Mediasi di Persidangan, Pilihan Solusi yang Belum Menjadi Solusi
Konferensi ADHAPER 2018:

Mediasi di Persidangan, Pilihan Solusi yang Belum Menjadi Solusi

Mediasi sudah dikenal dalam HIR dan RBg. Namun hingga diatur dengan UU Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Perma tak kunjung alami perkembangan berarti.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Konferesi Nasional Hukum Acara Perdata di Jember, 10-12 Agustus 2018. Foto: Edwin
Konferesi Nasional Hukum Acara Perdata di Jember, 10-12 Agustus 2018. Foto: Edwin

Ibarat bunga layu sebelum berkembang, nampaknya itu yang terjadi pada mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di persidangan. Basuki Rekso Wibowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang juga menjabat Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbang Kumdil) Mahkamah Agung mengatakan bahwa data mediasi di persidangan yang berhasil secara nasional tidak sampai 4%. Mediasi yang diharapkan menjadi solusi alternatif ternyata sepi prestasi.

 

Hal ini dijelaskan Basuki kepada hukumonline di sela rangkaian Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata V yang diselenggarakan Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER) di Jember, Jawa Timur pada 10-12 Agustus lalu. Padahal menurut Basuki, upaya mediasi sudah dikenal dalam ketentuan perdamaian (dading) dalam Pasal 130 HIR. Ketentuan yang sama ditemukan dalam pasal 154 RBg. Pasal 130 HIR menegaskan jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya, akan mencoba memperdamaikan mereka. Pasal 154 RBg menegaskan Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya.

 

(Baca juga: Asosiasi Pengusaha Bentuk Pusat Arbitrase dan Mediasi)

 

Ketentuan perdamaian ini dirasakan tidak cukup jelas bagaimana pelaksanaannya. Sampai dengan diundangkannya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Alternatif Penyelesaian Sengketa), bentuk perdamaian dengan mediasi masih  belum memiliki kejelasan. Mediasi hanya dijelaskan sepintas dalam undang-undang tersebut. Mahkamah Agung lalu mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) disusul Peraturan Mahkamah Agung (Perma) soal mediasi. Yang terbaru dikeluarkan pada tahun 2016 lalu.

 

No.

Bentuk Pengaturan Mahkamah Agung tentang Mediasi

1

SEMA No.1 Tahun 202 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai

2

Perma No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

3

Perma No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

4

Perma No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

 

Sejak Perma No.1 Tahun 2003, melaksanakan mediasi ditegaskan sebagai kewajiban sebelum melanjutkan ke tahap litigasi dalam hukum acara perdata. Dalam Perma No.1 Tahun 2008 bahkan diatur akibat serius jika tidak menempuh mediasi terlebih dahulu berupa putusan batal demi hukum. Di Perma terbaru, putusan yang diajukan banding atau kasasi tanpa melewati mediasi akan dikembalikan ke pengadilan tingkat pertama untuk melakukan proses mediasi. Artinya, mediasi sejak lama telah terintegrasi sebagai bagian dari hukum acara perdata nasional.

 

(Baca juga: Mediasi, Cara ‘Seksi’ Tapi Jarang Dilirik Pihak Bersengketa)

 

Lantas apa yang membuat upaya perdamaian dengan mediasi di persidangan tak bekerja efektif sesuai harapan? Otto Hasibuan memberikan penjelasan ringkas di hadapan peserta konferensi berdasarkan pengalamannya sebagai advokat. “Selama pengadilan tidak lebih baik, mediasi akan selalu diragukan,” ujarnya.

 

Pandangan Otto berpijak pada asumsi bahwa masyarakat mau melakukan mediasi karena berharap win-win solution. Jika pengadilan memiliki reputasi tentang konsistensi dan ketegasan putusannya, pihak yang bersengketa akan memilih menghindari litigasi yang berujung menang-kalah. Faktanya, menurut Otto sudah menjadi hal yang umum diketahui bahwa masih ada mafia peradilan yang mampu mempengaruhi putusan hakim. Belum lagi mekanisme eksekusi putusan yang tak mudah.

 

Lain lagi yang diungkapkan Yaswirman. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas ini berpendapat upaya perdamaian sudah lama tidak memiliki daya tarik dalam peradilan karena nilai-nilai budaya musyawarah dan mufakat masyarakat Indonesia sudah luntur sejak masuknya model peradilan sistem kolonial. “Ketika hukum acara datang dari Barat cara-cara ini dikesampingkan. Apapun dibawa ke pengadilan. Padahal dulu musyawarah,” katanya kepada hukumonline.

 

(Baca juga: Catatan Kritis 5 Profesor Hukum Perdata tentang e-Court)

 

Dengan asumsi demikian, Yaswirman melihat perdamaian sudah tidak dianggap sebagai penyelesaian. Masyarakat memang datang ke pengadilan untuk mendapatkan putusan menang-kalah dari hakim. Ia membandingkan dengan keberhasilan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Jepang karena nilai budaya dan komunalisme yang terus terpelihara.

