Melihat Peran Sarjana Hukum dalam Perlindungan Data Pribadi
Terbaru

Melihat Peran Sarjana Hukum dalam Perlindungan Data Pribadi

Para penyusun kebijakan perlindungan data pribadi, khususnya para sarjana hukum harus mampu merumuskan regulasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan di Indonesia.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Diskusi online Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) bertema Era Pelindungan Data Pribadi: Tantangan untuk Para Sarjana Hukum, Kamis (24/6).
Diskusi online Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) bertema Era Pelindungan Data Pribadi: Tantangan untuk Para Sarjana Hukum, Kamis (24/6).

Berbagai kasus kebocoran data pribadi terus bermunculan di Indonesia seiring penegakan hukum yang masih lemah. Lulusan sarjana hukum memiliki peran penting dalam perlindungan data pribadi mengingat perkembangan teknologi digital yang menjadi gudang penyimpanan data tersebut. Para lulusan sarjana hukum dituntut bukan hanya memahami ketentuan hukum di wilayah lain tapi juga harus mampu merumuskan konsep hukum perlindungan data pribadi yang sesuai dengan Indonesia.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Edmon Makarim, menyampaikan perguruan tinggi sangat berperan menghasilkan lulusan sarjana hukum yang mampu memikirkan konsep hukum perlindungan data pribadi yang sesuai tersebut. Dia menjelaskan meski terdapat standar perlindungan data pribadi General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa, namun ketentuan tersebut belum sepenuhnya tepat diterapkan di Indonesia.

Untuk itu, dia mendorong agar para penyusun kebijakan perlindungan data pribadi khususnya sarjana hukum mampu merumuskan regulasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan Indonesia. Dia juga menyampaikan prinsip perlindungan data pribadi merupakan kewajiban dalam segala aktivitas. “Penghargaan atas privasi itu kewajiban secara nilai harusnya masuk dalam nurani kita,” jelas Edmon dalam diskusi online Ikatan Alumni FHUI “Era Pelindungan Data Pribadi: Tantangan untuk Para Sarjana Hukum”, Kamis (24/6).

“Tantangan jadi sarjana hukum jangan jadi follower. Jangan datang ke forum GDPR terus dapat sertifikatnya lalu bilang GDPR itu best practice, itu namanya terjajah,” tambah Edmon. (Baca: Penegakan Hukum Kebocoran Data Pribadi Lemah, Dua RUU Ini Mendesak Disahkan)

Salah satu permasalahan dalam perlindungan data pribadi, yaitu mengenai lokalisasi penyimpanan data. Edmon menilai para pembuat kebijakan harus mampu memutuskan secara tepat mengenai penempatan pusat data atau data center. Pasalnya, dia mengatakan pusat data tersebut sangat erat hubungannya dengan kedaulatan negara.

Sehingga, para pembuat kebijakan harus melihat risiko penempatan pusat data di luar negeri saat terjadi kebocoran data pribadi. “Lokalisasi data tidak dapat dilepaskan dari kedualatan negara,” ungkapnya.

Dengan kehadiran perlindungan data pribadi menciptakan profesi baru yaitu data protection officer (DPO). Lulusan sarjana hukum dianggap cocok untuk menempati profesi tersebut. Namun, Edmon menyatakan para sarjana hukum jangan hanya memeriksa formalitas tapi juga harus mengetahui implementasi dan tanggung jawab hukum dari perlindungan data tersebut.

Sementara itu, praktisi hukum perlindungan konsumen dan advokat ADCO Law Firm, David Tobing, menyampaikan penegakan hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap kebocoran data pribadi masih rendah. Dia juga menyoroti regulasi-regulasi perlindungan data pribadi yang tersebar di berbagai lembaga juga tidak mengalami perkembangan.

“Dari aturannya yang ada tidak banyak perkembangan, itu-itu saja yang diulang. Misalnya, data itu diperoleh harus seizin yang punya data. Data juga tidak boleh disebarluaskan harus ada persetujuan dari yang punya data apa itu di Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika. Aturannya tidak banyak perkembangan,” jelas David.

Dia juga menyoroti pelaku usaha tidak menginformasikan kebocoran data pribadi kepada subjek data secara langsung. Hal ini dianggap kesadaran tanggung jawab pelaku usaha terhadap data pribadi masih rendah. Dia juga menyayangkan minimnya ketegasan regulator terhadap kebocoran data tersebut.

“Bahwa data Anda bocor harusnya disampaikan secara terutlis kepada pemilik data, saya juga enggak tahu Kominfo kenapa enggak tegas,” jelas David.

Untuk itu, dia meminta agar praktisi hukum memahami dan mengadvokasi isu perlindungan data pribadi. “Sarjana hukum harus bersatu menggedor agar kasus-kasus kebocoran data pribadi ini tuntas. Sekali-kali gugat bersama-sama,” jelas David.

Ketua Asosiasi Praktisi Pelindungan Data Pribadi (APPDI), Raditya Kosasih, menyampaikan seiring perkembangan teknologi digital kebutuhan sarjana hukum semakin meningkat dalam menjaga data pribadi. Selain istilah hukum, dia mengatakan para sarjana hukum juga harus memahami teknis teknologi tersebut.

“Harus memahami cloud system cara kerjanya seperti apa dan istilah-istilah teknis lainnya. Sehingga sarjana hukum harus beranikan diri masuk,” jelas Raditya.

Dia juga menyoroti kurikulum pendidikan tinggi hukum yang sudah membahas perlindungan data pribadi. Menurutnya, hal tersebut penting dilakukan agar para sarjana hukum siap mengisi profesi-profesi yang dibutuhkan dalam ekosistem perlindungan data pribadi.

“Terutama saat RUU PDP terbit, sarjana hukum mengisi mapping (ekosistem) ini dan menunjukkan sudah siap masuk ke pos-pos kosong sehingga sarjana hukum bisa mengembangkan secara luas. Profesi DPO hanya sebagian kecil,” jelas Raditya.

Tags:

Berita Terkait