Seringkali teori yang ada berbeda dengan kenyataan yang terjadi saat di lapangan. Hal itulah yang kerap dialami oleh para hakim mediator pada saat proses mediasi bersama para pihak yang bersengketa.
Banyak faktor yang membuat teori tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan. Dalam menghadapi kenyataan tersebut, seringkali ketegasan hakim diperlukan agar mediasi berjalan sesuai peraturan perundang-undangan.
“Dalam menghadapi keadaan yang sebenarnya sering berbeda dengan teori. Dalam praktik ketika kita memimpin persidangan, kemudian pihak (yang berselisih) tidak mau mediasi karena sudah tidak ingin berdamai. Nah, di situ sebagai hakim saya menegaskan bahwa putusan akan batal demi hukum dan tidak ada artinya karena tidak menempuh mediasi,” ujar hakim mediator Ig Eko Purwanto kepada Hukumonline, Kamis (27/7).
Baca Juga:
- PN Jakpus Nilai Kehadiran Mediator Non Hakim Bantu Ringankan Beban Kerja Hakim
- PN Jakarta Pusat Gandeng Mediator Non Hakim untuk Mediasi Pro Bono
- Begini Aturan Main Jadi Mediator Non Hakim Pro Bono di PN Jakpus
Biasanya, setelah hakim ‘mengancam’ putusan akan batal demi hukum, pihak yang berselisih ingin menempuh jalur mediasi terlebih dahulu. Ketika saat menawarkan mediasi, hakim perlu menyampaikan bagaimana mediasi akan berjalan ke para pihak.
Ketika para pihak telah mengetahui dan memahami mengenai mediasi, hakim akan memberikan formulir kepada para pihak mengenai telah dijelaskan tentang dan proses mediasi yang kemudian ditandatangani di depan hakim bahwa mediasi akan ditempuh dengan iktikad baik.
“Meski para pihak sepakat dengan iktikad baik, dalam praktik tidak jarang bahwa para pihak itu sudah dalam keadaan emosi dan mengatakan tidak bisa damai. Nah, disitulah peran kita sebagai mediator,” sambung Eko.