Indonesia telah ditetapkan sebagai tuan rumah pertemuan tingkat tinggi negara-negara yang tergabung dalam G20 untuk perhelatan tahun 2022. Penetapan sebagai presidensi G20 itu menunjukkan Indonesia dalam posisi strategis di ranah komunitas internasional. Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendorong momentum Presidensi G20 agar memperkuat perlindungan terhadap buruh migran Indonesia.
Sekretariat Nasional Jaringan Buruh Migran (Seknas JBM), Savitri Wisnuwardhani, mencatat sudah berulang kali buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri divonis hukuman mati. Kasus terbaru dialami buruh migran yang bekerja di Arab Saudi bernama Agus Ahmad Arwas alias Iwan Irawan Empud Arwas dan Nawali Hasal Ihsan alias Ato Suparto bin Data yang dieksekusi otoritas setempat pada 17 Maret 2022.
Savitri mencatat pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia telah berupaya meringankan hukuman terhadap Agus dan Nawali mulai langkah diplomatik sampai melayangkan nota diplomat. “Hukuman mati terhadap kelompok migran secara umum mencederai semangat the Global Compact for Migration (GCM) yang telah didukung oleh Arab Saudi. Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap kelompok migran merupakan elemen kunci dari GCM,” kata Savitri di Jakarta, Selasa (22/3/2022).
JBM mencatat kasus hukuman mati tak hanya menimpa Agus dan Nawali. Sedikitnya terdapat 205 warga negara Indonesia termasuk buruh migran Indonesia yang diancam hukuman mati di berbagai negara.
Baca:
- Perlindungan Hukum Pekerja Migran Masih Perlu Perbaikan
- Kewajiban Negara Melindungi Pekerja Migran Indonesia
Savitri mengusulkan pemerintah Indonesia dan Arab Saudi sebagai pendukung GCM dan anggota G20 memiliki komitmen untuk melindungi kelompok migran dan melakukan perubahan terhadap kebijakan migrasi ketenagakerjaan. Termasuk melakukan upaya lebih serius dan mencari terobosan alternatif penyelesaian masalah secara diplomatik antara dua negara untuk menghapus praktik eksekusi mati pekerja migran.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Bobi Anwar Maarif, menyayangkan terjadinya hukuman mati yang mengancam buruh migran Indonesia. Dia melihat salah satu sebab Agus dan Nawali divonis hukuman mati karena tidak bisa mengakses pemaafan dari keluarga korban yang sesama WNI. Ini terjadi karena korban diindikasikan sebagai buruh migran non prosedural, sehingga tidak dapat ditelusuri datanya karena tidak tercatat.