Melihat Bencana Alam dari Perspektif Hukum
Utama

Melihat Bencana Alam dari Perspektif Hukum

Bencana alam merupakan peristiwa hukum.

Aji Prasetyo
Bacaan 3 Menit
Musibah gempa bumi. Ilustrasi foto: RES
Musibah gempa bumi. Ilustrasi foto: RES

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 136 bencana alam terjadi di Indonesia dalam periode 1-16 Januari 2021. Bencana alam terbanyak yang terjadi adalah banjir sebanyak 95 kejadian, tanah longsor 25 kejadian, puting beliung 12 kejadian, gempa bumi 2 kejadian dan gelombang pasang 2 kejadian.

Kejadian bencana alam tersebut belum memasukkan data awan panas gunung Semeru yang belakangan terjadi. Sementara bencana alam besar yang baru-baru saja terjadi yakni gempa di Majene Sulawesi, dan banjir di Kalimantan Selatan. Dari sekian banyak bencana alam itu, sudah merenggut 80 korban jiwa dan 858 orang luka-luka dan sebanyak 405.584 orang terdampak dan mengungsi.

Hingga Sabtu, 16 Januari 2021 pukul 20.00 tercatat sebanyak 47 orang meninggal dunia di Kabupaten Mamuju dan 9 orang di Kabupaten Majene. Jumlah korban meninggal dunia akibat gempa bumi di Sulawesi Barat terus bertambah akibat gempa berkekuatan 6,2 skala Richter (SR) mengguncang Sulawesi Barat pada sehari sebelumnya. 

“Korban luka mencapai 637 orang di Kabupaten Majene dengan rincian sejumlah 12 orang luka berat, 200 orang luka sedang dan 425 orang luka ringan. Sedangkan di Kabupaten Mamuju terdapat 189 orang mengalami luka berat atau rawat inap,” seperti dikutip dari siaran pers BNPB, Ahad, 17 Januari 2021.

Lalu apakah bencana alam merupakan peristiwa hukum? (Baca: Ini 5 Masalah Hukum Akibat Banjir)

Mengutip penjelasan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. dalam bukunya “Ilmu Hukum” (hal. 35), peristiwa hukum adalah sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur. Dengan kata lain, peristiwa hukum merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum.

Peristiwa hukum ini sendiri terdiri dari keadaan baik alamiah, kejiwaan maupun sosial. Kedua kejadian baik keadaan darurat, kelahiran/kematian maupun kadaluwarsa, ketiga sikap dalam tindakan hukum baik itu menuruti peraturan hukum maupun melanggar hukum baik itu di bidang administrasi negara, tata usaha negara, perdata maupun pidana.

Banjir dan gempa bumi adalah termasuk force majeure yaitu kejadian atau keadaan yang terjadi di luar kuasa para pihak berkepentingan yang dapat juga disebut keadaan darurat. Force majeure ini biasanya merujuk pada tindakan alam (act of God), seperti bencana alam (banjir, gempa bumi), epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya.

Force majeure sendiri merupakan peristiwa hukum karena pada umumnya menimbulkan akibat hukum misalkan karena dengan terjadinya banjir atau gempa membuat salah satu pihak tidak dapat memenuhi isi perjanjian terhadap pihak lainnya. Dengan kata lain, banjir atau gempa menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, banjir atau gempa adalah peristiwa hukum. Klausul force majeur ini biasanya diatur dalam perjanjian.

Dalam KUH Perdata, force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245, dalam bagian mengenai ganti rugi karena force majeure merupakan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.

Disarikan dari buku “Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa” oleh Rahmat S.S. Soemadipradja, hal. 99 dan 101 maka bisa dibilang peristiwa atau ruang lingkup force majeure yang tersirat dalam pasal-pasal tersebut meliputi tiga hal. Pertama peristiwa alam seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi, kedua kebakaran, ketiga musnah atau hilangnya barang objek perjanjian.

Sementara subyek hukumnya yaitu semua manusia, termasuk janin, bayi dan orang yang sakit ingatan adalah subyek hukum. Karena subyek hukum terdiri dari pribadi kondrati yaitu manusia tanpa terkecuali, pribadi hukum yang bisa saja berupa keutuhan harta kekayaan seperti wakaf, bentuk susunan relasi seperti perseroan terbatas dan koperasi (badan hukum) dan tokoh yang dikorelasikan seperti pewaris dan ahli waris dalam hukum kewarisan. 

Jadi, baik janin, bayi maupun orang sakit ingatan adalah termasuk subyek hukum tanpa kecuali. Contohnya dapat kita lihat pada Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai janin yang masih dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Yang membedakan adalah janin di dalam kandungan, bayi dan orang sakit ingatan tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri.

 

Tags:

Berita Terkait