Melihat Pemenuhan Hak Terdakwa Melalui Sidang Pidana Elektronik
Berita

Melihat Pemenuhan Hak Terdakwa Melalui Sidang Pidana Elektronik

Secara umum, seluruh hak-hak terdakwa sudah difasilitasi oleh Perma. Namun praktiknya, ada beberapa problem yang mengakibatkan sebagian hak tidak dapat terpenuhi secara optimal.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi daring bertajuk 'Persidangan Pidana Secara Elektronik dan Implikasinya terhadap HAM', Rabu (16/12). Foto: Istimewa
Sejumlah narasumber dalam diskusi daring bertajuk 'Persidangan Pidana Secara Elektronik dan Implikasinya terhadap HAM', Rabu (16/12). Foto: Istimewa

Situasi di tengah pandemi Covid-19 berdampak terhadap banyak hal, tak terkecuali penegakan hukum, khususnya dalam proses persidangan. Persidangan perkara pidana yang normalnya dilakukan di ruang sidang pengadilan dan dihadiri para pihak berpekara, kini bisa digelar secara virtual atau online/daring terutama sejak terbitnya Peraturan MA (Perma) No.4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Lalu, apakah persidangan sidang pidana online ini berdampak pada pemenuhan hak-hak terdakwa?

Peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP) Rifqi Sjarief Assegaf mengatakan standar minimum atas peradilan yang fair menurut International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) terdapat beberapa hal. Pertama, peradilan digelar secara fair dan terbuka oleh pengadilan yang kompeten, independen, dan imparsial. Kedua, diadili tanpa penundaan yang tidak wajar.

Ketiga, para pihak menghadiri persidangan serta diberikan waktu dan fasilitas memadai dalam melakukan pembelaan. Keempat, memperoleh dan berkomunikasi dengan penasihat hukum. Kelima, menghadirkan saksi dan mengajukan pertanyaan kepada saksi. Keenam, tidak dipaksa untuk mengakui kesalahannya atau bersaksi atas dirinya sendiri.

Seluruh hak terdakwa itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun dalam situasi serba terbatas di tengah pandemi, persidangan bertemu fisik sedapat mungkin dihindari untuk menghindari kerumunan. Mahkamah Agung (MA) pun membuat terobosan dengan menerbitkan Perma No.4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.

Menurut Rifqi, secara garis besar substansi pokok Perma 4/2020 memungkinkannya sidang digelar secara elektronik/online atau teleconference dalam keadaan tertentu. Seperti bencana, kondisi darurat, hingga kendala jarak. Kemudian proses persidangan mirip dengan sidang biasa. Hanya saja, terdakwa dan penasihat hukum, penuntut umum dan saksi-saksi tak harus hadir secara fisik di ruang pengadilan. Selain itu, dokumen persidaangan diserahkan secara elektronik.

“Secara umum, seluruh hak-hak terdakwa sudah difasilitasi oleh Perma ini,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring, Rabu (16/12/2020). (Baca Juga: Beragam Hambatan dalam Sidang Pidana Elektronik)

Dalam praktiknya, ada beberapa problem yang mengakibatkan sebagian hak-hak terdakwa tidak dapat terpenuhi secara optimal, terutama karena kondisi eksternal di luar kontrol pengadilan. Sidang terbuka (tatap muka) sejatinya tetap dapat digelar seperti layaknya persidangan dalam situasi normal. Masyarakat atau media tetap dapat hadir di persidangan. Bedanya, jumlah pengunjung sidang dibatasi dengan mengedepankan protokol kesehatan.

Lantas bagaimana dengan kasus menarik perhatian publik yang mengakibatkan banyak orang menyoroti persidangan tersebut? Bagi Rifqi, hal ini bukan isu baru. Cara yang dapat ditempuh di luar sidang dapat diberikan layar atau sidang disiarkan di media elektronik berupa siaran tunda atau langsung atas seizin ketua pengadilan. “Tapi prinsipnya tak ada masalah open trial,” ujarnya.

Secara umum, kata Rifqi, tak ada pengurangan hak terdakwa dalam sidang elektronik. Misalnya, sidang cepat, menunjuk penasihat hukum, menghadirkan saksi, membela diri, mendapat penerjemah, tidak dipaksa mengakui kesalahan. Hukum acara dalam KUHAP dalam sidang elektronik tetap berlaku. Namun, hak untuk hadir dalam sidang bila dimaknai hadir secara fisik memang terbatasi. Karenanya, diperlukan cara menyeimbangkan hak atas fair trial secara ideal dengan hak atas kesehatan/keselamatan publik.

