May Day 2023, YLBHI Minta UU Cipta Kerja Dibatalkan
Terbaru

May Day 2023, YLBHI Minta UU Cipta Kerja Dibatalkan

UU Cipta Kerja dinilai semakin memperparah dan membuat kondisi buruh semakin sulit.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Selanjutnya pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil sebanyak (14 pelanggaran), hak untuk mendapatkan upah yang adil (13 pelanggaran), hak standar hidup yang layak (12 pelanggaran), hak untuk mendapatkan pemberitahuan lebih awal tentang PHK (10 pelanggaran) dan hak untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai (10 pelanggaran).

“Secara garis besar, kami menilai pola penindasan terhadap buruh tidak memiliki perbedaan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya,  YLBHI memproyeksikan kondisi di atas akan diperparah dengan terbitnya UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu tentang Cipta Kerja menjadi UU,” ujarnya.

Isnur berpendapat UU 6/2023 memuat sejumlah pasal yang memangkas jaminan hak-hak buruh dalam berbagai aspek. Fleksibilitas pasar kerja (labour market flexibility) menjadi nafas pembentukan substansi UU ini setidaknya dalam 3 hal. Pertama, UU Cipta Kerja semakin melegalkan praktik fleksibilitas hubungan kerja. Konsep ini semakin tak melindungi buruh dengan kontrak kerja atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bertambah masa toleransi dari 3 tahun menjadi 5 tahun.

Selain itu UU 6/2023 mendorong praktik outsourcing (alih daya) semakin liar dan tidak terkontrol, serta memutihkan ‘dosa’ dengan hilangnya peraturan untuk beralih menjadi hubungan kerjapada perusahaan user jika melanggar. Penambahan alasan Pemutusan Kerja (PHK) dan pengurangan kompensasi PHK menjadi alasan yang memudahkan Perusahaan melakukan PHK kepada Buruh. Sehingga kepastian kerja dan hak terhadap buruh menjadi minim.

Kedua, UU 6/2023 melegalkan praktik fleksibilitas waktu kerja. Yakni pengusaha dapat memperpanjang waktu kerja buruh dan mengurangi hak istirahat buruh, hal ini dapat terlihat dalam batasan maksimal waktu lembur semula maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. Selain itu, tidak ada jangka waktu serta mekanisme perpanjangan kontrak kerja, sehingga aturan ini berpotensi dijadikan alasan bagi pengusaha untuk menjadikan buruh sebagai pekerja berstatus kontrak seumur hidup.

Ketiga, UU 6/2023 melegalkan praktik fleksibilitas upah, aturan ini dapat terlihat dalam aturan tentang penentuan besaran upah yang dimonopoli oleh pemerintah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tanpa melibatkan serikat buruh dalam penentuan upah. Selain ketiga hal itu Isnur melihat jaminan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat terhadap buruh semakin dikebiri melalui Pasal 273 UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat aturan tentang ancaman pidana demonstrasi.

“Aturan ini akan melemahkan posisi tawar serikat buruh yang menjadikan demonstrasi sebagai metode perjuangan buruh,” urainya.

Isnur menilai, UU 6/2023 merupakan bentuk nyata pemerintah dan DPR mengutamakan kepentingan oligarki ketimbang buruh. Keberpihakan itu juga terlihat dari lambatnya proses legislasi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Berbagai kebijakan itu bertentangan dengan TAP MPR No.16 Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi yang mewajibkan negara menempatkan buruh sebagai subjek utama dalam membangun demokrasi ekonomi.

Memperingati May Day 2023 YLBHI mendesak Presiden dan DPR membatalkan UU 6/2023 karena bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi dan HAM. Pemerintah dan DPR pun didesak agar segera mengesahkan RUU tengang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), serta menjalankan mandat reformasi. Antara lain demokrasi ekonomi dengan melakukan audit, mengubah dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan yang bertentangan prinsip demokrasi ekonomi.

Tags:

Berita Terkait