Melihat Urgensi dan Kesiapan Regulasi Terkait Dokter Asing di Indonesia
Utama

Melihat Urgensi dan Kesiapan Regulasi Terkait Dokter Asing di Indonesia

Beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru dan Timur Tengah sudah menjalankan program dokter asing. Namun mereka menerapkan persyaratan yang ketat seperti kualifikasi pendidikan, ujian bahasa dan kompetensi, serta pelatihan tambahan. Bagaimana dengan Indonesia?

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Kiri ke kanan: Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Bagian Timur Iqbal Mochtar, Anggota Dewan Pertimbangan PP IDI Sukman T. Putra, dan Ketua Umum Pengurus Besar IDI Moh. Adib Khumaidi. Foto: FNH
Kiri ke kanan: Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Bagian Timur Iqbal Mochtar, Anggota Dewan Pertimbangan PP IDI Sukman T. Putra, dan Ketua Umum Pengurus Besar IDI Moh. Adib Khumaidi. Foto: FNH

Peristiwa pemecatan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlanngga (FK Unair), Prof. Budi Santoso menjadi perbincangan, khususnya di lingkungan kedokteran. Latar belakang pemecatan tersebut diduga disebabkan karena sikap kritikan Prof. Budi terkait rencana pemerintah untuk mendatangkan dokter asing.

Rencana pemerintah terkait peluang mendatangkan dokter asing disampaikan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Azhar Jaya. Dia mengatakan tujuan utama dokter asing didatangkan adalah untuk mentransfer ilmu ke dokter lokal, selain mengisi kekosongan tenaga medis. Hal itu dia sampaikan sebagai respons atas pertanyaan awak media tentang pemetaan dokter asing di Indonesia. 

Azhar mengatakan transfer ilmu tersebut seperti di sejumlah RS, misalnya untuk transplantasi jantung atau paru-paru karena Indonesia belum pernah melakukannya. Adapun untuk dokter asing di daerah terpencil, dia menyebut bahwa pihaknya menunggu respons dari pihak-pihak di daerah yang membutuhkan dokter. Jika suatu daerah kekurangan, katanya, maka dinas atau rumah sakitnya melaporkan ke Kemenkes, kemudian mereka mencocokkan datanya sebelum mengirimkan dokter asing yang dibutuhkan.

Baca Juga:

"Kalau ternyata memang diperlukan dokter asing, ya apa boleh buat. Karena orang kita nggak ada yang mau. Jadi intinya dokter asing nggak seperti yang digembar-gemborkan di sana," kata Azhar dikutip dari Antara.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun merespons wacana pemerintah tersebut. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar IDI Moh. Adib Khumaidi, masuknya dokter asing ke Indonesia merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari mengingat Indonesia sudah terlibat langsung dalam kerja sama multilateral Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang memiliki roadmap pencapaian program pada tahun 2025 mendatang. Artinya, dokter asing dan investor asing di bidang kesehatan dapat masuk ke Indonesia dan sebaliknya.

Namun demikian, upaya pemerintah untuk menanggulangi kekurangan tenaga medis yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia tidaklah cukup hanya dengan mendatangkan dokter asing.

“Apakah dengan mendatangkan dokter asing bisa menjawab masalah distribusi? Tidak sesederhana itu karena menyelesaikan sektor kesehatan tidak hanya cukup dengan memperbaiki SDM, tetapi juga infrastruktur dan pembiayaan,” kata Adib dalam Media Briefing IDI bertajuk “Bagaimana Semestinya Regulasi Dokter Asing Berpraktik di Indonesia?”, Selasa (9/7/2024).

Adib mengakui persoalan sektor kesehatan di Indonesia cukup kompleks. Mulai dari maldistribusi, di mana dokter hanya terkonsentrasi di pulau Jawa-Bali dan kota besar, disparitas pelayanan kesehatan yang mana kapasitas pelayanan unggulan belum merata, kualitas sistem rujukan, kemudian persoalan efektivitas pembiayaan kesehatan dan kapasitas kelola kesehatan.

Di sisi lain, regulasi terkait tenaga kerja asing khususnya dokter asing dinilai belum memadai. Memang, UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sudah mengatur tentang pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri dalam Pasal 284. 

Pasal 284 ayat (1) tersebut menyebutkan bahwa tenaga dokter asing bisa berpraktik di Indonesia setelah mengikuti evaluasi kompetensi. Lalu Pasal 284 ayat (3) mengatakan kompetensi yang dimaksud adalah penilaian kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan praktik. Tetapi aturan tersebut belumlah komprehensif. Sementara regulasi dibutuhkan untuk melindungi dokter di dalam negeri dan juga warga negara.

