Meluruskan Logika Pemerintah Soal Usulan Moratorium PKPU dan Pailit
Kolom

Meluruskan Logika Pemerintah Soal Usulan Moratorium PKPU dan Pailit

Rencana ini harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan pemahaman yang benar dari sisi hukum dan praktik bisnis, serta melihat fakta secara keseluruhan tanpa terkecuali.

Bacaan 6 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Saya dikejutkan oleh telpon dan pesan singkat dari teman-teman dari beberapa institusi pemerintah dan lembaga negara pada malam hari tanggal 26 Juli 2021. Pertanyaannya sama, “Besok (27 Juli 2021) ada undangan Arahan Presiden dalam Rapat Terbatas membahas mengenai Revisi Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan dan PKPU), pembahasan sudah sampai di mana?”

Pertanyaan seperti itu biasa saya terima, karena sejak tahun 2017-2018 saya menjadi Ketua Kelompok Kerja Penyusunan Naskah Akademik Amandemen Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU. Sayangnya pada tahun 2019 sempat terhenti tahapan legislasi amandemen undang-undang ini.

Tetapi pada pertengahan tahun 2020 saya diminta untuk menjadi anggota Panitia Antar Kementerian (PAK) penyusunan RUU Amandemen Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU. Tetapi karena proses pembahasan yang tidak efektif maka penyusunan tidak selesai di tahun 2020, dan dilanjutkan pada tahun 2021. Di mana awalnya saya diminta untuk menjadi Ketua Panitia Antar Kementerian, tetapi kemudian posisi tersebut dipegang oleh Pejabat Struktural di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, dan saya tetap menjadi anggota.

Mengingat lamanya saya terlibat dalam pembahasan amandemen UU Kepailitan dan PKPU, menyebabkan banyaknya informasi yang saya terima terkait rencana Pemerintah yang saya sebut di atas. Terkait rencana tersebut saya merasa perlu untuk memberikan masukan, karena saya melihat ada logika yang tidak lurus dari rencana Pemerintah tersebut, hal ini semakin tegas dengan pernyataan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam Rakerkonas APINDO Ke-31 tanggal 24 Agustus 2021.

Kepailitan dan PKPU Lingkup Kekuasaan Yudikatif

Argumentasi pertama, penyelengaraan Kepailitan dan PKPU adalah kewenangan kekuasaan yudikatif. Hal ini merupakan pengetahuan yang sangat mendasar bagi sarjana hukum. Bahwa penyitaan adalah domain dari lembaga peradilan. J Satrio dalam buku Parate Eksekusi, halaman 16 menyebutkan sita dan eksekusi adalah kewenangan pengadilan yang sudah ada dalam hukum Jerman kuno (germaanrecht) dan juga hukum jaminan Belanda kuno.

Kepailitan adalah sita umum, dan PKPU adalah pengesahan perdamaian oleh pengadilan (homologasi). Jadi dapat disimpulkan kepailitan dan PKPU adalah adalah kewenangan kekuasaan yudikatif. Tidak dapat pemerintah (kekuasaan eksekutif) secara sepihak mengatur apa yang merupakan kewenangan lembaga peradilan, apalagi menghilangkan kewenangan itu.

Merujuk pada rapat yang dilakukan oleh Kemenko Perkonomian pada tanggal 30 Juli 2021 sebagai tindak lanjut arahan Presiden dalam Rapat Terbatas tanggl 27 Juli 2021, tidak terdapat perwakilan Mahkamah Agung dalam undangan rapat tersebut. Perlu saya beritahukan, bahwa undang-undang kepailitan hanya memberikan sedikit kewenangan dan atau pengaturan kepada Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan pemerintah yang terdiri dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kejaksaan Agung. Dari banyaknya kewenangan dan atau pengaturan yang terdapat dalam UU Kepailitan dan PKPU.

Presiden seharusnya menempatkan dirinya sebagai Kepala Negara ketika akan mengamandemen UU Kepailitan dan PKPU apalagi jika dalam bentuk Perppu, dengan terlebih dahulu menyampaikan rencananya kepada Mahkamah Agung. Tetapi yang dilakukan oleh Presiden memposisikan dirinya sebagai Kepala Pemerintahan dengan menyelenggarakan Rapat Terbatas, dan memerintahkan anggota kabinet di bawahnya untuk membahas dan mengatur penghentian sementara upaya hukum permohonan pernyataan pailit dan PKPU yang merupakan kewenangan lembaga yudikatif.

