Melacak Kebenaran Syafruddin Prawiranegara Presiden RI? Begini Kata Prof Yusril
Utama

Melacak Kebenaran Syafruddin Prawiranegara Presiden RI? Begini Kata Prof Yusril

Terdapat 3 hal yang perlu dicermati dalam menentukan benar tidaknya Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI bisa disebut sebagai Presiden RI.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra saat memberi kuliah umum di FHUI, Jumat (5/5/2023). Foto: RES
Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra saat memberi kuliah umum di FHUI, Jumat (5/5/2023). Foto: RES

Pada awal kemerdekaan Indonesia pernah memiliki pemerintahan darurat yang disebut dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berlangsung selama 8 bulan pada periode 1948-1949. Pembentukan PDRI sebagaimana tertuang dalam mandat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tertanggal 19 Desember 1948. Salah satu isi mandat tersebut memerintahkan Syafruddin Prawiranegara membentuk PDRI. Alhasil PDRI terbentuk pada 22 Desember 1948.

Setelah peristiwa bersejarah itu berlalu, muncul asumsi yang menyebut Syafruddin Prawiranegara adalah salah satu mantan Presiden Indonesia. Hal itu menimbulkan pertanyaan publik. Ahli Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra mengatakan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono pernah bertanya apakah benar pandangan tersebut?.

Yusril menerangkan dalam hukum tata negara terdapat 3 hal yang perlu dicermati untuk menentukan benar tidaknya Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI bisa disebut sebagai Presiden RI. Pertama, PDRI dibentuk melalui mandat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang dikirim melalui surat kawat atau telegram tertanggal 19 Desember 1948. Mandat itu memerintahkan Syafruddin untuk membentuk PDRI.

Ketika Belanda menyerang Yogyakarta pada Desember 1948, pemerintah Indonesia sedang melaksanakan rapat kabinet. Setelah Soekarno dan Hatta serta jajaran kabinet ditangkap, Yogyakarta mampu dikuasai Belanda. Yusril mengatakan dalam kondisi darurat itu Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta menerbitkan mandat untuk Syafruddin untuk membentuk PDRI.

“Kesimpulan saya, Syafruddin Prawiranegara itu bukan Presiden RI,” kata Pakar Hukum Tata Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra saat kuliah umum bertema "Hukum Tata Negara Dalam Keadaan Darurat: Kasus Terbentuknya Pemerintah Darurat RI di Bukttinggi (1948-1949)" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Jum'at (5/5/2023) kemarin.

Baca juga:

Dari hasil wawancaranya dengan Syafruddin Prawiranegara, Yusril mengatakan Syarifuddin mendalami bidang ekonomi ketimbang hukum. Karenanya, Syafruddin pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan RI. Ketika membentuk PDRI, Syafruddin menyebut dirinya sebagai ketua, bukan Presiden atau Perdana Menteri.

Menurut Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) periode 2004-2007 pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla itu berpendapat mandat pembentukan PDRI itu sesuai dengan tradisi pemerintahan sistem parlementer, di mana Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat kepada untuk membentuk kabinet. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1949 Indonesia menganut sistem parlementer.

“Ketika Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat untuk membentuk kabinet, maka yang menerima mandat itu statusnya bukan Presiden, tapi Perdana Menteri. Karena itu, tidak mungkin Syafruddin menerima mandat membentuk PDRI dan dirinya sebagai Presiden,” ujarnya.

Kedua, indikator lain yang memperkuat argumentasi Syafruddin Prawiranegara bukan Presiden yakni surat-menyurat yang dilakukan Syafruddin dengan Soekarno. Dalam surat yang masih tersimpan rapi di Arsip Nasional, Yusril melihat dalam surat yang dikirim PDRI kepada Soekarno tertulis surat itu menyebut status Soekarno sebagai Paduka Yang Mulia Presiden RI dan Syafruddin sebagai Ketua PDRI.

Ketiga, tahun 1949 tekanan dunia internasional kepada pemerintah Belanda semakin kuat. Amerika Serikat terlibat dan memfasilitasi perundingan Indonesia-Belanda di kapal AS bernama USS Renville. Delegasi Indonesia yang memimpin perundingan itu adalah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.

Yusril menegaskan Syarifuddin mengembalikan mandat Ketua PDRI yang diampu sejak Desember 1948 kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada Juli 1949.

Pengembalian mandat itu menegaskan kembali bahwa posisi Syarifuddin bukan sebagai Presiden. Pentingnya pengembalian mandat itu agar tidak terjadi dualisme pemerintahan di Indonesia. Setelah PDRI bubar pemerintah Indonesia fokus untuk menghadapi perundingan berikutnya dengan Belanda, salah sastunya Konferensi Meja Bundar (KMB).

Konstitusi tidak mengatur

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah itu lebih jauh menerangkan konstitusi tidak mengatur pemberian mandat dari Presiden untuk membentuk pemerintahan darurat. Konstitusi hanya mengatur keadaan darurat dalam konteks pemerintah bertanggung jawab mengatasi keadaan darurat, tapi untuk mengatasi hal itu tidak punya perangkat dan norma hukum. Dengan begitu, pemerintah berhak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Kala itu, kata Yusril, ada kebutuhan politik ketatanegaraan tertentu, tapi terbentur dengan konstitusi. Misalnya, konstitusi jelas mengatur Indonesia menganut sistem Presidensil. Tapi dalam perjalanan sejarah Indonesia pernah berubah menjadi sistem parlementer. Kendati tidak diatur dalam konstitusi, tapi perubahan sistem dari presidensil ke parlementer merupakan bentuk konvensi konstitusional.

“UUD 1945 tidak berubah, tapi praktiknya berbeda dengan isinya, dan itu diterima. Unsur diterima itu penting, kalau tidak diterima, maka menjadi masalah,” ujarnya.

Menurut mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) di era pemerintah Megawati Soekarnoputri itu, pengalaman sejarah itu penting bagi pemerintah untuk mengantisipasi ketika terjadi hukum tata negara darurat. Misalnya, konstitusi setelah amandemen memandatkan penyelenggaraan pemilu 5 tahun sekali. Bagaimana jika ada kondisi darurat yang menyebabkan pemilu tidak dapat digelar sesuai mandat tersebut?

"Hal itu termasuk krisis konstitusional dimana secara faktual terjadi krisis ketatanegaraan, tapi konstitusi tidak memberikan jalan keluar atas persoalan tersebut."

Tags:

Berita Terkait