Mayoritas Fraksi Ingin Perubahan UU ASN Tetap Dibahas
Berita

Mayoritas Fraksi Ingin Perubahan UU ASN Tetap Dibahas

Pemerintah diminta menjelaskan bagaimana grand design yang komprehensif terhadap pengelolaan dan masa depan ASN. Diantaranya, akan dihilangkannya eselon III dan IV, kebutuhan ideal ASN, kepastian status pegawai honorer untuk menjadi ASN di masa depan.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengatakan mayoritas fraksi di Komisi II DPR menginginkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dilanjutkan dan akan membentuk Panitia Kerja (Panja) tentang revisi UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Menurut dia, langkah itu akan tetap diambil Komisi II DPR RI meskipun dalam pandangan pemerintah terkesan menolak RUU ASN yang menjadi inisiatif usulan DPR.

"Komisi II DPR berpendapat pembahasan mengenai revisi UU ASN ini perlu dilanjutkan dan meminta kepada pemerintah untuk menjelaskan grand design yang komprehensif tentang tata kelola mengenai ASN secara menyeluruh, masif, dan terstruktur," kata Guspardi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (19/1/2021) seperti dikutip Antara.

Hal ini disampaikan Guspardi saat Rapat Kerja (Raker) Komisi II DPR RI dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/1/2021) kemarin.

Raker tersebut dilaksanakan dengan agenda mendengarkan penjelasan Komisi II DPR sebagai pengusul RUU ASN dan pendapat pemerintah tentang perubahan atas UU No 5 tahun 2014 tentang ASN. (Baca Juga: Ada Keraguan Pemerintah atas Sejumlah Poin Perubahan UU ASN)

Guspardi meminta pemerintah menjelaskan bagaimana grand design yang komprehensif terhadap pengelolaan dan masa depan ASN. Salah satunya, menurut dia adalah akan dihilangkannya eselon III dan IV yang menjadi bagian dari grand design sebagaimana yang disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam menata ASN.

"Namun yang lebih penting adalah harus ada sikap keberanian pemerintah tentang masa depan ASN. Sekarang ini pemerintah 'terkesan takut' soal masa depan ASN, padahal pemerintah bertanggung jawab membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya," ujarnya.

Dia menilai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah membuka lapangan pekerjaan adalah dengan merekrut masyarakat usia produktif, cakap, berkompeten, dan memenuhi kualifikasi untuk di terima sebagai ASN. Menurut dia, dalam raker sebelumnya, pemerintah pernah menyampaikan saat ini ada sekitar 4,2 juta ASN. Saat dirinya masih berstatus PNS, jumlahnya sekitar 5 juta, itu artinya sudah ada penyusutan 800 ribu orang.

Karena itu, menurut dia pemerintah perlu menjelaskan keinginannya terkait berapa jumlah ideal ASN agar para generasi muda dan lulusan perguruan tinggi untuk siap-siap tidak menatap dan menjadikan ASN sebagai harapan dan target masa depan untuk berkarier. "Karena setiap tahun lulusan perguruan tinggi sangat banyak yang menggantungkan harapannya menjadi ASN. Bagaimana hal ini disikapi pemerintah dengan serius?”

Menurut dia, pemerintah sebaiknya segera menyelesaikan terkait masa depan tenaga honorer karena merupakan janji pemerintah yang masih terbengkalai dan belum ada kejelasan yang pasti. Politisi PAN itu menjelaskan, Pemerintah pernah menjanjikan bahwa tenaga honorer diangkat sebagai ASN secara otomatis, namun belum terlaksana karena kenyataannya masih harus melalui seleksi.

"Persoalan pengangkatan tenaga honorer ini harus segera diselesaikan pemerintah dan menjadi bagian dari grand design penataan ASN," sarannya.

Sebelumnya, dalam Raker bersama Komisi II DPR, Menteri Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo menguraikan alasannya enggan memberi persetujuan terhadap revisi UU ASN. Misalnya, DPR dalam usulan revisi setidaknya terdapat lima poin. Diantaranya, pertama, penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yakni pengalihan fungsi, tugas, dan kewenangan pengawasan sistem merit dari KASN ke Kemenpan-RB.

Pemerintah berpandangan, KASN sebagai lembaga netral dan independen mengawal dan mengawasi pelaksanaan sistem merit manajemen ASN; penegakan kode etik dan kode perilaku yang mandiri dan bebas dari intervensi politik. Penghapusan KASN bagi pemerintah, malah dapat mengganggu konstruksi keseluruhan ASN dalam upaya mewujudkan sistem merit manajemen ASN yang dapat berakibat terjadinya intervensi politik.  

Sistem merit dalam Pasal 1 angka 22 UU 5/2014 adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan.

Langkah strategis dan prioritas yang perlu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan pengawasan sistem merit manajemen ASN dengan memberikan penguatan fungsi dan peran KASN. “Seperti, melakukan evaluasi sistem merit dikaitkan dengan dan dinamika organisasi serta dampak anggarannya. Kemudian melakukan evaluasi kinerja KASN,” ujar Tjahjo dalam rapat kerja dengan Komisi II di Komplek Gedung Parlemen, Senin (18/1/2021) kemarin. (Baca Juga: Persetujuan Dengan Catatan, Ini Daftar RUU Prolegnas Prioritas 2021)  

Kedua, penetapan kebutuhan ASN disertai dengan jadwal pengadaan jumlah dan jenis, jabatan yang dibutuhkan, serta kriteria untuk masing-masing jabatan yang menjadi dasar diadakannya pengadaan. Kemudian, bila kebutuhan pegawai negeri sipil (PNS) belum ditetapkan, maka pengadaan PNS dihentikan.

Menurut Tjahjo, pemerintah berpandangan, usulan DPR telah ditetapkan dalam pengaturan teknis dari UU 5/2014, sehingga tak lagi perlu diatur dalam UU melalui revisi UU ASN ini.  Menurutnya, setiap instansi pemerintah bakal menunda pengadaan calon PNS bila tidak melengkapi kriteria yang dipersyaratkan. Bahkan secara nasional pengadaan rekrutmen calon PNS dapat ditunda karena kondisi tertentu.

Ketiga, pengangkatan tenaga honorer, pegawai tidak tetap dan tenaga kontrak yang bekerja terus-menerus dan diangkat berdasarkan surat keputusan yang diterbitkan hingga 15 Januari 2014 menjadi PNS secara langsung. Menurut Tjahjo, penerimaan PNS dan PPPK mesti dilaksanakan sesuai penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan instansi pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan. Pengangkatan secara langsung menghilangkan kesempatan putra putri terbak bangsa menjadi bagian dari pemerintah, karena tertutupnya peluang diangkatnya tenaga honorer tanpa seleksi.

Bagi Tjahjo, pemerintah dalam kurun waktu 2005-2014 telah melakukan seleksi terhadap tenaga honorer eks tenaga honorer kategori (THK) III serta mengangkat 1.070.092 tenaga honorer yang dinyatakan lulus seleksi 24,7 persen dari total PNS. Periode 2018, tenaga honorer eks THK III yang memenuhi syarat dapat mengikuti seleksi calon PNS dengan formasi khusus dan lulus 6.811 orang. Sedangkan periode 2019 yang dilakukan seleksi PPPK, terutama tenaga honorer eks THK III yang memenuhi syarat dan dinyatakan lulus 51.293 orang.

“Dengan tidak mengubah UU 5/2014, pemerintah telah mendapat solusi dalam mengatasi permasalahan tenaga honorer dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan terkait, dengan tetap merekrut tenaga guru yang kebutuhannya diperkirakan mencapai 1 juta, termasuk 34.954 yang telah direkrut,” kata dia.

Terhadap berbagai alasan tersebut, kata Tjahjo, pemerintah memandang masih belum perlu melakukan perubahan terhadap UU 5/2014 tentang ASN. Sebaliknya, UU 5/2014 bagi pemerintah masih sangat diperlukan untuk mendukung upaya pemerintah dalam reformasi birokrasi, khususnya mendorong peningkatan kualitas birokrasi dalam rangka mewujudkan Indonesia maju.

Pertimbangan lain, kata dia, pelaksanaan UU 5/2014 mulai memberi hasil positif pelaksanaan sistem merit yang masih diperlukan untuk meningkatkan kualitas birokrasi pemerintah dalam menghadapi kompetisi tingkat regional maupun global. Pemerintah pun, kata Tjahjo, sedang menyusun grand manajemen ASN menghadapi desain tatanan kenormalan baru dalam kerangka sistem merit.

Tags:

Berita Terkait