Melihat Lagi Kronologi Perkara Hak Tagih Bank Bali Joko Tjandra
Berita

Melihat Lagi Kronologi Perkara Hak Tagih Bank Bali Joko Tjandra

Penasihat hukum membenarkan Joko berada di Indonesia dan mendaftarkan PK di PN Jaksel, namun kini ia telah kembali keluar negeri.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Informasi dari Kejaksaan Agung yang menyebutkan kehadiran Joko Soegiarto Tjandra di Indonesia selama tiga bulan terakhir menuai polemik. Sebab kehadiran buronan hak tagih Bank Bali tersebut tanpa terdeteksi oleh pihak berwenang. Kejaksaan pun mengaku kebobolan dan akan berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait, termasuk Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Di sisi lain, Kemenkumham membantah adanya informasi tersebut. Menkumham Yasonna Laoly mengatakan pihaknya sudah mengecek data perlintasan keimigrasian dan hasilnya tidak ada jejak dari yang bersangkutan. Ia mengaku heran tentang adanya informasi Joko Tjandra masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi.

Namun yang pasti, Yasonna menegaskan tak ada data sedikitpun masuknya Joko Tjandra ke Indonesia. Apalagi dalam kurun waktu tiga bulan ini. “Makanya kemarin kan ada dibilang ditangkap, kita heran juga. Jadi kami sudah cek sistem kami semuanya, tidak ada,” ujar Yasonna kepada wartawan.

Namun kehadiran Joko Tjandra di Indonesia ini dibenarkan oleh penasihat hukumnya Anita Kolopaking. Bahkan Anita ikut mendampingi ketika Joko mengajukan Peninjauan Kembali (PK) melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Beliau sendiri yang hadir pada saat mengajukan memori PK tanggal 8 Juni 2020 sebagai syarat UU harus beliau sendiri yang hadir boleh didampingi PH-nya. Saat itu saya yang dampingi beliau di PN Jak Sel,” kata Anita kepada Hukumonline.

Saat ditanya di mana posisi Joko Tjandra saat ini, ia menyebut yang bersangkutan telah kembali keluar negeri. “Beliau sekarang ada di Kuala Lumpur,” terangnya. (Baca: Ketika Kejaksaan dan Kemenkumham Beda Informasi Keberadaaan Joko Tjandra)

Latar belakang perkara

Dalam keterangannya, tim penasihat hukum menjelaskan latar belakang perkara ini. Permasalahan hukum Joko Soegiarto Tjandra (JST) bermula pada tanggal 1 November 1997, di mana Menteri Keuangan Marie Muhammad menutup 16 bank dan tidak membayarkan deposito yang ada di bank-bank tersebut. Akibatnya masyarakat kemudian memberikan tekanan/rush pada Pemerintah RI, oleh karena itu, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres No. 26/1998 tanggal 26 Januari 1998, SK Menteri Keuangan No. 26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998 yang tata caranya diatur dalam SKB I, yang pada pokoknya Pemerintah menjamin seluruh deposan dan kreditur dari bank umum yang didirikan menurut hukum Indonesia. Namun hanya karena kesalahan satu kata, pelaksanaan program penjaminan pemerintah berujung masalah.

Kewajiban mendaftarkan hutang yang menurut KMK 26/98 ada pada debitur dan kreditur, ternyata tertulis hanya ada pada debitur dalam SKB I, hal tersebut telah mengakibatkan banyak tagihan yang tidak terdaftar karena bank debitur tidak atau terlambat mendaftar. Protes pun mengalir dari berbagai pihak seperti bank kreditur, baik lokal maupun asing, dari Bank Dunia, dan IMF.

Sedangkan terhadap kreditur asing kemudian Pemerintah RI menandatangani Frankfurt Agreement pada 14 Februari 1998 dan pesertanya mendapat jaminan dari Pemerintah Indonesia. Adanya fasilitas Trade Maintenance Facility (TMF) dan Interbank Debt yang berdasarkan Frankfurt Agreement hanya menyangkut penyelesaian tagihan dari bankbank kreditur luar negeri melalui Exchange Offer Program (EOP).

Dengan demikian kreditur luar negeri telah terjamin pembayarannya dengan EOP tersebut yang pada bulan Pebruari 1999 telah direalisasikan pembayaran bunganya, sedangkan bagi bank kreditur dalam negeri tidak bisa memperoleh fasilitas tersebut atau dengan kata lain diperlakukan tidak berimbang/adil (unequal treatment), padahal menurut bank-bank, kreditur Pemerintah juga memberikan jaminan yang sama. (Baca: Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin Divonis 2 Tahun Penjara)

Tekanan IMF dan World Bank yang selalu mengkritik ketidaklancaran program penjaminan dan terakhir dalam Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani pada tanggal 14 Mei 1999 menyebutkan dalam salah satu butir kesepakatan LoI bahwa tagihan antar bank bagi peserta rekapitalisasi sudah harus selesai pada tanggal 28 Mei 1999. Laporan tertulis misi IMF sejak bulan November 1998 menegaskan perlunya pembayaran klaim dipercepat agar program rekapitalisasi perbankan tidak tertunda.

Selain itu perwakilan IMF dan World Bank yang ada di Jakarta berulang-ulang kali meminta perubahan SKB I agar syarat administrasi dalam pembayaran klaim dapat diperlunak atau dihilangkan. Setelah mendapatkan banyak kritikan dan tekanan baik dari dalam negeri maupun internasional, pada tanggal 14 Mei 1999, SKB I kemudian diperbaiki dengan SKB II yang pada pokoknya mengatur bahwa khusus untuk BBO/BBKU tidak diwajibkan menyampaikan pemberitahuan ketidakmampuan membayar.

Joko Tjandra kemudian membeli hak tagih Bank Bali yang merupakan bank swasta (karena sampai saat ditandatanganinya Perjanjian Penyelesaian Cessie, Bank Bali belum direkap oleh pemerintah, sehingga belum ada sepeserpun uang negara yang masuk ke Bank Bali). berdasarkan Perjanjian Cessie No. 002/PEGP/I-99, tanggal 11 Januari 1999 dan Perjanjian Penyelesaian No. 007/BB/CL/VI/1999 dan No. 008/BB/CL/VI/1999 tanggal 9 Juni 1999 di mana semua perjanjian-perjanjian tersebut adalah sah dan mengikat PT Bank Bali Tbk dan PT Era Giat Prima sebagai para pihak.

Pembayaran yang diterima oleh PT Bank Bali Tbk adalah dana yang sudah seharusnya diterima oleh Bank Bali sebesar Rp.904.642.428.369,00 oleh Pemerintah/BPPN, di mana tagihan tersebut telah di-cessie-kan kepada PT Era Giat Prima. Uang yang diterima oleh Bank Bali dari BPPN bukanlah uang negara, melainkan murni kewajiban BDNI yang diambil alih oleh Pemerintah. Di lain pihak, BDNI telah menyerahkan asetnya sebesar Rp27,3 triliun sebagaimana tertuang dalam Master of Settlement and Acquisition Agreement tanggal 21-9-1998.

“Bahwa kemudian keputusan BPPN untuk menggunakan dana dari program penjaminan pemerintah untuk membayar kewajiban BDNI kepada Bank Bali dan bukan dari aset BDNI sendiri, itu adalah sepenuhnya keputusan dan wewenang penuh BPPN yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan JST atau Bank Bali,” kata Anita. (Baca: Putusan PK Joko Tjandra Diwarnai Dissenting)

Serangkaian proses hukum pun telah dilalui Joko, seperti pada September 1999 sampai dengan Agustus 2000 Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 156/Pid.B/2000/ PN.JKT. SEL dimana tuntutan Jaksa tidak terbukti dengan putusan meenyatakan perbuatan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra tersebut di atas sebagaimana dalam dakwaan primer terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan perbuatan pidana.

Kedua menyatakan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra dilepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging), ketiga memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, keempat membebankan biaya perkara kepada Negara. Kemudian kelima memerintahkan barang bukti berupa dana yang ada dalam Escrow Account Bank Bali No. 0999.045197 sejumlah Rp.546.466.116.369,- dikembalikan kepada PT. Era Giat Prima, sedangkan barang bukti berupa dana yang ada pada BNI 46 Rasuna Said Jakarta Selatan sejumlah Rp.28.756.160 dikembalikan kepada terdakwa Joko Soegiarto Tjandra.

Tak terima, penuntut umum pada 21 September 2000 mengajukan kasasi yang teregister dengan nomor perkara 1688 K/PID/2000 yang diputus pada tanggal 28 Juni 2001. Namun upaya itu ditolak Mahkamah Agung dan menguatkan putusan tingkat pertama. Dan pada 29 Oktober 2001 Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan melakukan eksekusi terhadap putusan

Delapan tahun kemudian yaitu pada 2009 penuntut umum mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Joko Tjandra ke Mahkamah Agung yang teregister dengan Nomor 12 PK/PID.SUS/2009. Pada  11 Juni 2009 Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Suwardi memutuskan menerima/ kabul PK yang diajukan Jaksa.

Selain hukuman penjara dua tahun, Joko juga harus membayar denda Rp15 juta. Uang miliknya di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara. Joko Tjandra pun mengajukan PK 22 Juni 2009 JST mengajukan upaya hukum PK yang teregister dengan No. 100 PK/PID.SUS/2009, diputus pada tanggal 20 Februari 2012 tetapi ditolak MA.

Pada 17 Maret 2016 Anna Boentaran selaku istri dari Joko kemudian mengajukan permohonan pengujian Pasal 263 ayat (1) KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), dimana permohonan tersebut teregister dengan Nomor 33/PUU-XIV/2016. Dan hasilnya Permohonan Uji Materiil Nomor 33/PUU-XIV/2016 dikabulkan MK yang pada pokoknya berisi penegak hukum seharusnya tidak dapat mengajukan PK.

Isi dari amar putusan tersebut yaitu mengabulkan permohonan Pemohon Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.

Lalu Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Atas dasar itu pada 8 Juni 2020 Joko mengajukan Permohonan PK terhadap Putusan MA No. 12 PK/PID.SUS/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016 yang bertentangan khususnya terhadap penerapan Pasal 263 ayat (1) KUHAP. Pada 29 Juni 2020 sidang pemeriksaan PK digelar, ia tidak dapat menghadiri persidangan karena sakit.

Tags:

Berita Terkait