2022 maka menjadi jelas bahwa praktik perdagangan karbon dapat segera direalisasikan di tahun 2023,” ungkap Rio dalam artikel tersebut.

Tags:

Berita Terkait