Melihat Akar Persoalan Legalisasi Peredaran Miras
Berita

Melihat Akar Persoalan Legalisasi Peredaran Miras

“Jadi kalau mau menolak, ya seharusnya termasuk Pasal 7 Perpres 74/2013 yang masih eksis berlaku hingga saat ini.” Termasuk Pasal 77 ayat (2) UU Cipta Kerja yang telah mencabut Perpres No. 76 Tahun 2007 dan Perpres No. 44 Tahun 2016 yang menempatkan industri miras beralkohol salah satu bidang usaha tertutup untuk investasi.

Agus Sahbani
Bacaan 6 Menit
Polri saat merilis dan menyita minuman keras oplosan. Foto: RES
Polri saat merilis dan menyita minuman keras oplosan. Foto: RES

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan mencabut Lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM), khususnya yang memuat pembukaan investasi baru industri minuman keras beralkohol di beberapa provinsi, seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Utara, Selasa (2/3/2021). Pencabutan lampiran beleid yang diteken pada 2 Februari 2021 ini merespons penolakan sejumlah ormas keagamaan. Perpres 10/2021 ini merupakan salah satu peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.  

Investasi industri minuman keras beralkohol ini masuk dalam Daftar Bidang Usaha dengan Persyaratan Tertentu sebagai tertuang dalam Lampiran III angka 31,32, dan 33 Perpres 10/2021 sebagai salah satu bidang usaha dari 46 bidang usaha dengan persyaratan. Seperti, Industri Minuman Keras Mengandung beralkohol; Industri Minuman Mengandung Alkohol Anggur (KBLI 11020); Industri Minuman Mengandung Malt (KBLI 11031); Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol; Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol. Jenis investasi ini hanya dapat dilakukan di 4 provinsi dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat. Di luar itu, Kepala BKPM dapat menetapkan provinsi lain berdasarkan usulan dari gubernur.

Polemik pengaturan legalisasi peredaran miras ini pun ditanggapi beragam oleh beberapa kalangan baik dari sisi prosedural pembentukan Perpres tersebut maupun substansinya. Dari sisi substansi, pencabutan Lampiran Perpres 10/2021 terkait investasi industri miras di provinsi tertentu itu sebenarnya dianggap tidak menyentuh akar persoalan legalisasi peredaran miras di Tanah Air.          

“Jika Perpres No. 10 Tahun 2021 dipandang melegalisasi miras, perlu juga dilihat Perpres No. 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Karena Perpres inilah yang sebenarnya merupakan dasar hukum legalisasi peredaran minuman beralkohol,” ujar Advokat Victor Santoso Tandiasa saat dikonfirmasi, Rabu (3/3/2021). (Baca Juga: Sejumlah Aturan Pembatasan Minuman Beralkohol di Indonesia)

Menurut dia, pengaturan legalisasi peredaran miras sebenarnya bukan diatur dalam Perpres 10/2021, melainkan diatur dalam Perpres No. 74 Tahun 2013 yang masih berlaku dan menjadi dasar hukum peredaran miras yang legal di Indonesia. Dia menerangkan pengaturan legalisasi minuman beralkohol pun sudah ada sejak zaman Orde Baru melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.

“Tapi, Keppres No. 3 Tahun 1997 itu berdasarkan Putusan MA No. 42 P/HUM/2012 tanggal 18 Juni 2013 dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian terbitlah Perpres No. 74 Tahun 2013 itu,” kata Victor. 

Dia mengutip Pasal 3 Perpres 74/2013 yang menyebutkan minuman beralkohol berasal dari produksi dalam negeri atau impor dikelompokkan dalam golongan A-C sebagai barang dalam pengawasan. Lalu, dalam Pasal 7 ayat (1) Perpres 74/2013 disebutkan minuman beralkohol golongan A, B, C, hanya dapat dijual di hotel, bar, dan restoran yang memenuhi syarat sesuai peraturan di bidang kepariwisataan; di toko bebas bea; dan tempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Menurutnya, meski Perpres 74/2013 ini terkait pengendalian dan pengawasn minuman beralkohol, tapi substansinya melegalisasi peredaran dan penjualan minuman beralkohol untuk diperdagangkan di lokasi yang ditentukan. Kalau mau menolak perdagangan minuman beralkohol seharusnya Perpres 74/2013 juga minta dicabut. Lalu, menerbitkan larangan penjualan minuman beralkohol dimanapun secara tegas.  

Jadi kalau mau menolak, ya seharusnya termasuk Pasal 7 Perpres 74/2013 yang masih eksis berlaku hingga saat ini,” katanya.  

