Melihat Capaian Implementasi UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Berita

Melihat Capaian Implementasi UU Sistem Peradilan Pidana Anak

Meningkatnya jumlah anak yang diproses secara diversi.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Anak adalah generasi penerus yang akan melanjutkan kepemimpinan Indonesia di masa depan. Anak berbeda dengan orang dewasa karena kondisi ketidakmatangan fisik dan mentalnya. Oleh karena itu, saat berhadapan dengan hukum anak harus memperoleh perlakuan khusus yang layak untuk menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.  Kurang lebih itulah latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

 

Untuk diketahui, sejak dikeluarkan dan berlaku pada Juli 2014 menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU SPPA memperkenalkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) melalui sistem diversi. Sepanjang 3 tahun pelaksanaan UU SPPA, menarik untuk melihat apa saja capaian dalam hal penerapan pendekatan keadilan restoratif melalui sistem diversi ini.

 

Salah satu penggagas UU SPPA yang juga merupakan ahli perlindungan anak pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Apong Herlina, menyampaikan 3 hasil penting pelaksanaan UU SPPA.

 

Pertama, meningkatnya jumlah anak yang diproses secara diversi. Apong menjelaskan data Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Badilum MA) yang menyebutkan penanganan anak di Pengadilan Negeri sepanjang tahun 2014-2016. Di tahun 2014, terdapat 1.823 perkara dengan anak sebagai pelaku, masuk di semua pengadilan negeri di Indonesia.

 

Di tahun pertama pemberlakuan UU SPPA, Apong menyebutkan terdapat 1% diversi berhasil menyelesaikan perkara pidana anak. Di tahun 2015, jumlah perkara yang masuk di pengadilan negeri sebanyak 5.426. Sedangkan keberhasilan pelaksanaan diversi dari jumlah tersebut sebanyak 3%. Kemudian di tahun 2016, dari 6.679 jumlah perkara yang masuk di pengadilan negeri, terdapat 4% keberhasilan pelaksanaan diversi.

 

(Baca Juga: Terancam Dikriminalisasi, Jaksa Uji UU Sistem Peradilan Pidana Anak ke MK)

 

Kedua, berkurangnya jumlah anak yang ditahan. Sepanjang Juli 2014-Juli 2016, Data Ditjen Pas Kemenkumham menyebutkan bahwa jumlah tahanan anak di tahun 2014 sebanyak 1.873 orang. Sementara di tahun 2015, terdapat 653 orang dan 2016 sebanyak 766 orang anak.

 

“Jumlah anak yang ditahan berkurang, serta masyarakat juga sudah mulai menerima penyelesaian secara diversi ini,” ujar Apong, Selasa (19/12), di Jakarta.

 

Ketiga, menurunya jumlah anak yang dipenjara. Berdasarkan data Ditjen Pas di periode yang sama, pada 2014 terdapat 3.268 narapidana anak di seluruh Indonesia. Kemudian di 2015, mengalami penurunan sebanyak 2.615 orang. Sementara di 2016, terus mengalami penurunan sehingga berjumlah 2.340 orang.

 

Apong juga memaparkan sejumlah tantangan pelaksanaan UU SPPA.  Pertama, selama ini belum tersedia data base penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) secara terpadu yang dapat dijadikan sebagai sumber utama bagi penilaian capaian pelaksanaan UU SPPA.

 

(Baca Juga: Mengintip Isi PP Pemantauan dan Evaluasi Sistem Peradilan Anak)

 

Kedua, belum semua peraturan pelaksanaan, baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden sebagaimana didelegasikan oleh UU SPPA ditetapkan. Saat ini belum ada aturan setingkat PP yang mengatur mengenai bentuk dan tata acara pelaksanaan pidana sebagai amanat UU SPPA Pasal 71 ayat (5), dan Perpres tentang pelaksanaan hak anak korban dan anak saksi sebagai amanat Pasal 90 ayat (2).

 

Ketiga, masih sering terjadi perbedaan pendapat di antara aparat penegak hukum terkait proses diversi. Keempat, belum tersedia prasarana yang memadai sesuai perintah UU SPPA untuk kebutuhan penanganan ABH baik di Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan. Kelima, kurangnya jumlah APH yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang UU SPPA, serta benturan kebijakan maupun sistem sosial budaya dalam pelaksanaan UU SPPA.

 

Sementara itu, Wakil Sekertaris Pokja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung, Edy Wibowo, menyampaikan bahwa MA berkomitmen menguatkan pelaksanaan UU SPA. Untuk itu MA menghindari kemungkinan keengganan sebagian penegak hukum melakukan diversi. “Seringkali aparat kesulitan mengumpulkan para pihak untuk melakukan diversi,” ujar Edy.

 

Oleh karena itu, sebelumnya sempat terdapat aturan yang mengancam penegak hukum dengan sanksi pidana apabila tidak melakukan diversi terhadap perkara yang wajib diversi sebagaimana diatur Pasal 100 dan Pasal 101 UU SPPA. Namun pasal tersebut telah dibatalkan MK pada Maret 2013.

 

Direktur Binmas dan Pengentasan Anak, Ditjen Pas Kemenkumham, Yunaedi memaparkan rencana strategis Bimkemas dan Pengentasan Anak untuk 2018-2019. Di 2018, renstra Bimkemas dan Pengentasan Anak antara lain pembangunan Bapas, LPAS, dan LPKA; penyusunan buku pedoman pelaksanaan pengawasan dan penindakan; pengembangan modul online untuk pelaksanaan bimtek dan ujian online bagi PK; Bimtek, Sosialisasi, Rakor, dan Monev.

 

“Sementara 2019, renstranya adalah pembuatan sistem aplikasi litmat anak dan dewasa berbasis IT,” tutup Yunaedi.

 

Tags:

Berita Terkait