 

Pendapat Yaswirman ini sama dengan apa yang dijelaskan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Yohanes Sogar Simamora. Yohannes meyakini bahwa keberhasilan mediasi sangat terkait dengan budaya. Alasannya,  budaya hukum yang dipahami masyarakat dalam bersengketa selama ini tidak mau kalah sedikitpun. Namun ia tidak menampik kemungkinan ada peran advokat yang kurang memberikan nasehat hukum yang tepat pada kliennya. “Tidak siap kalah, setiap ada peluang upaya hukum dicoba terus. Disamping pengacaranya (pun) tidak mendukung (damai), berkepentingan perkara tetap lanjut,” ujarnya.

 

Pendapat Yaswirman dan Sogar ini dikuatkan penjelasan Basuki tentang pergeseran sistem nilai nenek moyang masyarakat Indonesia yang dahulu dikenal mengedepankan musyawarah mufakat menjadi suka berperkara. “Kearifan lokal yang suka musyawarah sudah bergeser, wakai (mekanisme mediasi-red.) di Jepang berhasil karena sistem nilai mereka terpelihara. Ini soal budaya,” jelasnya.

 

Meskipun begitu, Basuki menilai ada beberapa kemungkinan kendala teknis yang membuat mediasi di persidangan tidak berhasil. Pertama, bisa jadi mediator yang tersedia dari para hakim mediator tidak cukup piawai untuk mendamaikan para pihak.

 

Para pihak cenderung akan memilih hakim mediator yang tersedia gratis ketimbang jasa mediator profesional berbayar untuk melewati tahap mediasi di persidangan. “Dia harus punya softskill. Kemampuan teknis saja tidak cukup, harus punya kepaiawaian aspek psikologi, sosiologi budaya tentang pihak yang dimediasi,” ujar Basuki.

 

Kedua, sangat mungkin bahwa sengketa sudah diupayakan berdamai di luar pengadilan namun tidak berhasil. Sehingga saat datang ke pengadilan sudah berencana menempuh jalur litigasi.

 

Proses mediasi memang bisa juga dilakukan di luar persidangan. Namun selama belum dituangkan dalam Akta Perdamaian, perkara masih bisa diajukan sebagai gugatan ke pengadilan. Karena terhadap Akta Perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi.

 

Ketua Dewan Pembina Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH FHUI), Yoni Agus Setyono yang berpengalaman menangani perkara lebih dari 20 tahun melalui LKBH FHUI membenarkan pandangan Basuki. “Kalau sudah ke pengadilan berarti sudah coba mediasi. Kalau sudah litigasi berarti siap pasang badan,” kata Yoni kepada hukumonline di sela acara konferensi.

 

Berdasarkan pengalaman Yoni berpraktik memberikan bantuan hukum, gejala di masyarakat Indonesia adalah persoalan harga diri dalam menghadapi gugatan. Mereka memilih menyerahkan pada pengadilan yang memutuskan menang atau kalah. “Lu jual, gue beli,” ujarnya.

 

Kemungkinan terakhir yang dikemukakan Basuki bahwa mediasi gagal ketika para pihak diwakili oleh kuasanya. “Lawyer itu sebagan besar semangatnya litigator, bertarung sampai darah penghabisan,” kata Basuki lagi. Ia menjelaskan bahwa di Perma No.1 Tahun 2016 telah mengatur agar para pihak datang sendiri tanpa diwakili kuasanya. Harapannya mediator bisa mendengar langsung apa yang diinginkan para pihak. “Mereka merasakannya sendiri, mengutarakan apa adanya. Kalau lawyer kan beda pikirannya,” sambungnya.

 

Pada akhirnya Basuki yakin bahwa mediasi hanya akan berhasil jika sistem nilai sosial masyarakat kembali pada iktikad baik warisan kearifan lokal Indonesia. Sampai di sini, peran para pemangku kepentingan dibutuhkan untuk menyosialisasikan pada masyarakat bahwa ada jalan lain dalam menyelesaikan sengketa perdata. Apalagi Akta Perdamaian dari pengadilan juga memiliki kekuatan eksekutorial.

 

Menarik disimak petuah Yohanes Sogar Simamora saat ditanya hukumonline tentang langkah apa yang bisa diambil untuk mendorong kembali mediasi menjadi solusi penyelesaian sengketa, “Lebih penting lagi ada contoh teladan dari pemimpin. Kalau misalnya ada perselisihan segera diselesaikan dengan cara damai. Itu kanakan menular ke masyarakat, termasuk di bidang politik, bukan hanya acara perdata.

Tags:

Berita Terkait