Badan Legislasi (Baleg) terus tancap gas membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan dengan menggunakan metode omnibus law. Kendati menuai banyak protes dari kalangan organisasi profesi tenaga kesehatan dan pemangku kepentingan di bidang kesehatan, tapi DPR mengklaim RUU Kesehatan sebagai upaya mereformasi sektor kesehatan. Lantas bagimana melihat pengelolaan jaminan sosial?.
Ketua Institut Hubungan Industrial Indonesia Saepul Tavip berpandangan, RUU Kesehatan menjadi rancangan aturan yang digodok DPR dan pemerintah dengan menggunakan metode omnibus law. ‘Sapu jagat’, boleh jadi cara yang ditempuh pembentuk UU dengan merevisi banyak UU dengan satu UU. Sepertihalnya pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Dia mencatat, setidaknya ada 15 UU yang disasar RUU Kesehatan. Seperti UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Ada sejumlah ketentuan RUU Kesehatan yang berpotensi mengganggu pengelolaan jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. Misalnya, menempatkan BPJS berada di bawah menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan.
Menurutnya, Pasal 7 ayat (2) RUU Kesehatan menyebut BPJS bertanggungjawab kepada Presiden melalui menteri di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Sementara Pasal 13 huruf k RUU Kesehatan mewajibkan BPJS melaksanakan penugasan dari kementerian yakni Kementerian Kesehatan dan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Padahal saat ini UU BPJS sudah jelas mengatur dengan sangat jelas Direksi dan Dewan Pengawas BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Tidak ada ketentuan yang mengatur Direksi maupun Dewan Pengawas untuk melaksanakan penugasan dari Menteri,” ujarnya saat dikonfirmasi, Senin (30/01/2023).
Baca juga:
Menurutnya, dalam RUU Kesehatan mengatur proses pelaporan pelaksanaan setiap program termasuk kondisi keuangan wajib melaporkannya kepada Presiden melalui menteri Kesehatan atau Ketenagakerjaan dengan tembusan ke Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Sementara UU 24/2011 mengatur BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala 6 bulan sekali langsung kepada Presiden, dengan tembusan kepada DJSN.
Sementara pengaturan unsur Dewan Pengawas BPJS mengalami perubahan sebagaimana tertuang dalam pasal 21 ayat (3) yang mengatur Dewas BPJS Kesehatan terdiri dari 2 orang dari unsur Kementerian Kesehatan, 2 orang Kementerian Keuangan, 1 orang unsur pekerja, 1 orang unsur pemberi kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.