Melihat Pengaturan Perzinaan, Kohabitasi, dan Perkosaan dalam KUHP Baru
Terbaru

Melihat Pengaturan Perzinaan, Kohabitasi, dan Perkosaan dalam KUHP Baru

KUHP baru mengatur perzinaan lebih luas tak hanya orang yang terikat perkawinan, tapi setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan siapapun sepanjang bukan suami atau istrinya.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda. Foto: Tangkapan layar youtube
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda. Foto: Tangkapan layar youtube

Tindak pidana perzinaan, kohabitasi, dan perkosaan sebagaimana diatur dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan sebagian isu yang menuai pro dan kontra di masyarakat. Bahkan dalam pembahasan pengaturan soal tindak pidana perzinahan dan kohabitasi antara DPR dan pemerintah pun menuai pro dan kontra. Tapi pada intinya dibandingkan dengan KUHP warisan Belanda, KUHP yang berlaku 3 tahun ke depan mengatur sejumlah hal baru terkait ketiga isu tersebut.

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda, berpandangan dalam KUHP peninggalan kolonian Beladan yang digunakan saat ini, perzinaan hanya untuk orang yang terikat dalam perkawinan. Tapi UU 1/2023 mengatur perzinaan secara lebih luas. Pasal 411 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.

Chairul menjelaskan ketentuan tersebut tidak mensyaratkan lagi bahwa yang melakukan perzinaan hanya orang yang terikat dalam perkawinan, melainkan berlaku bagi setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan siapapun sepanjang bukan suami atau istrinya. Menurutnya, rumusan perzinahan merupakan definisi yang lebih mendekati pengertian bahasa tentang perzinaan.

“Yaitu hubungan seks di luar perkawinan,” katanya dalam kegiatan Forum Sosialisasi KUHP bertema Membumikan KUHP dalam Kancah Nasional, Selasa (6/6/2023).

Baca juga:

Tapi ketentuan perzinaan itu masuk kategori delik aduan, di mana pihak yang bisa melakukan pengaduan yakni suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. Kemudian orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Pengaduan itu dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di pengadilan belum dimulai.

Mengenai hidup bersama atau kohabitasi, Chairul menjelaskan delik ini tidak perlu pembuktian terjadinya hubungan seksual seperti perzinaan. Pasal 412 ayat (1) KUHP mengatur setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak kategori II.

Ancaman pidana kohabitasi yang diatur KUHP lebih ringan ketimbang perzinaan. Selain itu pembuktian kohabitasi tidak serumit perzinaan yang harus membuktikan terjadinya persetubuhan. Tapi perlu diingat, ada daerah yang menganggap kohabitasi bukan perbuatan tercela.

Lebih lanjut Chaerul Huda yang juga penasihat ahli Kapolri bidang hukum pidana itu menjelaskan, UU 1/2023 mengatur tindak pidana perkosaan lebih luas ketimbang KUHP peninggalan kolonial Belanda. Antara lain perkosaan dengan kekerasan, non kekerasan, perkosaan dalam lingkup perkawinan, bahkan perkosaan dengan menggunakan benda lain yang bukan anggota tubuh. Perkosaan tak lagi diidentikan dengan persetubuhan beda jenis kelamin, tapi juga untuk sesama jenis. Pencabulan secara paksa seperti memasukan bagian tubuh lain non alat kelamin ke kemaluan atau dubur juga dinilai sebagai perkosaan.

Guru Besar Hukum Pidana FH Universitas Trisakti, Andi Hamzah, berpendapat soal ketentuan kohabitasi sebagaimana diatur pasal 412 KUHP menilai ancaman pidananya lebih ringan daripada perzinaan. Prof Andi mengacu pandangan pakar hukum adat Prof Hazairin, yang menyebut sedikitnya ada 3 daerah yang membiarkan kohabitasi. Alasannya karena dianggap urusan masing-masing yakni Bali, Minahasa, dan Mentawai. Prof Andi mengusulkan agar ketentuan ini diatur melalui peraturan daerah yang berlaku hanya di daerah masing-masing.

“Menurut saya bagaimana jika ini salah satu yang bisa diatur dalam Perda,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait