Melihat Ketentuan Pemaafan Hakim dalam KUHP Baru
Terbaru

Melihat Ketentuan Pemaafan Hakim dalam KUHP Baru

Penerapan ketentuan judicial pardon dinilai masih bersifat abstrak, sehingga dari satu kasus ke kasus lainnya bisa saja penerapannya berbeda.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Hakim Pengadilan Negeri Mandailing Natal Catur Alfath Satriya dalam Forum Group Discussion ke-24 yang digelar Forum Kajian Dunia Peradilan (FKDP), Sabtu (8/6/2024). Foto: Tangkapan layar youtube
Hakim Pengadilan Negeri Mandailing Natal Catur Alfath Satriya dalam Forum Group Discussion ke-24 yang digelar Forum Kajian Dunia Peradilan (FKDP), Sabtu (8/6/2024). Foto: Tangkapan layar youtube

Rumusan dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memuat ketentuan pemaafan hakim terhadap pelaku kejahatan dengan syarat-syarat tertentu. Seperti dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru menjelaskan beberapa syarat penerapan pemaafan hakim. Antara lain ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian, mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. 

Hakim Pengadilan Negeri Mandailing Natal, Catur Alfath Satriya menjelaskan bahwa secara historis konsep pemaafan hakim sudah ada sejak zaman codex Hammurabi. Intinya memberikan kewenangan kepada raja untuk mengampuni seseorang dengan kondisi tertentu.

“Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum,” ujar Catur dalam Forum Group Discussion ke-24 yang dilakukan oleh Forum Kajian Dunia Peradilan (FKDP), Sabtu (8/6/2024) kemarin.

Dia menjelaskan, dalam praktiknya kewenangan memaafkan atau pardoning power kemudian sering disalahgunakan oleh para raja. Setelah lahirnya teori pemisahan kekuasaan atau separation of power, kewenangan memaafkan yang dimiliki oleh raja tidak lagi absolut perlu diimbangi dengan kewenangan dari kekuasaan yang lain yaitu kekuasaan yudisial.

Baca juga:

Kemudian dalam perkembangannya, hakim yang dalam hal ini merupakan perwujudan dari kekuasaan yudisial diberikan kewenangan untuk memaafkan orang yang bersalah yang dikenal dengan judicial pardon. Secara konseptual, judicial pardon merupakan bagian dari judicial discretionary power dengan dua tujuan yaitu sebagai alternatif penjara pendek dan koreksi yudisial terhadap asas legalitas.

Dia memaparkan mengenai salah satu kasus di dunia yang memberikan masukan terhadap konsep pemaafan hakim yakni kasus Anne Pasquio pada 5 Maret 2001 yang terjadi di Perancis. Pada saat itu, Anne Pasquio membunuh anaknya yang menderita autis karena kondisinya semakin kritis. Anne merasa anaknya tersiksa karena penyakit tersebut. Oleh karena didasarkan rasa kasih saya Anne memutuskan untuk membunuh anaknya dengan cara mendorong anaknya dari dermaga ke dalam air.

Tags:

Berita Terkait