“Salah satu tujuan Perma adalah memastikan pemenuhan hak terdakwa diadili cepat/tanpa penundaan persidangan karena pandemi,” ujarnya.

Rifqi menunjuk hak terdakwa berkomunikasi dengan penasihat hukum dan bertanya pada saksi. Namun praktiknya, terdapat keterbatasan bila terjadi gangguan yakni akibat koneksi internet yang tidak stabil. Maklum, kualitas koneksi internet antara institusi dan wilayah tak seragam. Tak jarang koneksi internet putus nyambung. Kemudian fasilitas pengadilan yang terbatas yang mengakibatkan perkara menumpuk.

Dia menilai akibat keterbatasan fasilitas rumah tahanan (Rutan) yang dikelola Ditjen Pemasyarakatan berdampak terhadap jalannya persidangan secara daring. Belum lagi, terdapat kebijakan Rutan yang tak seragam soal ada yang membolehkan penasihat hukum hadir, ada pula yang tak membolehkan. Namun demikian, Perma 4/2020 dianggap tetap memberi jalan keluar terhadap isu-isu tersebut yakni sidang bisa digelar di pengadilan atau di kantor kejaksaan.

Panitera Muda Pidana Khusus MA, Suharto mengatakan Perma 4/2020 terobosan mengatasi keterbatasan menggelar persidangan perkara pidana secara tatap muka. Yang perlu digarisbawahi, persidangan elektronik tetap mengedepankan hak-hak terdakwa. Yang pasti, Perma 4/2010 tak mengharuskan persidangan digelar secara online, hanya sebatas memberi landasan hukum dan pedoman kapan persidangan secara online dapat dilaksanakan serta tata caranya.

Pemenuhan hak terdakwa dalam Perma 4/2020, MA menginginkan pemberian jaminan peradilan yang adil dan tidak memihak untuk menjamin hak-hak terdakwa. Pertama, hak terdakwa untuk secepatnya mendapatkan kepastian hukum atas tindak pidana yang dituduhkan padanya yakni dengan diadili dalam persidangan tanpa penundaan yang tidak semestinya sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c menurut ICCPR dan telah diratifikasi oleh UU No.12 Tahun 2005.

Kedua, hak terdakwa yang didampingi penasihat hukum untuk dapat berkomunikasi secara langsung dengan terdakwa. Serta diberikan waktu dan fasilitas yang memadai untuk menyiapkan pembelaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b dan d serta Paragraf 34 dan 37 Komentar Umum International Covenant on Civil and Political Rights No. 32.

Kendala yuridis dan teknis

Suharto melanjutkan, dalam mengatasi situasi pandemi Covid-19 diperlukan terobosan dalam proses penegakan hukum, khususnya persidangan perkara pidana. Bila mengacu pada ketentuan peraturan perundangan terdapat kendala yuridis dan teknis. Kendala yuridis antara lain diatur beberapa pasal dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Misalnya, Pasal 11 dan Pasal 12 UU Kekuasaan Kehakiman mengharuskan persidangan dihadiri 3 orang hakim dibantu panitera, penuntut umum dan terdakwa wajib hadir. Sementara dalam Pasal 154 dan 196 KUHAP mengharuskan terdakwa hadir. Kemudian dalam Pasal 159 KUHAP mengharuskan saksi hadir di persidangan termasuk ahli yang dinyatakan dalam sidang. Kehadiran dimaksud merupakan secara fisik.

Kemudian, Pasal 227 ayat (2) KUHAP, panggilan dan pemberitahuan, bertemu secara sendiri.  Sedangkan Pasal 230 ayat (1) dan (2) KUHAP mengatur persidangan digelar di gedung pengadilan. Dalam ruang sidang terdapat hakim, penuntut umum, penasihat hukum, dan panitera mengenakan atribut masing-masing.

Sementara kendala teknis, terdapat hambatan baik jarak antara tempat terdakwa ditahan/berada, penuntut umum, dan pengadilan yang menyidangkan. Termasuk adanya keadaan tertentu yang menghambat yakni mobilitas penuntut umum, penasihat hukum, terdakwa, saksi, ahli maupun hakim, dan panitera pengganti. “Nanti kita redefinisi ulang ruang sidang, supaya nanti semua include,” katanya.

Tags:

Berita Terkait