Melihat Tren Alternatif Penyelesaian Sengketa di Tiongkok Raya dan Indonesia
Utama

Melihat Tren Alternatif Penyelesaian Sengketa di Tiongkok Raya dan Indonesia

Kebanyakan di Asia mengedepankan penyelesaian sengketa yang tidak lagi sekedar cepat, tetapi juga tuntas. Meski masih menjadi primadona, tak jarang beberapa pihak menggunakan lembaga arbitrase berbarengan dengan teknik penyelesaian sengketa lainnya, seperti mediasi.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Council Member Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC) Ing Loong Yang (kedua dari kiri); Senior Partner Budidjaja International Lawyers (BIL) Tony Budidjaja; Associate King & Spalding Hanna Azkiya; Sekjen HKIAC Joanne Lau usai acara diskusi. Foto: FKF
Council Member Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC) Ing Loong Yang (kedua dari kiri); Senior Partner Budidjaja International Lawyers (BIL) Tony Budidjaja; Associate King & Spalding Hanna Azkiya; Sekjen HKIAC Joanne Lau usai acara diskusi. Foto: FKF

Seperti dilansir sejumlah publikasi, Tiongkok dan Hong Kong disebut masuk dalam top 3 jajaran negara asal investasi asing terbesar di Indonesia. Akan tetapi, sejalan dengan besaran transaksi yang masuk ke tanah air, maka tak ayal beriringan pula dengan meningkatnya risiko terjadinya sengketa.

“Setiap pelaksanaan transaksi selalu membutuhkan proses yang panjang dan perjalanan eksekusi project yang memungkinkan terjadinya kesalahpahaman, perbedaan pendapat, dan disrupsi karena faktor luar. Sehingga potensi terjadinya sengketa itu merupakan suatu keniscayaan, bukan suatu hal yang tabu,” ujar Senior Partner Budidjaja International Lawyers (BIL) Tony Budidjaja, ketika dijumpai Hukumonline di sela-sela acara “Arbitrators’ Insights and Perspectives: Legal and Broader Trends in Greater China and Indonesia”, Rabu (24/7/2024).

Baca Juga:

Dari sisi bisnis bagi klien Tiongkok dan Hong Kong ataupun pada umumnya, perihal efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa menjadi amat penting diutamakan. “Kita ketahui, secara tradisional para pihak dari Asia menyukai penyelesaian sengketa yang soft. Antara lain melalui negosiasi atau melewati cara tanpa melalui pihak ketiga yang memutus,” kata dia.

Hanya saja beberapa waktu terakhir, sambung advokat senior yang juga merupakan Chairman MedArbId itu, terjadi perubahan pola pikir untuk mengedepankan penyelesaian sengketa yang tidak lagi sekedar cepat, tetapi juga tuntas. Artinya, sengketa bisnis yang terjadi memerlukan suatu keputusan yang bisa menyelesaikan perkara dengan harapan masalah tak lagi berkelanjutan.

Terlepas dari arbitrase menjadi salah satu jalur yang dapat ditempuh, tapi bukanlah satu-satunya. Mengingat setiap masalah memiliki karakter masing-masing yang dapat diselesaikan dengan pendekatan penyelesaian sengketa yang berbeda. Bahkan, beberapa pihak terkadang menggunakan arbitrase berbarengan dengan teknik penyelesaian sengketa lainnya.

Associate King & Spalding, Hanna Azkiya, mengatakan faktanya litigasi memang bukan jalan yang ideal untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pihak Indonesia dan pihak asing seperti dari Tiongkok. Oleh karena itu, banyak pihak yang lebih memilih untuk menempuh jalur Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa.

“Selain arbitrase, ada jalur mediasi yang seringkali terabaikan. Mungkin ini bisa menjadi pertimbangan karena ini sama-sama menguntungkan kedua belah pihak,” saran dia.

Sementara itu, Council Member Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC) Ing Loong Yang menambahkan sebagai seorang arbiter yang telah terlibat dalam berbagai masalah yang melibatkan pihak Tiongkok dan Indonesia, dirinya melihat bahwa arbitrase sebenarnya merupakan forum yang adil bagi keduanya untuk menyampaikan argumen mereka. 

Mengingat sifat bisnis yang menginginkan suatu kasus segera diselesaikan, pihak dari lembaga arbitrase senantiasa memberitahu kedua belah pihak tentang proses yang sedang berlangsung. Meski salah satu pihak tidak muncul sekalipun, mereka memastikan untuk memberi mereka informasi terbaru.

“Dalam konteks mengapa arbitrase (biasanya menjadi pilihan bagi kebanyakan orang) adalah karena proses persidangannya dibuat khusus. Berbeda dengan litigasi, arbitrase memiliki aturan umum yang luas. Saya kira hal yang sama berlaku untuk banyak lembaga. Para pihak menginginkan hasil dengan cepat dan (menurut saya) Hong Kong cocok untuk menyelesaikan hasil dengan cepat,” ucap Ing Loong.

Terkait hal tersebut, Sekretaris Jenderal HKIAC Joanne Lau menyebutkan bahwa HKIAC sebagai lembaga arbitrase memiliki beberapa keunggulan. Seperti efektivitas biaya, pemanfaatan teknologi yang memungkinkan proses secara virtual dan mendukung sejumlah aspek lainnya, sampai dengan filosofi "light touch" untuk mengupayakan efisiensi dalam menyelesaikan sengketa yang sedang ditangani.

Sebagai informasi, acara Arbitrators’ Insights and Perspectives: Legal and Broader Trends in Greater China and Indonesia diselenggarakan atas kerja sama MedArbId dengan HKIAC dengan didukung Hong Kong Economic and Trade Office bersama InvestHK. Ke depan, pihak MedArbId optimis akan bisa menjalin kerja sama berkelanjutan dengan pihak-pihak terkait dalam agenda serupa.

Tags:

Berita Terkait