MEA, Tantangan Menteri Tenaga Kerja Baru
Berita

MEA, Tantangan Menteri Tenaga Kerja Baru

Perlindungan pekerja Indonesia perlu mendapat perhatian.

ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: http://laborinstituteindonesia.org
Foto: http://laborinstituteindonesia.org
Siapa Menteri Tenaga Kerja baru di pemerintahan Jokowi-JK? Mungkin akan terjawab setelah 20 Oktober 2014, usai pemimpin baru Indonesia itu dilantik. Siapapun Menaker terpilih, pekerjaan sudah menyapa di depan mata.

Salah satu tantangan bagi Menaker baru adalah pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan dalam rangka Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Rezim perdagangan regional itu akan segera diberlakukan pada masa pemerintahan Jokowi-JK.

Direktur Eksekutif Labor Institute Indonesia, Rekson Silaban, mengatakan dari analisis ADB dan ILO, Indonesia negara yang paling dirugikan dari pelaksanaan MEA dibandingkan dengan 9 negara Asean lainnya. Penyebabnya, mayoritas pekerja Indonesia bukan tenaga kerja ahli. Jika terus dibiarkan, pasar kerja Indonesia akan dibanjiri tenaga kerja asing.

Skema MEA memungkinkan tenaga kerja asing datang dan mencari nafkah di Indonesia. Mulai dari perawat, insinyur, arsitek, tenaga survei, akuntan, pemandu wisata, hingga tenaga medis dan dokter gigi. Pasar makanan Indonesia juga akan terbuka bagi tenaga kerja asing.

Karena itu, Rekson berharap ada kebijakan Menteri Tenaga Kerja baru untuk melindungi pekerja Indonesia. “Menaker baru harus menggelar rapat darurat dengan berbagai kementerian. Bisa jadi akan dibuat regulasi untuk melindungi pekerja Indonesia yang rentan kehilangan pekerjaannya akibat kompetensi yang rendah,” katanya dalam diskusi yang digelar Labor Institute Indonesia di Jakarta, Kamis (2/10).

Selain itu Menaker baru menurut Rekson harus menggenjot upaya peningkatan daya saing pekerja Indonesia, meningkatkan mutu pendidikan dan keahlian. Pelatihan kerja harus diperbaiki agar sesuai dengan standar yang diakui di tingkat Asean sebagaimana tertuang dalam Mutual Recognition Agreement (MRA). Dengan begitu pekerja Indonesia yang sudah melakukan pelatihan mendapat sertifikasi sesuai standar tersebut. Jika pelatihan dan sertifikasi itu berjalan baik, maka dapat menekan jumlah pengangguran domestik. Sebab, tenaga kerja Indonesia terserap pasar kerja ASEAN.

Pelatihan itu bagi Rekson juga harus dilakukan oleh perusahaan skala menengah dan besar. Itu dibutuhkan untuk meningkatkan produktifitas, menarik investor dan hidup layak bagi pekerja. Dari data Bank Dunia di Jakarta, ia mencatat hanya 5 persen perusahaan yang melakukan pelatihan. Untuk itu perlu regulasi yang mewajibkan perusahaan memberikan pelatihan kepada pekerja.

Tak kalah penting, Rekson menegaskan Menaker baru harus memperkuat pengawasan ketenagakerjaan. Salah satunya dapat dilakukan dengan melibatkan serikat pekerja dalam melakukan pengawasan. Sebab ketika MEA bergulir, ia mensinyalir pekerja asing yang tidak mengantongi sertifikasi bakal membanjiri Indonesia.

Terakhir, Rekson berharap agar ASEAN membentuk Dewan Ketenagakerjaan ASEAN. Lembaga itu dibutuhkan sebagai penyeimbang MEA disektor ketenagakerjaan. Menurutnya, lembaga itu seperti European Works Council yang dibentuk Uni Eropa ketika menggulirkan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). “Jadi setiap kebijakan yang akan diterbitkan ASEAN bisa dirundingkan di lembaga itu. Agar kebijakan ketenagakerjaan yang diterbitkan memberi perlindungan kepada pekerja,” urainya.

Direktur ILO Jakarta, Peter Van Rooj, mengatakan secara umum MEA 2015 akan berpengaruh terhadap struktur perekonomian, pekerjaan, upah dan mobilitas pekerja. Namun, keuntungan ekonomi yang akan diperoleh dari MEA tidak bisa otomatis terdistribusi secara merata keseluruh masyarakat. Oleh karena itu peran pemerintah dibutuhkan untuk menerbitkan kebijakan yang tepat.

Van Rooj menilai Indonesia akan menghadapi tantangan yang besar dalam mendistribusikan keuntungan tersebut. Apalagi dalam dua dekade terakhir kesenjangan penghasilan di Indonesia cenderung meningkat. Kesenjangan itu juga terjadi antar provinsi dan daerah di Indonesia. “Untuk bisa memanfaatkan berlakunya MEA, pemerintah Indonesia harus menerbitkan kebijakan yang saling terkoordinir,” paparnya.

Ketika MEA berjalan, Van Rooj memprediksi akan ada 1,9 juta lapangan kerja baru. Pada 2025 diperkirakan meningkat menjadi 14 juta. Namun, pemerintah Indonesia harus memperhatikan relevansi antara pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan standar keterampilan tenaga kerja. Sehingga dapat memenuhi kebutuhan industri. ILO mencatat 70 persen pengusaha yang ada di Indonesia meyakini pekerja lulusan SMA tidak punya keterampilan kerja yang tepat.

Selaras dengan itu Van Rooj menyebut ILO mengimbau kepada pengusaha untuk berinvestasi guna meningkatkan keterampilan pekerja dan menjaga hubungan indsutrial yang harmonis. Menurutnya, selama ini pengusaha luput memperhatikan hal tersebut.
Tags:

Berita Terkait