Hal ini merupakan krisis konstitusi, di mana kekuasaan eksekutif, menghentikan sesuatu yang merupakan kewenangan kekuasaan yudikatif secara sepihak. Sekalipun Mahkamah Agung tidak keberatan, bukan berarti pemerintah bisa bebas melanggar tertib bernegara.

Kepailitan dan PKPU untuk Kepentingan Debitor dan Kreditor

Harus dipahami, hukum kepailitan diciptakan, dan diatur sejak zaman Romawi kuno sampai dengan saat ini ditujukan untuk menyelesaikan financial distress debitur, dan secara bersamaan juga menyelesaikan tagihan yang tidak terbayar milik kreditor. Sehingga dapat dipastikan hukum kepailitan dan PKPU tidak berbicara tentang kepentingan debitor saja atau kreditor saja, tapi keduanya.

Titik objektivitas itu dijaga dalam persyaratan kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1), dan persyaratan PKPU yang diatur dalam Pasal 222 UU Kepailitan dan PKPU. Jadi dapat disimpulkan, permohonan pernyataan pailit maupun permohonan PKPU yang dikabulkan oleh pengadilan niaga pasti diakibatkan adanya debitur yang tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Sehingga bagaimana mungkin pemerintah akan melindungi debitur yang tidak bayar utang yang telah jautuh tempo dan dapat ditagih. Seharusnya pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk melakukan intervensi terhadap hubungan kontraktual antar privat agar diberikan kelonggaran (relaksasi) dalam pembayaran utang atau kewajiban selama pandemi Covid-19. Bukan dengan mengintervensi yang bukan kekuasaan Pemerintah.

Selain itu, pengajuan permohonan kepailitan dan PKPU bukan hanya hak dari kreditur, tetapi juga hak dari debitur untuk mengajukannya sebagai cara lepas dari financial distress(voluntary petition) yang mana hal ini diatur dalam UU Kepailitan di seluruh negara di dunia. Serta, dalam konteks Indonesia dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD RI 1945, kesamaan kedudukan di hadapan hukum yang tidak bisa dicabut oleh pemerintah dengan alasan yang tidak terlalu penting.

Saya sendiri dalam dua tahun ini mendampingi tiga perusahaan yang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU. Dua di antaranya adalah permohonan debitur sendiri (voluntary petition). Sulit terbayangkan jika usul penghentian sementara ini direalisasikan pemerintah. Karena hal ini akan melanggar hak manusia yang diberikan hukum yang berlaku universal dan hak warga negara dijamin konstitusi, yaitu hak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU secara sukarela (voluntary petition) karena itu merupakan cara yang dibenarkan hukum untuk menyelesaikan financial distress yang dialami subjek hukum.

Krisis Ekonomi Membutuhkan Kemudahan Pailit dan PKPU

Sejalan dengan argumentasi sebelumnya, krisis ekonomi di level bisnis pasti menimbulkan financial distress bagi debitur. Financial distress dapat dipersonifikasikan seperti darah mati dalam tubuh manusia yang harus disalurkan dan dikeluarkan dari tubuh, jika dibiarkan akan berbahaya.

Demikian juga ketidakmampuan membayar utang, dalam ilmu manajemen dan ilmu akuntansi utang ini harus ada jalan penyelesaiannya. Dalam hukum diartikan sebagai hak untuk mendapatkan kebebasan untuk memilih punya harta tapi punya utang, atau melikuidasi harta untuk membayar utang.

Sejalan dengan argumentasi di atas, pemerintah harus belajar pada sejarah. Ketika krisis moneter dan krisis ekonomi tahun 1997, maka salah satu cara jitu yang disarankan oleh International Monetary Fund (IMF) adalah membuat UU Kepailitan dan PKPU yang memudahkan proses kepailitan dan PKPU, yang menggantikan Peraturan Kepailitan Belanda (Failesement Verordering) yang mengatur syarat kepailitan yang berat. Yaitu dengan dengan diterbitkannya Perppu 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998, yang kemudian diamandemen minor menjadi UU No. 37 Tahun 2004. Cara ini terbukti berhasil mengatasi financial distress para debitur, dan menggerakkan lagi industri perkreditan, serta dunia usaha.

