Melihat Eksepsi yang Lepaskan Gazalba Saleh dari Jerat Hukum
Utama

Melihat Eksepsi yang Lepaskan Gazalba Saleh dari Jerat Hukum

Hakim menilai harus ada pendelegasian dari Jaksa Agung dalam penuntutan kasus di KPK.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Mantan Hakim Agung Gazalba Saleh saat akan dilakukan penahanan oleh penyidik KPK. Foto: RES
Mantan Hakim Agung Gazalba Saleh saat akan dilakukan penahanan oleh penyidik KPK. Foto: RES

Mantan Hakim Agung Gazalba Saleh lagi-lagi terlepas dari jeratan hukum. Majelis hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta mengabulkan nota keberatan/eksepsi yang diajukan penasihat hukum Gazalba atas dugaan tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dan pencucian uang.

Majelis menilai penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani perkara ini tidak mempunyai kewenangan melakukan penuntutan. Meskipun secara kelembagaan KPK mempunyai fungsi dan kewenangan penuntutan, namun penuntut umum tidak mendapat kewenangan pendelegasian penuntutan, khususnya terkait dengan perkara ini.

“Dalam hal ini Direktur Penuntutan KPK tidak pernah mendapatkan pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung RI selaku penuntut umum tertinggi sesuai dengan asas single prosecution system,” kata Hakim Rianto dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (27/5/2024) kemarin.

Baca Juga:

Ternyata dalil majelis hakim ini terdapat dalam eksepsi yang diajukan Penasihat Hukum Gazalba dari Kantor Hukum Napitupulu, Kam, Hutauruk and Partners (NKHP). Dalam eksepsinya, penasihat hukum memang menyinggung asas single prosecution system, een en ondelbaar dan dominus litis yang menyatakan hanya Jaksa Agung yang berwenang melakukan penuntutan dan sebagai penuntut umum tunggal, maka pengendalian seluruh penuntutan pidana merupakan kewenangan Jaksa Agung.

“Oleh karena itu, hal tersebut dapat dipertimbangkan majelis hakim untuk mengabulkan nota keberatan kami dan menyatakan penuntutan dan surat dakwaan dalam perkara ini tidak dapat diterima,” ujar penasihat hukum dalam eksepsinya.

Kemudian Pasal 35 ayat (1) huruf j UU Kejaksaan, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mendelegasikan sebagian kewenangan Penuntutan kepada Penuntut Umum untuk melakukan Penuntutan.

Selanjutnya, berdasarkan asas single prosecution system, maka hanya Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi dalam suatu negara dan hanya  penuntut umum yang menerima pendelegasian wewenang dari Jaksa Agung yang dapat melakukan penuntutan.

Bahwa   berdasarkan asas   een en ondelbaar, Kejaksaan   adalah   satu dan   tidak terpisahkan. Asas ini berfungsi memelihara kesatuan kebijakan   penuntutan yang menampilkan tata pikir, tata laku, dan tata kerja lembaga penuntut sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan dan Penjelasannya.

“Pasal tersebut menekankan institusi Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga yang diberi wewenang penuntutan dimana Jaksa Agung selaku pimpinan yang mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan,” tulis eksepsi tersebut.

Bahwa   berdasarkan asas Dominus Litis, Kejaksaan dan Penuntut Umum yang menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung adalah pemilik perkara atau pihak yang memiliki kepentingan nyata dalam suatu perkara, sehingga berwenang menentukan dapat tidaknya suatu perkara diperiksa dan diadili di persidangan.

Penasihat hukum memberikan contoh perkara yang penuntutannya melalui pendelegasian Jaksa Agung yaitu dalam perkara korupsi Satelit Kementerian Pertahanan dengan Terdakwa Surya Cipta Witoelar, dkk dan Thomas Vander Heiden yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dalam perkara tersebut, para Oditur Militer yang ikut melakukan Penuntutan (termasuk dalam Surat Perintah Penuntut Umum) telah menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung.

Oleh karena itu, menurut penasihat hukum seluruh penuntutan pidana di Republik Indonesia, termasuk yang dilakukan oleh KPK RI maupun lembaga lain hanya  dapat dilakukan oleh Penuntut Umum yang telah menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung karena sesuai asas single prosecution system dan dominuus litis hanya Jaksa Agung yang menjadi Penuntut Umum tunggal yang memiliki kewenangan tunggal melakukan penuntutan tindak pidana.

Faktany, yang melakukan Prapenuntutan dan Penuntutan dalam perkara ini adalah Penuntut Umum yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK RI sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU KPK, bukan oleh Penuntut Umum yang menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari Jaksa Agung. 

“Padahal sesuai asas single prosecution system, Jaksa yang ditugaskan di KPK RI tidak serta merta menjadi Jaksa Penuntut Umum yang menerima pendelegasian wewenang Penuntutan dari Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tunggal,” tulis eksepsi tersebut.

Menanggapi putusan ini, KPK sendiri akan mengajukan banding. Ketua KPK Nawawi Pomolango hanya mengingatkan berdasarkan Pasal 3 UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, lembaga antirasuah ini merupakan lembaga independen yang bebas dari pengaruh manapun.

Sebelumnya, KPK sempat kalah untuk kedua kalinya atas kasus dugaan suap terhadap hakim agung non aktif Galzaba Saleh. Terakhir, MA menolak kasasi yang dimohonkan KPK atas vonis bebas hakim agung non aktif Galzaba Saleh yang diterbitkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung.

Dalam kasus ini, Gazalba diduga menerima suap sebesar 20 ribu dolar Singapura untuk pengurusan perkara kasasi pidana terhadap pengurus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana Budiman Gandi. Perkara nomor: 5241 K/Pid.Sus/2023 ini diputuskan oleh Ketua Majelis Kasasi Dwiarso Budi Santiarto dan Sinintha Yuliansih Sibarani serta Yohanes Priyana duduk sebagai anggota majelis kasasi.

“Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut. Membebankan biaya perkara pada seluruh tingkat peradilan pada tingkat kasasi dan pada tingkat kasasi kepada negara,” ujar Dwiarso Budi Santiarto dalam putusan kasasinya. 

Tags:

Berita Terkait