Mau Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial? Ini Saran Praktisi Hukum
Utama

Mau Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial? Ini Saran Praktisi Hukum

​​​​​​​Utamakan mekanisme bipartit dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Praktisi hukum hubungan industrial sekaligus mantan hakim ad hoc PHI Jakarta, Juanda Pangaribuan. Foto: RES
Praktisi hukum hubungan industrial sekaligus mantan hakim ad hoc PHI Jakarta, Juanda Pangaribuan. Foto: RES

Tidak selamanya hubungan antara pemberi kerja dan pekerja berjalan mulus. Ada kalanya kedua pihak berselisih terkait suatu hal. Sejumlah peraturan mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, salah satunya UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

 

Beleid itu mengatur 3 mekanisme yang bisa digunakan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan. Pertama, melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika salah satu pihak menolak berunding atau telah dilakukan perundingan tapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.

 

Kedua, setelah perundingan bipartit gagal, salah satu pihak bisa melanjutnya upaya penyelesaian ke dinas ketenagakerjaan melalui mekanisme mediasi atau konsiliasi. Selain itu bisa juga para pihak menggunakan arbitrase. Ketiga, dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

 

Praktisi hukum hubungan industrial sekaligus mantan hakim ad hoc PHI Jakarta, Juanda Pangaribuan, mencatat ada sejumlah hal penting yang harus diperhatikan para pihak dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Antara lain, para pihak harus memperhatikan kedudukan dan posisi hukum masing-masing. Misalnya, bagi pekerja apakah perbuatan yang telah dilakukannya melanggar peraturan perundang-undangan, Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Begitu pula dengan pihak pengusaha.

 

Setelah itu, pihak pekerja harus membuktikan dasar tuntutannya yang diajukan dalam rangka penyelesaian perselisihan. Pengusaha juga perlu menyiapkan dokumen yang dibutuhkan jika menolak apa yang dituntut pihak pekerja. 

 

Hal paling penting yang ditekankan Juanda untuk para pihak yakni adanya iktikad baik untuk menyelesaikan perselisihan. Misalnya, para pihak aktif melakukan mekanisme bipartit. Ketika masuk tahap mediasi atau sampai pengadilan, para pihak bisa menunjukan iktikad baik itu dengan cara memenuhi undangan dari pihak terkait seperti mediator atau pengadilan.

 

Menurut Juanda, penting bagi para pihak untuk memenuhi undangan tersebut karena itu merupakan ajang untuk memberikan jawaban, bantahan, dan dalil yang bisa menguatkan atau menolak tuntutan masing-masing pihak. Jika sudah masuk pengadilan, para pihak harus menyiapkan dokumen yang akan digunakan sebagai bukti. Pembuktian yang lazim digunakan di PHI seperti surat perjanjian kerja, PP atau PKB serta surat lainnya yang berkaitan dengan perselisihan.

 

Baca:

 

Dari semua mekanisme yang tersedia untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, Juanda mengatakan akan lebih baik jika persoalan bisa selesai di tingkat bipartit. Bipartit merupakan forum otonom yang ada di lingkungan perusahaan. Penyelesaian perselisihan ini juga berbiaya murah, cepat, dan kerahasiaan terjaga.

 

“Semakin perselisihan ini terekspose keluar, maka akan merugikan karena pihak lain jadi mengetahui perkara perselisihan yang terjadi,” kata Juanda di sela pelatihan yang digelar Hukumonline.com bertajuk Teknik Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial & Metode Penyusunan Berkas Perkara di Pengadilan Hubungan Industrial (Angkatan ke VI) di Jakarta, Selasa (30/10).

 

Tapi mekanisme bipartit itu menurut Juanda jadi tidak produktif jika masing-masing pihak tetap bersikukuh pada pendiriannya. Jika ini yang terjadi, perkara bisa berujung ke PHI. Risikonya, para pihak harus sabar menunggu hasilnya dan merogoh kocek dalam karena proses ini biayanya tidak murah. Selain itu khalayak umum akan mengetahui perkara perselisihan ini.

 

Juanda menegaskan kesepakatan bipartit yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama (PB) yang didaftarkan ke PHI punya kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Jika pengusaha tidak menunaikan kewajiban yang tertuang dalam PB misalnya membayar pesangon, pekerja hanya perlu mengajukan eksekusi ke PHI. “Ini memperpendek waktu penyelesaian perselisihan ketimbang perkara diproses di pengadilan,” tukasnya.

 

Sebelumnya, dalam Simposium Hukum Ketenagakerjaan pada akhir Juli lalu mengusung dua isu penting, yakni berkaitan dengan pokok-pokok pikiran PHI dan terkait kurikulum ketenagakerjaan yang diajarkan perguruan tinggi. Terkait pokok-pokok pikiran PHI, Ketua Umum Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan (P3HKI) Asri Wijayanti melihat ada sejumlah kelemahan konseptual dalam UU PPHI. (Baca: Kesalahan-Kesalahan Konseptual dalam Pengadilan Hubungan Industrial)

 

Penyelesaian perselidihan hubungan industrial yang selama ini dijalankan sangat menekankan pada hukum perdata, padahal ada aspek hukum public yang tidak bisa diabaikan dalam masalah perburuhan. Konsep mediasi dalam penyelesaian hubungan industrial di bawah rezim UU PPHI juga perlu dikritisi. Korelasi konseptual undang-undang ini dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga dibahas dalam simposium.

Tags:

Berita Terkait