Syarat kepailitan dan PKPU yang memudahkan ini juga berhasil menyelamatkan Indonesia melalui masa krisis ekonomi tahun 2008. UU Kepailitan dan PKPU berhasil membuat dunia usaha tetap bergerak dan likuid dengan menjadi saluran atas permasalahan ketidakmampuan debitur membayar utangnya. Jika pemerintah memaksakan untuk menghentikan sementara permohonan kepailitan dan PKPU, maka Pemerintah harus berhadapan langsung dengan fakta sejarah tersebut. Meskipun bisa jadi sejarah tidak selalu berulang.

Moral Hazard dalam Kepailitan dan PKPU

Moral hazard ada dalam setiap aspek ekonomi, hukum dan politik di Indonesia. Termasuk di proses kepailitan dan PKPU, pengamatan saya pribadi menunjukan kepailitan dan PKPU dengan sistem voting-nya, kemudian kontradiksi kepailitan bisa damai dan PKPU bisa pailit, serta permasalahan pengawasan kurator dan pengurus. Menjadikan upaya hukum permohonan pernyataan pailit dan PKPU menjadi pisau bermata dua. Karena tidak jarang upaya ini digunakan oleh salah satu pihak (debitur atau kreditur) untuk sesuatu tujuan yang buruk (negative way). Pihak yang menggunakannya untuk negative way adalah pengusaha itu sendiri baik dalam kapasitas sebagai debitur atau kreditur. Adapun pengurus, kurator, dan advokat terkadang menjadi kaki tangan atau pesuruh saja. Meskipun dalam beberapa kasus mereka ini menjadi inisiatornya.

Permasalahan ini bukan masalah baru, sudah ada sejak UU Kepailitan dan PKPU pertama kali diundangkan pada tahun 1998. Saya pribadi selalu mengangkat isu ini dalam forum ilmiah dan profesional sejak tahun 2017. Bahkan, salah satu materi yang akan amandemen dalam UU Kepailitan dan PKPU adalah isu ini. Yaitu pentingnya pengawasan kurator dan pengurus, mengingat UU Kepailitan dan PKPU ini tidak mungkin mengatur pengusaha yang jahat, karena ini adalah ranah penegak hukum. Maka, yang dapat diatur adalah bagaimana menciptakan dan menjamin kurator dan pengurus independen dan berintegritas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Tetapi hal ini tidak menjadi perhatian pemerintah. Buktinya sejak naskah akademik selesai akhir tahun 2018, sampai dengan dibentuknya Panitia Antar Kementerian membutuhkan waktu 1 tahun lebih. Dengan kata lain, isu moral hazard yang sudah lama ada ini dilakukan pembiaran oleh pemerintah, dengan tidak menjadikan amandemen UU Kepailitan dan PKPU sebagai prioritas. Saat ini ketika telah menjadi perhatian Pemerintah, sayangnya pemahamannya salah.

Rencana Pemerintah untuk menerbitkan Perppu (saya tidak masuk pembahasan apakah pengaturan dalam bentuk Perppu tepat atau tidak, karena bukan keahlian saya), atau merevisi UU Kepailitan dan PKPU di bawah Kemenko Perekonomian harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan pemahaman yang benar dari sisi hukum dan praktik bisnis, serta melihat fakta secara keseluruhan tanpa terkecuali. Agar mendapatkan perspektif yang benar dan memutuskan dengan benar pula, tindak lanjut dari usulan dari kalangan pengusaha untuk menghentikan sementara permohonan kepailitan dan PKPU. 

*)Teddy Anggoro, Pengajar Hukum Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ketua Pokja Penyusunan Naskah Akademik Amandemen UU No. 37 Tahun 2004, Anggota Panita Antar Kementerian Penyusunan RUU Amandemen UU No. 37 Tahun 2004.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait