Melihat Tantangan Penerapan HAM dalam Proses Penuntutan
Utama

Melihat Tantangan Penerapan HAM dalam Proses Penuntutan

Ke depan bagaimana Kejaksaan RI memastikan agar pelaksanaan tugas dan fungsi para jaksa didasarkan pada penghormatan, perlindungan, pemajuan penegakan dan pemenuhan HAM sesuai amanah UUD Tahun 1945. Kejaksaan sudah memulai dengan penerapan kebijakan restorative justice.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Peran Kejaksaan dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM', Selasa (21/9/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'Peran Kejaksaan dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM', Selasa (21/9/2021). Foto: RFQ

Perkembangan era teknologi memaksa penegak hukum bekerja lebih ekstra dalam kerja-kerja penegakan hukum. Sebab, tantangan ke depan makin berat dalam upaya menangkal beragam modus kejahatan. Kejelian dan kemampuan aparat penegak hukum diuji. Begitu pula institusi Kejaksaan memiliki tantangan tersendiri dalam setiap kasus hukum yang ditanganinya dengan tetap berpegang pada perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Kepala Biro Perencanaan pada Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung, R. Narendra Jatna mengatakan secara umum jaksa dianggap hanya berkewajiban meneruskan sebuah perkara hingga tingkat penuntutan di pengadilan yang berujung pada penghukuman (vonis). Cara pandang ini tak dapat dibenarkan. Sebab, jaksa dapat meneruskan atau tidak sebuah perkara hasil penyidikan penyidik kepolisian. Artinya, peran jaksa sebagai kontrol perkara dari penyidik harus berjalan.

Dalam praktiknya, kata Narendra, Kejaksaan Agung memiliki kebijakan lenient policy alias kebijakan ringan yang menyeimbangkan asas doelmatigheid (kemanfaatan) dengan rechtmatigheid (kepastian hukum). Seperti Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Meski dalam penanganan perkara telah terpenuhi seluruh unsur, namun asas kamanfaatan tidak terpenuhi, maka jaksa tak akan mengajukan penuntutan.

“Jadi tugas jaksa bukan semata-masa melakukan pemidanaan dan penghukuman,” ujar Narendra Jatna dalam webinar bertajuk “Peran Kejaksaan dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia”, Selasa (21/9/2021). (Baca Juga: Penguatan Kejaksaan Harus Diimbangi Sinergisitas dengan Lembaga Lain)

Dalam simbol Kejaksaan, kata Narendra, terdapat dua pedang tajam dan timbangan yang menandakan jaksa memiliki dua tugas pokok yakni menjaga konstitusi dan hak penduduk. Dengan kata lain, menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan kemanfaatan. Narendra menilai dalam praktik Kejaksaan menghentikan kasus-kasus yang nilai financial-nya kecil.

“Ada keseimbangan saling memaafkan pelaku dan korbannya dan perkaranya dapat dihentikan penuntutan. Apakah ini sama dengan restorative justice. Tapi ini lebih pada menjaga keseimbangan kepastian hukum dan kemanfaatan,” kata Narendra.

Mantan Asisten Khusus Jaksa Agung itu mencontohkan bila dalam satu tahun terdapat 200-300-an kasus yang tidak dilanjutkan penuntutan dan pemidanaan dengan mengedepankan pendekatan restorative justice. Namun sayangnya, kata Narendra, pendekatan tersebut belum lazim dilakukan institusi penegak hukum. Tapi, Kejaksaan sudah memulai pendekatan tersebut dengan menerbitkan kebijakan yang menjadi pedoman bagi jaksa menangani perkara. Melalui kebijakan itu, Kejaksaan berupaya menyeimbangkan antara kepastian hukum dan kemanfaatan.

Dalam sistem penegakan hukum, kata dia, aparatur institusi penegak hukum idealnya menggunakan pendekatan due proces of law yakni tindakan preventif, praduga tak bersalah, hingga efisiensi rasa bersalah menurut hukum. Sayangnya, aparatur penegak hukum cenderung menggunakan pendekatan crime control model yakni tindakan represif, praduga bersalah, hingga efisiensi bersalah berdasarkan fakta.

“Tapi perlu dipikirkan apakah perlu menguji upaya paksa, sehingga pihak terlibat ini mendapat perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara seimbang,” lanjutnya.

Sementara Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kata Narendra, cenderung tidak berperspektif pada korban. Menurutnya, hal mendasar dalam KUHAP terlihat pada formula tujuan penyidikan amat dekat dengan teori pembalasan. Namun, bila ditelisik pada keseimbangan keadilan bagi korban, cenderung dekat dengan restoratif berupa pemulihan hak korban.  

