Mediasi Gugatan Kontrak Karya Freeport Berjalan Alot
Berita

Mediasi Gugatan Kontrak Karya Freeport Berjalan Alot

IHCS bersikukuh pemerintah dan Freeport harus merevisi kontrak karya dan membayar royalti sebesar AS$256 juta.

Nov
Bacaan 2 Menit
Gugatan mengenai KK PT Freeport Indonesia masuki tahap mediasi di PN Jakarta Selatan. Foto: SGP
Gugatan mengenai KK PT Freeport Indonesia masuki tahap mediasi di PN Jakarta Selatan. Foto: SGP

Gugatan mengenai kontrak karya (KK) PT Freeport Indonesia masih memasuki tahap mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, Indonesian Human Right Comitte for Social Justice (IHCS) bersikukuh revisi KK dan pembayaran royalti adalah harga mati. “Bagi kami revisi kontrak karya dan pembayaran royalti tidak dapat dikompromikan,” kata Sekretaris Jenderal IHCS Gunawan (penggugat), Selasa (4/10).

 

Menurutnya, Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) dan Freeport seharusnya merevisi KK tanggal 30 Desember 1991 yang memuat kesepakatan untuk membayar royaliti emas sebesar satu persen. Karena, berdasarkan PP No 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tarif royalti emas adalah sebesar 3,75 persen dari harga jual tonase.

 

Oleh karenanya, terhitung sejak 31 Juli 2003, Gunawan menganggap Menteri ESDM (tergugat I) dan Freeport (tergugat II) telah menjalankan suatu perjanjian yang cacat karena tidak sesuai dengan ketentuan PP No 45 Tahun 2003. Untuk itu, apabila diakumulasikan, kerugian negara sudah mencapai AS$256,17 juta.

 

Namun, permintaan IHCS ini belum mendapat tanggapan dari Menteri ESDM, Freeport, Presiden (tergugat III), dan DPR (turut tergugat). Kuasa hukum Menteri ESDM dan Freeport meminta IHCS mengajukan proposal penawaran yang konkrit. Ketika IHCS bersikeras meminta sesuai isi gugatan, maka Menteri ESDM dan Freeport tidak akan menjawabnya di persidangan.

 

Sementara, kuasa hukum DPR tidak hadir dalam mediasi. Kemudian, kuasa hukum Presiden, Maria mengaku pihaknya belum siap mengajukan proposal penawaran apapun. “Kami minta waktu seminggu. Belum siap kami,” ujarnya.

 

Maka dari itu, pada mediasi 11 Oktober 2011 mendatang, Gunawan berharap Menteri ESDM, Presiden, dan DPR akan memberikan proposal penawaran yang sejalan dengan upaya pemerintah. Ia menyitir pemberitaan media yang menyatakan Presiden dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa telah berbicara tentang renegosiasi kontrak pertambangan, termasuk kontrak karya Freeport. Wakil Ketua DPR Pramono Anung juga mendesak renegosiasi Freeport dan Freeport sendiri yang tadinya menolak kini menerima renegosiasi,” tuturnya.

 

Gugatan legal standing IHCS ini didaftarkan pada akhir Juli 2011 lalu. IHCS menggugat Freeport karena perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu tidak membayar royalti sebagaimana mestinya. Merujuk pada  KK yang diperpanjang tahun 1991, Freeport memang diwajibkan membayar royalti emas kepada Pemerintah Indonesia sebesar satu persen.

 

Namun, besaran itu tidak lagi sesuai dengan peraturan yang berlaku. IHCS menyebut PP No 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang menetapkan royalti emas sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonase. Angka ini, menurut IHCS, sebenarnya cukup rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Afrika.

 

Tapi, meski hanya satu persen, Freeport ternyata dituding tidak pernah membayar royalti emas. Selama 25 tahun, Freeport hanya membayar royalti tembaga kepada Pemerintah Indonesia. Awalnya, merujuk pada KK I tahun 1967, Freeport memang melaporkan hanya menambang tembaga. Padahal, terhitung sejak tahun 1978, Freeport ternyata juga mengekspor emas.

 

Karena tidak membayar royalti sebagaimana semestinya, IHCS sebagai warga negara merasa dirugikan. Pembayaran royalti itu seharusnya menjadi salah satu sumber PNBP yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

 

Lebih jauh, IHCS juga menilai KK Freeport sudah tidak lagi memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasalnya, KK jelas bertentangan dengan PP No 45 Tahun 2003, karenanya dapat dianggap batal demi hukum. 

 

Untuk itu, IHCS dalam gugatannya meminta agar Menteri ESDM, Freeport, dan Presiden merevisi KK tanggal 30 Desember 1991 agar sesuai dengan ketentuan PP No 45 Tahun 2003. Selain itu, IHCS juga meminta para tergugat secara tanggung renteng membayarkan AS$256,17 juta ke kas negara.

 

Atas gugatan IHCS ini, juru bicara Freeport Ramdani Sirait sempat menyatakan pihaknya tetap berkomitmen untuk mematuhi seluruh perjanjian dan  peraturan yang berlaku. Dia berkeyakinan KK antara Freeport dan Pemerintah Indonesia cukup adil dan merupakan KK yang lebih baik dibanding dengan negara-negara penghasil mineral lainnya.

 

Lebih dari itu, Ramdani berpendapat, selama empat dekade lebih beroperasi di Indoenesia, Freeport telah memberikan kontribusi lebih dari AS$12 miliar sesuai dengan kontrak yang diteken pada 1991. “Kontribusi tersebut terdiri dari pajak, dividen dan royalti untuk produksi tembaga, emas dan perak. Kami berharap masih ada beberapa dekade ke depan untuk kelanjutan kesuksesan,” pungkasnya.

Tags: