Mau Jadi Sarjana Hukum? Kenali 2 Pilihan Tugas Akhir Selain Skripsi
Utama

Mau Jadi Sarjana Hukum? Kenali 2 Pilihan Tugas Akhir Selain Skripsi

Sudah ada sejak tahun 1993. Namun, penyajiannya di kampus hukum diserahkan pada kebijakan resmi Rektor dan Dekan. Tidak semua kampus hukum menyediakan pilihan selain skripsi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Tahukah kamu bahwa ada tiga jenis tugas akhir karya tulis bagi mahasiswa sarjana hukum di Indonesia? Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Iman Prihandono mengkonfirmasi bahwa skripsi bukan satu-satunya dan bahkan sebenarnya tidak menjadi kewajiban mutlak untuk meraih gelar sarjana hukum.

“Soal skripsi, tidak ada kewajiban mutlak dari Kemendikbud-Ristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, red) harus pakai skripsi. Diserahkan kepada tiap fakultas hukum, kebijakan tiap kampus berbeda,” kata Sekretaris Badan Kerja Sama Fakultas Hukum (BKS-FH) Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia ini kepada Hukumonline.

Ia juga menjelaskan bahkan mungkin saja bagi fakultas hukum tidak menggunakan tugas akhir karya tulis untuk syarat kelulusan sarjana. “Tugas akhir karya tulis itu sebagai alat ukur capaian pembelajaran. Asalkan kampus bisa membuktikan alat ukur apa yang relevan dengan capaian pembelajaran program studinya, bisa saja,” kata Dosen Hukum Internasional ini.

Iman membandingkan dengan studi hukum di luar negeri yang meluluskan mahasiswa hukum lulus tanpa tugas akhir wajib berupa karya tulis. Para mahasiswa di sana dianggap teruji keterampilan menulis ilmiahnya dengan sejumlah tugas makalah terstruktur di setiap mata kuliah. Namun, ia mengaku kemampuan penulisan hukum sangat dibutuhkan sarjana hukum.

“Kemampuan menulis diperlukan bagi yuris, karena berargumen dalam tulisan secara teratur pasti akan mereka lakukan di dalam atau di luar pengadilan. Intinya itu,” katanya.

Baca Juga:

Penelusuran Hukumonline menemukan bahwa kampus hukum Indonesia mengenal tiga jenis tugas akhir karya tulis bagi mahasiswa sarjana hukum sejak tahun 1993. Merujuk buku berjudul Mahir Menulis Legal Memorandum dan buku Mahir Menulis Studi Kasus Hukum, Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 17/D/O/1993 tentang Kurikulum yang Berlaku secara Nasional Pendidikan Tinggi Program Sarjana Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum menjadi asal mula secara resmi.

Surat bertanggal 24 Februari 1993 itu mengakui ada tiga jenis tugas penulisan hukum (legal writing)yang bisa dipilih mahasiswa hukum Indonesia. Tiga jenis itu adalah skripsi, memorandum hukum, dan studi kasus hukum. Namun, penyajiannya di kampus hukum diserahkan pada kebijakan resmi Rektor dan Dekan. 

“Di Universitas Airlangga hanya memberi pilihan skripsi. Dulu pernah ada pilihan legal memorandum, tapi sejak saya mulai kuliah sarjana sampai sekarang sudah kembali skripsi saja,” katanya.

Berikut ini penjelasan ringkas soal memorandum hukum dan studi kasus hukum yang Hukumonline himpun dari berbagai sumber.

1. Memorandum Hukum

Penulisan hukum jenis ini memiliki format yang sama dengan opini hukum (legal opinion) yang biasa dibuat advokat untuk klien. Keduanya sama-sama berujung pada nasihat hukum bagi pihak pembaca yang butuh pemecahan masalah hukum. Namun, sasaran pembaca memorandum hukum adalah sesama yuris atau ahli hukum. Isinya biasa menggunakan bahasa teknis bidang hukum, berbeda dengan opini hukum yang dibuat lebih mudah dipahami oleh klien umum. Keterampilan menulis memorandum hukum secara spesifik memang diarahkan sebagai bekal sarjana hukum yang akan berprofesi advokat.

Bagian pokok memorandum hukum antara lain kasus posisi, perumusan masalah hukum, jawaban dengan dugaan sementara, penelusuran terhadap bahan-bahan hukum yang relevan, analisis fakta-fakta hukum terhadap sumber hukum, dan pendapat hukum sebagai kesimpulan akhir.

2. Studi Kasus Hukum

Penulisan studi kasus hukum memiliki format yang sama dengan anotasi atau eksaminasi terhadap putusan pengadilan. Objek penulisannya sudah pasti terhadap produk putusan baik yang sudah berkekuatan hukum tetap atau belum. Sasaran studi kasus hukum adalah mengevaluasi produk putusan pengadilan. Caranya dengan rekonstruksi ulang penalaran atau argumentasi hukum di dalam putusan.

Urgensi studi kasus hukum adalah mengungkap pemaknaan yang diberikan hakim dalam menyusun putusan serta dampaknya terhadap putusan yang dijatuhkan. Ada tiga bagian pokok dalam studi kasus hukum. Pertama, kesesuaian putusan dengan hukum positif. Kedua, penerapan ilmu pengetahuan yang digali selama persidangan dalam penegakan hukum. Ketiga, analisis terhadap proses pembuktian. Studi kasus hukum akan mengungkap apakah putusan sudah memenuhi upaya pencapaian keadilan substantif dan prosedural sekaligus.

Nah, apakah kampusmu menyediakan pilihan memorandum hukum dan studi kasus hukum selain skripsi?

Tags:

Berita Terkait