Melihat Tahapan Partisipasi Publik dalam Pembentukan UU
Berita

Melihat Tahapan Partisipasi Publik dalam Pembentukan UU

Telah diberi ruang sejak tahap perancangan, penyusunan, dan pembahasan. Namun praktiknya pelibatan masyarakat bergantung dari political will pembentuk UU.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Suasana raker pemerintah dan DPR saat menyetujui RUU MK pada Agustus 2020 lalu. Foto: RFQ
Suasana raker pemerintah dan DPR saat menyetujui RUU MK pada Agustus 2020 lalu. Foto: RFQ

Menjadi keharusan dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan berbentuk Undang-Undang (UU) adanya keterlibatan atau peran serta masyarakat. Adanya peran serta masyarakat agar proses pembuatan sebuah UU memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas. Namun dalam praktiknya, peran serta masyarakat dalam pembentukan UU baik di pemerintah maupun DPR terkadang diabaikan.   

Sebut saja, saat merevisi UU Mahkamah Konstitusi melalui UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Lantas, pada tahapan mana masyarakat/publik dapat memberikan masukan atau pandangan untuk memperkaya materi muatan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU)?

Dosen Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin mengatakan untuk memudahkan masyarakat memberikan masukan, pembuat UU harus memberikan ruang agar setiap draf RUU dapat diakses masyarakat. Hal ini agar masyarakat dapat membaca dan menganalisa terlebih dahulu rumusan norma-norma yang disusun pembuat UU.

Dia mengingatkan keharusan membuka ruang partisipasi agar materi RUU dapat diakses publik diatur UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 96 ayat (4) menyebutkan, “Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat”.

“Ada kata ‘harus’. Jadi ada kewajiban DPR dan Presiden membuka akses (draf, red) rancangan undang-undang terlebih dahulu kepada masyarakat. Menjadi sulit masyarakat memberikan masukan, bila pembentuk UU tak memberi ruang dalam mengakses naskah draf RUU,” ujar Sholikin kepada Hukumonline beberapa waktu lalu. (Baca Juga: Dosen Uji Formil UU MK dan Persoalkan Syarat Usia Hakim Konstitusi)

Mengutip artikel klinik Hukumonline, partisipasi publik dalam pembentukan UU sudah diatur yang jelas dalam rumusan Pasal 96 UU 12/2011 sebagaimana diubah dalam UU 15/2019 beserta aturan turunannya. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU terdapat lima tahapan.

Pertama, tahapan perencanaan. Sebuah RUU yang bakal dibentuk atau dirancang, terlebih dahulu dicantumkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang sebagai skala prioritas program pembentukan UU dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.

Guna mendapat masukan masyarakat, Badan Legislasi (Baleg) mesti mengumumkan rencana penyusunan Prolegnas ke publik melalui media cetak atau elektronik. Kemudian melakukan kunjungan kerja menyerap aspirasi masyarakat, serta menerima masukan masyarakat dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Baleg. Masukan masyarakat disampaikan secara langsung atau melalui surat ke pimpinan Baleg sebelum dilakukan pembahasan dan penetapan Prolegnas.

Kedua, tahap penyusunan. Sebuah RUU yang diajukan presiden, DPR maupun DPD wajib disertai naskah akademik dan draf RUU, khususnya yang telah masuk daftar Prolegnas Prioritas tahunan. Dalam tahap proses penyusunan atau pembahasan, draf RUU disebarluaskan agar mendapat masukan masyarakat sebagai bagian dari penyempurnaan materi muatan dalam naskah.

Dalam penyusunan RUU inisiasi pemerintah, dibentuklah panitia antar kementerian dan/atau antar nonkementerian yang beranggotakan sejumlah wakil kementerian. Seperti kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Kemudian, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau lembaga lain yang terkait dengan substansi yang diatur dalam RUU. Serta perancang peraturan perundang-undangan yang berasal dari instansi pemrakarsa. Namun demikian, keterlibatan publik dalam kepanitiaan terbatas diwakili oleh ahli hukum, praktisi, atau akademisi yang menguasai permasalahan berkaitan dengan materi RUU.

Ketiga, tahap pembahasan. Saat memasuki masa pembahasan, DPR dan pemerintah menyebarluaskan draf RUU sebagai bagian pemberian informasi dan/atau untuk memperoleh masukan masyarakat, serta para pemangku kepentingan lainnya melalui media cetak maupun elektronik. Meski praktiknya, terdapat pula pembahasan RUU dilakukan tertutup, sehingga menutup keterlibatan masyarakat dalam memberikan masukan.

Selanjutnya, pembahasan sebuah RUU dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan yakni tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Baleg, rapat badan anggaran (Banggar), atau rapat panitia khusus (Pansus) bersama dengan menteri yang mewakili presiden. Kemudian pembicaraan tingkat II alias forum rapat paripurna pengambilan keputusan persetujuan sebuah RUU menjadi UU.

Dalam forum rapat RDPU, pertemuan dengan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan panitia khusus, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan Banggar masih dibuka ruang menyampaikan masukan secara lisan. Selanjutnya, informasi terkait tindak lanjut atas masukan tadi, disampaikan melalui surat atau media elektronik oleh pimpinan alat kelengkapan yang menerima masukan.

Dalam tahap pembicaraan tingkat II (paripurna), partisipasi publik sudah mulai dikunci. Sebab, agenda mengambil keputusan persetujuan atau tidak sebuah RUU didahului dengan beberapa agenda. Yakni penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I. Kemudian, pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna. Serta, penyampaian pendapat akhir presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.

Keempat, tahap pengesahan. Pada tahapan ini, partisipasi masyarakat tak lagi diperlukan atau sudah dikunci. Sebab, RUU sudah disetujui dalam rapat paripurna dan disampaikan ke presiden dalam jangka waktu maksimal 7 hari sejak disetujui untuk disahkan menjadi UU. Presiden mengesahkan dengan membubuhkan tanda tangan dalam kurun waktu 30 hari terhitung sejak RUU disetujui bersama. Namun demikian, bila RUU tak juga diteken presiden dalam jangka waktu yang ditentukan, otomatis RUU tersebut tetap sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

Kelima, pengundangan. Sama halnya pada tahapan pengesahan, partisipasi masyarakat tak lagi diperlukan. Pengundangan menjadi ranah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk disosialisasikan dengan tujuan agar setiap orang mengetahui yang ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Dengan begitu, partisipasi publik dengan berbagai saluran atau media telah diberikan dan sudah dijamin UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun praktinya, masih saja terjadi tidak optimalnya partisipasi publik untuk memberikan masukan atas sebuah RUU. Dapat dikatakan semua balik ke political will pembentuk UU terkait keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan sebuah RUU.  

Tags:

Berita Terkait