Melihat Poin Penting 4 RPP Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja
Utama

Melihat Poin Penting 4 RPP Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja

Perwakilan pengusaha menilai UU Cipta Kerja ditujukan untuk membenahi persoalan ekonomi, antara lain penyerapan tenaga kerja yang lemah. Tapi, perwakilan buruh berpendapat UU Cipta Kerja “berwajah” konflik.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam 'Diskusi Pakar Nasional 2.0: Tantangan dan Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan', Kamis (3/12). Foto: Istimewa
Sejumlah narasumber dalam 'Diskusi Pakar Nasional 2.0: Tantangan dan Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan', Kamis (3/12). Foto: Istimewa

Uji materi yang diajukan berbagai kelompok masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) tak menyurutkan pemerintah untuk menyelesaikan rancangan peraturan perlaksana. Setidaknya, ada sekitar 44 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang segera diterbitkan. Salah satunya, klaster ketenagakerjaan, pemerintah sudah merancang sedikitnya 4 rancangan peraturan pemerintah (RPP).

Pejabat Fungsional Pengantar Kerja Utama Kementerian Ketenagakerjaan, Hery Sudarmanto, menjelaskan 4 RPP itu meliputi RPP tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA); RPP tentang Hubungan Kerja, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); RPP tentang Pengupahan (revisi PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan); dan RPP tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Dia merangkan RPP tentang Penggunaan TKA akan mengatur beberapa poin utama, antara lain syarat penggunaan TKA; jangka waktu RPTKA; jabatan tertentu dan waktu tertentu; pendidikan dan pelatihan bagi pekerja lokal pendamping TKA; dan pembinaan dan pengawasan TKA. RPP tentang Pengupahan, isinya akan merevisi PP Pengupahan. Beberapa perubahan terkait perubahan ketentuan upah minimum, ketentuan upah per jam, upah bagi usaha mikro dan kecil, serta dewan pengupahan.

Untuk RPP tentang Penyelenggaraan program JKP akan mengatur kriteria peserta, sumber pendanaan, dan manfaat JKP. Mengenai RPP tentang Hubungan Kerja, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, serta PHK, Heri menyebutkan ada 6 materi pokok. Pertama, hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Kedua, syarat-syarat PKWT. Ketiga, pengaturan pemberian kompensasi PKWT yang besarannya mengacu masa kerja.

“Buruh PKWT dengan masa kerja 1 tahun, kompensasi 1 bulan upah, dan masa kerja kurang dari setahun kompensasi diberikan secara proporsional,” kata Hery Sudarmanto dalam diskusi daring bertema "Diskusi Pakar Nasional 2.0 bertajuk: Tantangan dan Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan”, Kamis (3/12/2020) kemarin. (Baca Juga: Membahas Rancangan PP Ketenagakerjaan, Buruh Tetap Menolak UU Cipta Kerja)  

Keempat, perlindungan bagi buruh di perusahaan alih daya. Kelima, waktu kerja dan waktu istirahat yang berlaku bagi jenis pekerjaan dan sektor usaha tertentu. Keenam, syarat, mekanisme, dan kompensasi PHK. “Jenis pekerjaan dan sektor tertentu dapat memberlakukan waktu kerja kurang atau lebih dari 7 atau 8 jam dalam sehari. Waktu kerja lembur diatur paling banyak 4 jam,” ujar Hery mencontohkan.

Benahi ekonomi

Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan Kadin, Bob Azzam, mengatakan UU Cipta Kerja ditujukan untuk membenahi persoalan ekonomi, antara lain penyerapan tenaga kerja yang lemah. Industri di Indonesia didominasi UMKM, begitu pula dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 97 persen berada di sektor UMKM. Kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 67 persen, tapi kontribusi ekspornya sangat rendah hanya 14 persen.

Dia melihat selama ini UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur atau mengakomodasi kepentingan UMKM. Akibatnya UMKM selalu berada di sektor informal. UMKM juga kesulitan mengakses fasilitas pinjaman dan perpajakan. Akibatnya secara umum APBN Indonesia besarnya hanya 20 persen dari GDP, begitu pula pajak hanya 8 persen. Karena itu, regulasi omnibus law seperti UU Cipta Kerja sangat dibutuhkan untuk membenahi berbagai persoalan tersebut.

Bob menuturkan Apindo dan Kadin kerap mendapat keluhan dari kalangan pengusaha baik dari dalam dan luar negeri karena soal perizinan di Indonesia yang berbelit-belit. Soal pesangon yang diubah pengaturannya lewat UU Cipta Kerja, Bob mengatakan harus dipisahkan antara pesangon untuk waktu tunggu buruh mencari kerja dengan buruh yang masuk masa pensiun.

“Kalangan pengusaha juga mendukung program JKP karena mengubah pasar tenaga kerja menjadi aktif. Melalui program tersebut tenaga kerja difasilitasi untuk bisa bekerja kembali. Yang penting itu bukan pesangon yang diperbesar, tapi bagaimana dipermudah untuk mencari kerja,” sarannya.

Soal outsourcing, PKWT, dan pekerjaan paruh waktu, Bob menilai ketentuan yang mengatur hal tersebut sangat penting karena ini mendorong kemudahan mendapat pekerjaan. Pekerjaan paruh waktu membuka kesempatan kerja bagi tenaga kerja yang masih sekolah. Budaya kerja paruh waktu ini sudah berjalan di luar negeri dan perlu juga diterapkan di Indonesia.

“Misalnya, hari libur dan Sabtu-Minggu restoran biasanya ramai pengunjung dan membutuhkan tenaga kerja. Pekerjaan paruh waktu akan membantu restoran untuk mendapatkan tenaga kerja sesuai kebutuhan,” katanya.

Berwajah konflik

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, Timboel Siregar, berpendapat UU Cipta Kerja “berwajah” konflik karena substansinya banyak memangkas hak buruh. Misalnya, penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sekarang sifatnya menjadi tidak wajib karena UU Cipta Kerja mencantumkan frasa “Gubernur dapat menetapkan UMK dengan syarat tertentu.” Komponen Kebutuhan Hidiup Layak (KHL) yang selama ini digunakan acuan penetapan upah layak juga dihapus, begitu juga upah minimum sektoral.

Kemudian UU Cipta Kerja juga mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur buruh outsourcing tidak boleh digunakan menjalankan kegiatan pokok, hanya boleh untuk kegiatan penunjang atau tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Timboel menilai dengan diubahnya ketentuan Pasal 66 ini ada kesan buruh outsourcing dapat dipekerjakan untuk semua jenis pekerjaan baik pokok dan penunjang.

“Apakah nanti akan ada satu perusahaan (pemberi kerja/perusahaan pengguna atau user, red) isinya pekerja outsourcing semua? Ketentuan ini berpotensi membuat perselisihan hubungan industrial semakin meningkat baik itu demonstrasi dan mogok kerja,” kata Timboel memperkirakan.

Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI), Ike Farida, mengatakan UU Cipta Kerja berdampak pada 76 UU yang memuat kurang lebih 174 pasal yang terdiri dari 10 klaster, salah satunya ketenagakerjaan. Tujuan UU Cipta Kerja ini yakni harmonisasi UU dan regulasi terkait; kenyamanan dan kemudahan; mengundang lebih banyak investor; efisiensi, penyederhanaan, dan fasilitasi; dan fleksibilitas.

“UU Ketenagakerjaan terkesan sangat rigid (kaku, red). Dengan UU Cipta Kerja diharapkan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pekerja dan perusahaan,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait