Mayo Falmonti: Konsultan HKI Jelajahi Panggung Musik Internasional
Berita

Mayo Falmonti: Konsultan HKI Jelajahi Panggung Musik Internasional

Lebih diterima pasar luar negeri, ketimbang dalam negeri.

RIA
Bacaan 2 Menit
Mayo Falmonti (ketiga dari kanan) bersama personel Protocol Afro. Foto: http://protocolafro.com
Mayo Falmonti (ketiga dari kanan) bersama personel Protocol Afro. Foto: http://protocolafro.com

Berawal dari mimpi masa remaja, Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Mayo Falmonti berhasil mencicipi panggung musik dari satu negara ke negara lain. Bersama bandnya, Protocol Afro, Mayo baru-baru ini bahkan merilis album di Negeri Matahari Terbit, Jepang.

“Jadi dari SMP itu, sebelum nge-band dan masih awal-awal belajar musik, sama gitaris gue (di band Protocol Afro, red), dia itu pernah ngomong sambil main PS (playstation). ‘someday kita akan touring nih main di luar negeri’,” ujar Mayo saat dihubungi hukumonline, Senin (15/6).

Tak menyangka, omongan tersebut akhirnya bisa menjadi kenyataan yang membawa Mayo dan personel Protocol Afro lainnya terkenal di kancah musik internasional. “Ngomongnya SMP, kejadiannya berapa belas tahun kemudian,” imbuhnya.

Protocol Afro, sebuah band yang mereka sebut beraliran inkonsisten pop – musik bergenre apapun yang dibuat sepopuler mungkin, berdiri sejak tahun 2007.

Mayo bercerita, kala itu semasa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), dirinya bersama para personel Protocol Afro yang kebanyakan mahasiswa UI, berniat mengikuti festival musik di Fakultas Ilmu Budaya UI, namun gagal. Kisah berlanjut, dan setelah empat tahun berdiri Protocol Afro berhasil menghasilkan satu mini album sendiri.

“Jadi itu, 2007-2010, beberapa personel ada yang kerja di luar kota, akhirnya pending-pending (tertunda, red) lah itu status band. Aku sendiri juga kan kerja di luar kota, di sebuah BUMN tadinya. Terus akhirnya, ya sudah pas semua sudah kembali ke Jakarta, baru rilis album berjudul Protocol Afro setelah kita manggung di Singapura,” tutur Mayo.

Awalnya, diakui Mayo, musik Protocol Afro lebih bisa diterima oleh pasar luar negeri, ketimbang dalam negeri. Makanya, Protocol Afro memutuskan untuk mencoba pasar luar negeri, dan berhasil.

“Sampai akhirnya bisa dirilis di Jepang, intinya sih aku yang juga bertugas sebagai manajer untuk Protocol Afro, rajin-rajin korespondensilah ke beberapa pihak di luar negeri. Nah, satu label Jepang ada yang interest (tertarik),” ungkapnya.

Dalam perjalanannya, Protocol Afro mulai diterima oleh pasar Indonesia. Buktinya, undangan manggung di dalam negeri mulai berdatangan. Protocol Afro lalu merilis album The Youth di Jakarta pada tahun 2014. Padahal, album yang satu ini awalnya akan dipasarkan ketika mereka manggung di Hanoi, Vietnam.

Lawyer, Konsultan, Musisi
Bicara tentang perjalanan karier, pasca lulus dari FHUI tahun 2007, Mayo sempat beberapa kali pindah dari satu kantor ke kantor lain. Kini, selain Konsultan HKI mandiri, ia juga merupakan associates pada AAP Law Office. Selain itu, Mayo juga memiliki satu usaha rekaman bernama Indische Partij Records.

Ditanya apakah pernah bentrok antara tugas profesi dengan jadwal Protocol Afro, Mayo yang berhasil merampungkan studi S-2 pada tahun 2014 menjawab, “sampai saat ini untungnya belum ya.”

Mayo sendiri mengatakan tidak dapat memilih antara profesi advokat dan konsultan, atau terus bermain musik bersama Protocol Afro. Dia berhasrat menjalani semua itu bersamaan.

“Karena Protocol Afro ini profesional, setiap personel ada cadangannya. Enam orang personel ini juga profesional semua sih. Ada yang announcer CNN, terus ada satu pekerja di pasar modal, satu lagi motion graphic designer, satu anak agency, satu lagi founder start up gitu, saya sendiri kan lawyer,” kata Mayo.

Jadi, menurut Mayo, pada akhirnya semua kembali pada prioritas ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan. Kalau saat jadwal bentrok, cadangan akan siap menggantikannya untuk posisi bassist Protocol Afro. Mayo menyebutkan, ia juga banyak belajar dari senior FHUI lain yaitu Fajar Satritama yang dikenal sebagai drummer band rock EDANE.

Memiliki latar belakang hukum, menurut Mayo, memberi satu nilai lebih dalam mengembangkan Protocol Afro. “Kadang-kadang orang kan kalau kontrak asal tandatangan aja. Kalau kita kan bisa ngecek. Kita tahulah konsekuensinya sebagai anak hukum kalau yang begini-begini ya konsekuensinya ini,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait