Melihat Peluang Dapat Warisan Bagi Anak Durhaka
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Melihat Peluang Dapat Warisan Bagi Anak Durhaka

Ada batasan seorang anak disebut durhaka sehingga terhalang baginya untuk memperoleh warisan.

RED
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Menurut ajaran agama apapun, seorang anak yang melawan orang tua merupakan sebuah bentuk dosa. Bahkan ada cerita legenda yang cukup terkenal sebagai pengantar tidur seperti Malin Kundang yang malu untuk mengakui ibunya yang terlihat tua dan miskin sehingga akhirnya dikutuk oleh sang ibu menjadi sebuah batu.

Cerita zaman sekarang, durhaka terhadap orang tua sangatlah beragam. Ada seorang anak yang sampai tega memukul orang tua bahkan sampai membunuh karena tidak mau memberikan yang diminta sang anak. Atau bahkan, ada seorang anak yang merasa tidak adil dalam pembagian warisan sehingga tega melakukan perbuatan yang dianggap melawan orang tua seperti berkata kasar atau intimidasi secara fisik maupun psikis kepada orang tua.

Teranyar, awal Maret 2021 lalu ada seorang anak di Semarang yang tega mempolisikan ibunya. Sang anak melaporkan ibu ke polisi terkait dengan persoalan tanah warisan. Sang ibu diduga berkaitan dengan kasus dugaan pemalsuan dan keterangan palsu dalam fakta otentik tanah warisan.

Seyogianya, hubungan antara anak dan orang tua sangatlah erat. Akibatnya tak sedikit orang tua yang memikirkan warisan bagi sang anak meski terkadang pernah dikecewakan oleh sang anak. Namun, tak jarang pula, karena hubungan yang tak harmonis menyebabkan tersendatnya pada pembagian warisan.

Hal ini memicu pertanyaan, apakah anak yang melawan orang tua tetap akan mendapatkan waris? Sampai sejauh mana durhaka atau dianggap melawan orang tua sehingga anak tersebut dianggap putus dalam hubungan anak dan orang tua dalam hukum waris.

Dalam sebuah jurnal berjudul, Kedudukan Anak Durhaka dalam Hak Mendapat Waris (Telaah Terhadap KHI Pasal 171 Poin c, Pasal 173 dan Pasal 174), Amin Songgirin menyebutkan bahwa, kedudukan anak durhaka terhadap KHI Pasal 171 poin c dan Pasal 174 tetap sebagai ahli waris dan mendapatkan hak waris.

Tapi, jika dilihat dari kedudukan anak durhaka terhadap KHI Pasal 173 poin (a), bahwa ahli waris durhaka hilang hak mendapatkan warisan jika melakukan durhaka (khusus), karena sebab membunuh. Berikutnya, kedudukan anak durhaka terhadap KHI Pasal 173 poin (b), perlu diperkuat dengan tindak pidana atau perdata yang dengan sengaja untuk mempercepat proses pembagian harta waris. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi definisi “durhaka” pada persoalan Hukum Kewarisan Islam.

Baca:

Hal senada juga diutarakan Teddy Lahati, dalam artikelnya berjudul Anak Durhaka Terhalang Mewarisi. Sesuai KHI Pasal 173 bahwa seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila putusan hakim yang telah mempunyai kekutan hukum tetap, dihukum karena bersalah telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris. Selain itu, anak tersebut juga bersalah secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Perbuatan durhaka seorang anak tersebut yakni telah menyakiti orang tuanya secara fisik, psikis dan dipertegas pula dalam huruf b telah melakukan suatu tindakan kejahatan yang telah mendapat hukuman penjara atau hukuman berat.

Sebagai contoh terdapat sebuah kasus di mana seorang anak pertama digugat adiknya terkait dengan sengketa objek warisan yang ditinggalkan orang tua mereka. Meskipun tidak sampai membunuh orang tua, namun tergugat dalam kasus ini dianggap sudah lalai terhadap orang tuanya. Putusan bernomor 514K/AG/2010 ini pada intinya, sang adik tidak terima bahwa kakaknya setelah menikah telah menghabiskan harta warisan orang tua berupa tanah, ladang, biaya pembelian sapi dan harta lainnya.

Padahal, menurut sang adik, si kakak juga tidak pernah mengurus orang tua kandungnya terlebih saat sakit sampai meninggal dunia. Sehingga, yang mengurusi orang tua adalah sang adik dan beberapa pemohon lainnya. Termasuk masalah pemakaman sang ibu dan pemenuhan kebutuhan keperluan haji si bapak, sang kakak dinilai tidak peduli.

Pada permohonannya, sang adik berharap objek warisan dibagi sesuai hukum Islam 1:2 untuk perempuan dan laki-laki. Singkatnya, sang adik keberatan atas besaran warisan yang diputus berdasarkan adat karena dilakukan sesuai kehendak sang kakak, akibatnya dianggap tak sesuai hukum Islam oleh sang adik.

Pada tingkat pertama tidak sepenuhnya memutus sesuai petitum sang adik sehingga diajukan upaya banding. Kemudian, majelis hakim banding membatalkan putusan tingkat pertama yang amarnya gugatan tidak dapat diterima. Namun pada akhirnya di tingkat kasasi, hakim mengabulkan gugatan para penggugat sebagian, sedangkan untuk angka pembagian warisan dikabulkan majelis hakim, berikut objek warisan juga disebut secara rinci dalam amar putusan.

Tags:

Berita Terkait