Mekanisme Audit Dana Kampanye Parpol Harus Diperkuat
Berita

Mekanisme Audit Dana Kampanye Parpol Harus Diperkuat

Masih terdapat sejumlah titik rawan dalam pelaporan dan audit dana kampanye.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta, Jumat (4/4). Foto: RFQ
Jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta, Jumat (4/4). Foto: RFQ
Proses audit dana kampanye merupakan bagian penting dalam membangun aspek transparansi dan akuntabilitas Pemilihan Umum (Pemilu) yang jujur. Pengaturan dana kampanye telah diatur dalam ketentuan UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Oleh karena itu, untuk meminimalisir kemungkinan terburuk perlu penguatan mekanisme audit dana kampanye.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak konsisten terhadap aturan yang mereka buat. Misalnya, Peraturan KPU No.17 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Berdasarkan pantauan ICW, setidaknya terdapat laporan dana kampanye parpol tertentu sebesar Rp200 ribu, sementara KPU relatif mentolerir hal itu. “Ini tidak masuk akal. KPU terlalu memberikan ruang kepada parpol. Ini ruang-ruang kompromi terhadap ketidakpatuhan parpol,” ujarnya di kantor ICW, Jumat (4/4).

Dikatakan Abdullah, KPU semestinya bertindak tegas dengan memegang aturan. Apalagi, telah ada PKPU No.1 Tahun 2014 yang merevisi PKPU No.17 Tahun 2013. Abdullah berpendapat, upaya menemukan praktik pelanggaran dana kampanye yang dilakukan parpol dengan memperkuat prosedur dan teknis audit dana kampanye.

Proses audit idealnya menjadi alat untuk melakukan validasi kebenaran laporan audit dana kampanye parpol. “Oleh karena itu penting makna bahwa proses audit penting untuk diperkuat,” ujarnya.

Anggota tim ad hoc audit dana kampanye Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Anton Silalahi, mengatakan keinginan publik agar audit dana kampanye dilakukan dengan profesional. Namun, ia menilai keinginan masyarakat sulit dilakukan sepanjang regulasi yang mengatur tidak dijalankan dengan baik. IAPI telah bekerjasama dengan KPU dalam rangka melakukan audit dana kampanye.

Belakangan, kerjasama yang dituangkan dalam bentuk notakesepahaman hingga kini belum juga ditandatangani kedua belah pihak. Ironisnya, KPU telah menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) yang akan melakukan audit dana kampanye. Anton menyayangkan hal tersebut. Pasalnya, notakesepahaman belum ditandatangani, namun KPU malah melakukan perikatan.

“Harusnya jelas dulu yang mau diaudit, berapa biayanya, berapa akuntan publik yang dibutuhkan. Ini bisa dikatakan cacat prosedur,” ujarnya.

Anton menjelaskan, setidaknya terdapat sejumlah titik rawan dalam pelaporan dan audit rekening dana kampanye versi IAIP. Pertama, parpol bukan tidak mungkin mencatat pemasukan dari sumber-sumber terlarang dengan menggunakan pihak tertentu sebagai penyumbang fiktif.

Langkah itu dimungkinkan dalam rangka menyamarkan dana dari sumber ilegal. Kedua, parpol tidak mencatat pemasukan dari sumber terlarang dan tidak memasukan ke dalam rekening khusus dana kampanye. Dengan begitu, tidak terlihat adanya penerimaan sumber terlarang.

Ketiga, parpol mencatat penerimaan tidak dalam jumlah sebenarnya. Keempat, parpol memasukan dana terlarang ke dalam rekening parpol. Kemudian, kata Anton,  dimasukan dalam rekening khusus. Kelima, pelaksanaan audit rentan dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan. Sehingga patut diduga hasil audit tidak berkualitas.

Keenam, audit dimungkinkan hanya dilakukan oleh beberapa KAP untuk obyek audit yang mencakup 399 perikatan dana kampanye di seluruh Indonesia. Padahal terdapat ketentuan pembatasan audit maskimal dilakukan KAP hanya dua partai untuk seluruh Indonesia.

“Dengan sedikitnya jumlah KAP yang kemungkinan teribat, maka dapat beresiko terhadap kualitas dari hasil audit,” ujarnya.

Anggota Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, mengamini pandangan Abdullah dan Anton. Menurutnya, menjangkau dana belanja kampanye partai kian sulit. Ia berpendapat, PKPU No.17 Tahun 2013 dinilai tidak mampu menjawab kebutuhan mekanisme audit sesungguhnya. Begitu pula dengan PKPU No.1 Tahun 2014.

“Bahwa adanya kelemahan standar di pasal-pasal tersebut. Belum adanya follow up MoU, rentang waktu yang tidak cukup hanya 30 hari. Ini kelemahan regulasi menjadi titik rawan kelemahan,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait