Melihat Urgensitas Business Judgement Rule sebagai Pencegahan Tipikor
Utama

Melihat Urgensitas Business Judgement Rule sebagai Pencegahan Tipikor

BJR beririsan dengan tipikor saat terjadi kerugian bagi perseroan khususnya BUMN. Namun, meski terjadi kerugian perseroan, tidak serta merta diklasifikasikan sebagai tipikor.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

Baginya, terdapat keputusan bisnis yang dapat dipidana saat terdapat unsur kesengajaan (dolus), kecurangan (fraud), keuntungan tidak sah (undue advantage), adanya kerugian negara. Jika hanya terdapat kerugiannya saja, maka sifat melawan hukum dapat hilang jika negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, terdakwa tidak mendapat keuntungan.

Dari sisi beban pembuktiannya, BJR ini terdapat pada penuntut umum sebagai pendakwa seseorang atas adanya dugaan pelanggaran BJR dalam keputusan tersebut. Namun, di sisi lain, direksi juga memiliki hak untuk membuktikan keputusan tersebut sesuai ketentuan dan menerapkan prinsip BJR.

”Biarlah hakim yang menilai apakah sebagai keputusan bisnis atau ada unsur pidana korupsinya,” katanya.

Sementara Partner SIP Law Firm, Tri Hartanto berpendapat, saat terjadi pengabaian prinsip BJR, maka direksi wajib bertanggung jawab secara pribadi atas keputusan bisnis yang dianggap sebagai pelanggaran hukum. Oleh karena itu, pentingnya kompetensi dan kecakapan dalam pengangkatan direksi.  Dia mewanti-wanti seseorang yang diangkat sebagai direksi atau dewan komisaris mesti memiliki keterampilan dan kecakapan yang mumpuni hingga dapat mengakselerasi kemampuannya.

”Sehingga menghasilkan benefit bagi perseroan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Tri mengatakan secara implisit BJR dianut  dalam Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 114 ayat (5) UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sementara khusus Perusahaan Publik secara spesifik dalam Pasal 13 ayat (2) Peraturan Otortas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dekom Emiten atau Perusahaan Publik.

BJR juga mengalami perkembangan dalam praktiknya. Semula BJR diterapkan sebagai doktrin tidak akan mencampuri urusan direksi kecuali direksi menjalankan kewenangannya dengan itikad buruk. Kemudian berkembang memeriksa juga prosedur pengambilan keputusan secara substantif, dan melihat ruang lingkup tanggungjawab direksi. Selanjutnya, di Indonesia, tren BJR tidak lagi hanya melindungi gugatan derivative pemegang saham, melainkan tuntutan jaksa dalam perkara tindak pidana korupsi.

Dia mengatakan, direksi maupun dewan komisaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap suatu keputusan yang menimbulkan kerugian bagi perseroan meskipun terhadap keputusan terdapat kekeliruan. Kecuali, keputusan bisnis tersebut memiliki unsur suatu kecurangan (fraud).

Kemudian menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest); atau perbuatan yang melanggar hukum (illegality). Pada akhir paparannya, Tri menyampaikan BJR memiliki berbagai tantangan seperti tidak ada pengaturan yang definitif terkait penerapan prinsip BJR.

”Adapun, (BJR) dilihat perkara yang masuk dipersidangan di mana penerapan BJR tergantung kepada penafsiran hakim,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait