Materi Permohonan Dikritisi, Tim Hukum Prabowo: Alhamdulillah Bermanfaat
Sengketa Pilpres 2019:

Materi Permohonan Dikritisi, Tim Hukum Prabowo: Alhamdulillah Bermanfaat

Untuk mencapai tuntutan diskualifikasi hasil Pilpres 2019 perlu proses panjang. Tuntutan yang paling memungkinkan untuk cepat dikabulkan MK adalah meminta KPU menyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU).

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Tim kuasa hukum Prabowo-Sandi saat pendaftaran permohonan sengketa Pilpres 2019, Jum'at (24/5) malam. Foto: RES
Tim kuasa hukum Prabowo-Sandi saat pendaftaran permohonan sengketa Pilpres 2019, Jum'at (24/5) malam. Foto: RES

Tim hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno telah mendaftarkan permohonan sengketa pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (24/5/2019) kemarin. Pasca pendaftaran itu beredar materi permohonan yang ditandatangani delapan nama kuasa hukum pasangan capres cawapres nomor urut 02 itu.

 

Mereka adalah Zulfadli, Dorel Almir, Iskandar Sonhadji, Iwan Satriawan, TM Lutfhi Yazid, Teuku Nasrullah, Denny Indrayana, dan Bambang Widjojanto selaku ketua tim kuasa hukum. Namun, sejumlah materi permohonan sengketa Pilpres 2019 ini menjadi perhatian atau sorotan publik termasuk kuasa hukum pasangan capres cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin. Misalnya, dari 51 bukti-bukti yang diajukan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi ini sebagian besar bersumber dari link berita sejumlah media online.

 

Hal lain yang dinilainya tidak lazim yakni petitum (tuntutan) permohonan yang meminta agar mendiskualifikasi pasangan capres cawapres nomor urut 1 Jokowi-Ma’ruf karena terbukti melakukan pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dan memerintahkan KPU menetapkan paslon nomor urut 02 sebagai pemenang. Tim hukum pasangan Jokowi-Ma'ruf menilai kewenangan MK dalam sengketa pemilu hanya sebatas perselisihan hasil pemilu (PHPU), bukan tuntutan mendiskualifikasi atau menyatakan pemenang pemilu.

 

Alasan dalam posita permohonan, tim kuasa hukum Prabowo-Sandi merujuk pada putusan MK terhadap sengketa hasil pemilu kepala daerah Kota Waringin Barat pada 7 Juli 2010. Saat itu, MK pernah mendiskualifikasi pasangan calon bupati Kota Waringin Barat terpilih Sugianto Sabran-Eko Sumarno (1) dan memerintahkan KPUD Kota Waringin Barat menetapkan pasangan Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto (2) sebagai pemenang.

 

Alasan Mahkamah saat itu, pasangan Sugianto-Eko dinilai terbukti melakukan pelanggaran sangat serius yang menciderai demokrasi dan prinsip-prinsip Pemilu. Diantaranya, money politic dan pengerahan relawan sebanyak 62 persen total jumlah pemilih yang dilakukan pasangan Sugianto-Eko. Putusan ini memang tak lazim, kalau MK membatalkan keputusan KPUD, biasanya hanya diikuti perintah penghitungan ulang atau pemilihan/pemungutan suara ulang dalam putusannya.

 

Menanggapi hal ini, salah satu tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, Denny Indrayana menyampaikan rasa syukur karena materi permohonannya banyak yang mengkritisi. “Alhamdulillah, artinya banyak yang mengkritisi, banyak yang sayang dan memperhatikan,” kata Denny saat dihubungi, Selasa (28/5/2019) malam.

 

Menurutnya, berbagai kritikan dan masukan mengenai permohonan sengketa pilpres yang diajukan pasangan Prabowo-Sandi ini menjadi bermanfaat. “Insya Allah, akan ada manfaatnya buat kami. Kami ucapkan, terima kasih,” ujar mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM ini.    

 

Secara substansi, Denny enggan mengomentari mengenai kritikan materi permohonan. “Nanti (materinya) tunggu saja dalam persidangan di MK,” katanya. Baca Juga: Tim Hukum Prabowo-Sandi Ingatkan MK Asas Pemilu Jurdil

 

Diskualifikasi sulit dikabulkan

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai tuntutan Prabowo Subianto agar MK mendiskualifikasi hasil rekapitulasi Pilpres 2019 tidak akan serta merta (otomatis) dikabulkan begitu saja. Persidangan di MK lebih menekankan pada pembuktian adanya dugaan kecurangan yang terjadi selama proses pemilu. “Menurut saya itu tidak akan bisa langsung ke sana, seperti permohonan mereka bahwa langsung diskualifikasi atau dibatalkan,” kata Hadar kepada Antara di Jakarta, Selasa.

 

Menurutnya, untuk mencapai tuntutan diskualifikasi hasil Pilpres 2019 perlu proses panjang. Pengabulan tuntutan yang paling memungkinkan untuk cepat dilakukan MK adalah meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar pemungutan suara ulang (PSU). Apabila pemohon memiliki bukti kuat dan faktual memang ada kecurangan selama tahapan pemilu, MK bisa memutuskan PSU di daerah yang terbukti terjadi kecurangan tersebut.

 

“Kalau memang majelis hakim meyakini terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif serta meyakini bahwa kecurangan itu mempengaruhi (perolehan suara) disana, maka di daerah-daerah itu akan dilakukan PSU,” kata mantan Plt Ketua KPU RI itu.

 

Sebelumnya, Tim Kuasa Hukum BPN telah menyerahkan 51 bukti dugaan kecurangan dalam sengketa Pilpres 2019 ke Gedung MK pada Jumat malam (24/5). Dari 51 bukti dugaan kecurangan pemilu tersebut, antara lain berupa tautan berita di sejumlah media massa. Sejumlah bukti berupa tautan berita di media massa tersebut, menurut Hadar, tidak cukup untuk dijadikan alat pembuktian selama proses persidangan PHPU.

 

Tim Hukum BPN harus dapat menyediakan bukti faktual yang dapat menunjukkan dugaan kecurangan pemilu terjadi. "Misalnya, kalau mereka menduga ASN curang atau terlibat, ya itu harus ditunjukkan betul siapa, gubernur, bupati atau pejabat daerah mana. Kemudian harus ada dokumen yang misalnya mengatakan bahwa ASN itu mengharuskan pemilih mencoblos paslon presiden tertentu," kata peneliti senior Netgrit tersebut.

 

Selain dokumen yang menunjukkan kecurangan, bukti berupa video, rekaman suara atau gambar juga dapat menunjang alat bukti permohonan dalam sidang PHPU di MK. "Jadi tidak cukup hanya karena diberitakan di satu koran atau media online atau televisi bahwa ada gubernur yang mengarahkan seluruh bawahannya dari berita itu tidak cukup," katanya.

 

Seperti diketahui, objek permohonan sengketa PHPU Pilpres adalah Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 987/PL.01.8-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Serta DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilu 2019. SK itu ditetapkan pada Selasa, 21 Mei 2019 pukul 01.46 WIB.

 

Dalam SK itu, KPU telah menetapkan rekapitulasi perolehan suara Pilpres 2019 dari 34 provinsi dan 130 PPLN. Hasilnya, pasangan 01 Jokowi-Ma'ruf Amin memperoleh 85.607.362 suara (55,50 persen). Sementara pasangan 02 Prabowo-Sandiaga memperoleh 68.650.239 suara (44,50 persen) dari total suara sah Pilpres 2019 sebanyak 154.257.601 suara. 

 

Hasil rekapitulasi KPU itu, pasangan Jokowi-Ma’tuf Amin menang di 21 provinsi. Ke-21 provinsi adalah Gorontalo, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Bali, Sulawesi Barat, Yogyakarta, Kalimantan Timur, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, NTT, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Papua Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Maluku, dan Papua.

 

Sedangkan 13 provinsi lain yang dikuasai Prabowo-Sandi, yakni Bengkulu, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Banten, Aceh, NTB, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Riau.

Tags:

Berita Terkait