Untuk diketahui, Majelis MA yang diketuai Supandi beranggotakan Hary Djatmiko dan Yulius pernah mengabulkan uji materi Keppres No. 3 Tahun 1997 yang dimohonkan Front Pembela Islam. MA menyatakan Keppres itu tidak berlaku karena dasar penerbitan Keppres berupa UU telah dicabut atau tidak berlaku. Diantaranya, UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan diubah lagi dengan UU No. 12 Tahun 2008.

Selain itu, UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang telah dicabut dengan UU No. 36 Tahun 2009; PP No. 11 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan yang telah diubah dengan PP No. 11 Tahun 2004; PP No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Keppres No. 12 Tahun 1992 tentang Penyusunan dan Pengawasan yang telah diubah dengan PP No. 102 Tahun 2000 tentang Standar Nasional Indonesia.

Salah satu, pertimbangan MA, sebagaimana disampaikan Juru Bicara MA Ridwan Mansyur kala itu, terpenting lembaga publik terkait bisa menindaklanjuti putusan ini dengan kebijakan demi menciptakan ketertiban masyarakat yang tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara. Sebab, saat ini peredaran miras tidak terkontrol yang tersebar dimana-mana, seperti di minimarket, jalanan, dan tempat-tempat lain.

”Mungkin ada regulasi baru yang lebih efektif mengawasi peredaran miras karena daerah yang paling tahu kondisi di daerahnya. Pada 18 Juli akan kita sampaikan ke Kemendagri dan dimasukkan dalam berita negara,” kata Ridwan Mansyur, Rabu (10/7/2013) silam. (Baca Juga: Inilah Alasan MA Batalkan Keppres Miras)

Jika peredaran miras dikontrol pemerintah pusat, pemerintah daerah mungkin tidak bisa mengontrol sendiri. Padahal, daerahlah yang tahu persis kondisi sosial, budaya masyarakatnya. ”Mungkin di daerah tertentu sangat bermasalah dengan minuman beralkohol, tetapi di daerah lain tidak bermasalah. Karakteristik masing-masing daerah kan berbeda-beda.”  

Dengan kata lain, dihapusnya Keppres 3 Tahun 1997 itu, maka peredaran miras boleh diatur lewat peraturan daerah, bukan oleh pemerintah pusat. Namun, faktanya tak lama kemudian, Pemerintah malah menerbitkan Perpres No. 74 Tahun 2013 dan juga terbit beberapa peraturan daerah (perda) terkait legalisasi peredaran miras di provinsi tertentu.

Seperti, Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol yang telah diperbaharui melalui Peraturan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2016 dan Peraturan Gubernur (Pergub) NTT Nomor 44 Tahun 2019 tentang Pemurnian dan Tata Kelola Minuman Tradisional Beralkohol khas NTT atau yang dikenal dengan nama sopi.

Terlebih, dalam Pasal 77 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 12 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, mengeluarkan/mencabut bidang usaha miras dari daftar bidang usaha tertutup yang dilarang diusahakan untuk kegiatan penanaman modal. Itu sebabnya, Pasal 14 huruf a Perpres 10 Tahun 2021 telah mencabut Perpres No. 76 Tahun 2007 tentang tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.  

Dan Perpres No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Kedua Perpres yang dicabut itu sebelumnya menempatkan industri miras beralkohol dan anggur salah satu bidang usaha tertutup untuk investasi dari daftar 20 bidang usaha tertutup. Artinya, eksisting industri miras masih dianggap bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal.

Kini, melalui Pasal 77 ayat (2) UU Cipta Kerja dan PP No.10 Tahun 2021 itu, daftar negatif investasi menjadi hanya tinggal 6 bidang usaha yang tertutup. Selengkapnya, Pasal 77 ayat (2) UU Cipta Kerja disebutkan "Ketentuan Pasal 12 (UU 25/2007) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12

(1) Semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanalnan modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal atau kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. budi daya dan industri narkotika golongan I;

b. segala bentuk kegiatan perjudian dan/atau kasino;

c. penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix I Conuention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES);

d. pemanfaatan atau pengambilan koral dan pemanfaatan atau pengambilan karang dari alam yang digunakan untuk bahan bangunanlkapur lkalsium, akuarium, dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati (recent death corat) dari alam;

e. industri pembuatan senjata kimia; dan

f. industri bahan kimia industri dan industri bahan perusak lapisan ozon."

Tags:

Berita Terkait