“Kita sama-sama perlu memikirkan apakah kita tetap cukup menganut sistem saat ini, upaya paksa tidak perlu di-exercise, dan lebih mendasar yaitu tujuan penyidikan cukup dengan menjadikan tersangka atau lebih pada definitif pada mencerminkan keadilan restoratif,” ujarnya.

Komisoner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham) Sandrayati Moniaga berpandangan, Jaksa dalam melaksanakan penuntutan dengan keyakinan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Sementara dalam ayat (4) mengatur dalam melaksanakan kewenangan dan tugasnya bertindak berdasarkan hukum dan mengindahkan norma agama, kesusilaan, nilai-nilai kemanusiaan yang hidup di masyarakat, hingga menjaga martabat dan profesinya.

Jaksa dalam praktiknya memiliki peran strategis dalam penanganan perkara tindak pidana umum, khusus, tata usaha negara, hingga perdata dalam kaitannya sebagai pengacara negara. Dalam penanganan perkara pidana, jaksa membuat dakwaan idealnya merujuk pada prinsip-prinsip HAM. Terpenting, memastikan kejaksaan dalam melaksanakan tugas penuntutan pun tetap mengedepankan prinsip-prinsip dan pendekatan HAM.

“Tinggal bagaimana Kejaksaan RI memastikan agar pelaksanaan tugas dan fungsi para jaksa didasarkan pada penghormatan, perlindungan, pemajuan penegakan dan pemenuhan HAM sesuai amanah UUD Tahun 1945,” katanya.

Kejaksaan harus independen

Direktur Center for Human Rights and International Justice (CHRIJ) pada Stanford University, Prof. David Cohen, berpandangan Kejaksaan menjadi unsur utama dalam supremasi hukum yang berkaitan dengan kekuasaan di bidang penuntutan, khususnya kekuasaan upaya paksa yang dimandatkan negara. Menurutnya, supremasi hukum membutuhkan menerapan fungsi upaya paksa dengan tujuan mewujudkan hak dan kesejahteraan warga negara, bukan malah melayani kepentingan pemerintah yang berkuasa.

“Jadi ini adalah hal yang paling penting dalam independensi Kejaksaan. Jadi Kejaksaan harus independen dari kepentingan pemerintahan atau partai politik. Tetapi harus tetap melayani negara dan warga negaranya,” kata dia.

Dia berpendapat, perlindungan hak warga negara diatur dalam Pasal 28 UUD Tahun 1945. Hal tersebut menjadi tantangan bagi semua unsur dalam sistem penegakan hukum dan perlindungan HAM. Bila terdapat individu dituding melanggar KUHP, namun tindakannya dilindungi konstitusi maupun peraturan perundang-undangan tentang HAM, Kejaksaan berhak menggunakan diskresinya menentukan kasus tersebut untuk dibawa ke pengadilan atau sebaliknya.

Seperti kebebasan bereskpresi dijamin oleh UU maupun konstitusi. Kebebasan berekspresi menjadi hak dasar yang perlindungan penting bagi masyarakat di negara demokratis. Menurutnya, supremasi hukum menghendaki peraturan perundang-undangan yang ditetapkan menghormati dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara.

“Jadi bagian tugas dari tiap-tiap jaksa untuk menjalankan fungsi dari jabatannya dan kewajiban dari jabatannya untuk melindugi hak warga negara dalam setiap kasus apakah ada kemungkinan pelanggaran HAM dalam proses penuntutan?”

Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Dian Rositawati menilai persoalan sistemik dan arah ke depan terletak pada independensi dan profesionalitas jaksa. Memang dalam UU 16/2004 menyebutkan jaksa bertindak secara hierarki. Problemnya, pejabat Jaksa Agung yang disandingkan dengan setingkat kabinet pemerintahan.

Namun secara prinsipil, jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus independen terhadap pilar kekuasaan lainnya. Artinya, kata Tita begitu biasa disapa, jaksa dalam melaksanakan tugasnya harus terlepas dari intervensi kekuasaan manapun guna pemenuhan peradilan yang adil.  Selain itu memperkuat peran jaksa dalam penerapan asas dominus litis dalam penegakan hukum pidana.

Sebab, jaksa hakikatnya menjadi satu-satunya yang melaksankan tugas penuntut umum yang bersifat mutlak. Selain itu memperkuat peran Jaksa Agung dalam kebijakan pengendalian dan penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU 16/2004.

Tags:

Berita Terkait