“Memang sekarang sudah terbuka, tapi harus ada domestic regulation. Kalau ada domestic regulation, ya bisa. Makanya Indonesia harus ada PP, dalam satu upaya negara melindungi warga negara. Jadi ini perlu kajian, perlu dibuat rancangan yang tegas dan melibatkan semua pihak,” tuturnya.

Anggota Dewan Pertimbangan PP IDI Sukman T. Putra menegaskan bahwa isu limited practices sudah menjadi pembahasan dalam MEA. Meski sifatnya terbuka, namun tetap mendapatkan batasan oleh masing-masing negara anggota MEA. Artinya, dalam hal merekrut dokter asing ke dalam negeri, pemerintah negara setempat menetapkan aturan secara ketat.

Sukman menegaskan IDI tak mempermasalahkan kedatangan dokter asing ke Indonesia karena bagian dari transfer ilmu pengetahuan. Namun tentunya harus mengikuti regulasi yang ada di Indonesia.

Persoalannya aturan dimaksud belum tersedia, sehingga area ini masih menjadi abu-abu dan menimbulkan banyak pertanyaan, seperti dokter apa yang akan direkrut, dan dimana mereka akan ditempatkan. Jika tenaga dokter asing ditempatkan di kota besar, maka kebijakan ini tidak menjawab persoalan distribusi.

“Yang boleh masuk ke Indonesia itu apakah tenaga spesialis, dokter umum, atau sub spesialis? Apakah kalau mereka kerja di tempat terpencil tidak masalah? Karena kalau ditempatkan di kota-kota besar, sudah banyak dokter. Jadi bukan melarang,” tegas Sukman.

Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia di Bagian Timur, Iqbal Mochtar mengakui bahwa di beberapa negara sudah menggunakan program dokter asing seperti Amerika, Inggris, Kanada, Selandia Baru, dan Timur Tengah. Alasan penggunaan dokter asing disebabkan kekurangan dokter terutama di daerah pedesaan. Dokter asing di negara-negara ini menggunakan kriteria beban kerja dan level of burnout.

Dokter asing di negara-negara tersebut diberikan tingkat kesejahteraan yang tinggi seperti take home pay yang besar, sekolah gratis untuk anak atau biaya rendah, dan kesempatan melanjutkan studi. Namun dalam merekrut tenaga dokter asing, negara-negara tersebut menerapkan syarat yang ketat seperti kualifikasi pendidikan, ujian bahasa dan kompetensi, serta pelatihan tambahan.

Sementara itu di Indonesia, penggunaan tenaga dokter asing masih menemui berbagai kendala, terutama landasan yang belum jelas. Selama ini pemerintah menyebut adanya kekurangan tenaga medis yang didasarkan pada rasio 1:1000 yang dikeluarkan WHO. Namun menurutnya, angka itu hanyalah matrix perbandingan, bukan merupakan standar yang ditetapkan WHO.

“Itu bukan standar. Dan rasio itu tidak menunjukkan dokter yang aktif, tapi yang ada. Harus mapping yang jelas, apa yang dibutuhkan. Apakah dokter umum, spesialis dan di mana ditempatkan, Jawa atau luar jawa. Jadi tujuannya belum jelas,” Iqbal Mochtar dalam acara yang sama.

Kemudian pemerintah juga dihadapkan pada penggajian. Siapa pihak yang akan menggaji dokter asing tersebut, apakah pemerintah atau RS? Mochtar mengingatkan bahwa gaji dokter asing tidaklah murah. Dia mencontohkan, seorang dokter kardiologi di Amerika Serikat digaji sebesar Rp400 juta-600 juta perbulannya. Jika jasa dokter asing tetap digunakan, maka akan berdampak pada melonjaknya biaya pengobatan.

Pun pemerintah akhirnya menggaji sesuai standar gaji dokter di Indonesia, Mochtar mempertanyakan apakah dokter yang didatangkan adalah high quality doctor? "Diragukan, biasanya yang akan masuk dokter dari negara yang gaji lebih rendah.”

Selain itu, salah satu syarat dokter asing dapat bekerja di Indonesia adalah kemampuan berbahasa dan kompetensi. Apakah dalam jangka waktu 5 tahun ke depan dokter asing dapat menguasai bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa ini bukan hanya sekadar percakapan sehari-hari, tetapi juga bisa menjelaskan kepada masyarakat terkait kondisi kesehatan.

Dan terakhir, kehadiran dokter asing untuk siapa? Apakah untuk umum atau untuk masyarakat kelas atas?

“Kalau untuk masyarakat berkelas, sepertinya tidak perlu karena mereka bisa cari sendiri. Tapi kalau untuk umum? Apakah mereka mau dibayar dengan standar BPJS? Jika hanya untuk masyarakat berkelas, maka pemerataan tidak tercapai.” 

Tags:

Berita Terkait