Masyarakat Adat Amungme Gugat Freeport AS$30 Miliar
Berita

Masyarakat Adat Amungme Gugat Freeport AS$30 Miliar

Lantaran dana yang diperjanjikan tak kunjung diterima masyarakat suku Amungme, PT Freeport Cq Mc MoranCooper & Gold Inc. digugat. Tergugat menyerahkan kepada proses hukum yang berjalan.

Rfq
Bacaan 2 Menit
Masyarakat Adat Amungme Gugat Freeport AS$30 Miliar
Hukumonline

Masyarakat adat suku Amungme Papua menggugat perusahaan tambang tertua di Indonesia PT Freeport Indonesia. Persidangan perdana digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis, (06/8). Titus Natkime, perwakilan pemilik hak ulayat tanah masyarakat adat Amungme, mengatakan hak ulayat tanah dihancurkan oleh Freeport Indonesia (PTFI) Cq Mc Moran Cooper&Gold Inc, sehingga masyarakat menggugat dengan menuntut ganti rugi.

 

Tidak tanggung-tanggung, masyarakat adat suku Amungme menuntut ganti rugi sebesar AS$30 miliar. Itu kita tuntut ganti rugi hak layak sejak tahun 1967 sampai dengan 2009. Menurut Titus tuntutan ganti rugi sebanding dengan penghasilan PTFI perhari mencapai sekitar AS$30 juta. Jumlah ganti rugi itu hasil akumulasi atas penderitaan masyarakat suku Amungme sejak beroperasinya PTFI di tanah suku Amungme, Tembagapura, Papua.

 

Tidak hanya Freeport, masyarakat adat suku Amungme juga menggugat Pemerintah Republik Indonesia Cq Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai tergugat II. Selain itu, PT Indocopper Investama sebagai tergugat III, Gubernur Papua, dan Bupati Mimika.

 

Dalam persidangan pertama, majelis hakim menyarankan agar kedua belah melakukan mediasi. Hakim Ahmad Yusak ditunjuk sebagai mediator. Untuk teknis pelaksanaan mediasi, majelis dipimpin Suharto menyerahkan kepada kedua belah pihak.

 

Meskipun proses mediasi belum dimulai, Titus sudah menyatakan rasa pesimisme. Ia beralasan pengacara tidak tahu banyak kondisi di wilayah kediaman Suku Amungme. Mereka tidak tahu situasi di sana, tidak tahu sosial masyarakat, katanya.

 

Ditambahkan Titus, sebelum gugatan ini dilayangkan, pemegang saham PTFI  Mr James Moffett telah bernegoisasi dengan masyarakat adat Amungme. Sayang, negoisasi tersebut menemui jalan buntu. Sehingga kita gugat ke pengadilan. Sidang akan lanjut terus. Targetnya mereka harus bayar ganti rugi  AS$30 Miliar, katanya

 

Dalam gugatannya, masyarakat adat Amungme mengklaim sebagai penduduk asli yang telah mendiami  tanah di wilayah Tembagapura, Papua seluas 2.610.182 hektar. Kini, sebagian wilayah itu menjadi wilayah pertambangan yang dikelola oleh Freeport. Menurut penggugat, penguasaan tanah ulayat oleh Freeport dilakukan dengan cara yang tidak sah. Sebab, tidak didahului persetujuan masyarakat adat setempat. Selain itu, Freeport diduga melakukan pencabutan paksa atas hak-hak tradisional terhadap tanah ulayat.

 

Meski demikian, penggugat mengakui Freeport telah memberikan sesuatu dalam bentuk partisipasi untuk mendukung kesejahteraan masyarakat. Cuma, bagi masyarakat Amungme partisipasi tersebut tidak dapat disebut sebagai pembayaran ganti rugi. Pasalnya, jumlah yang diberikan tidak berbanding lurus dengan keuntungan berlipat yang diraup perusahaan itu. Penggugat memperkirakan jumlahnya mencapai AS$9,50 miliar pertahun. Sepanjang penguasaan Freeport, tanah ulayat telah dimanfaatkan dengan menguras kekayaan alam berupa tambang. Selain tambang, masyarakat juga mengalami serangkaian penderitaan secara fisik dan mental, yakni ancaman kehancuran alam.

 

Kisruh masyarakat dengan Freeport sebenarnya sudah sering terdengar. Terakhir adalah kasus penembakan karyawan perusahaan dan petugas keamanan. Setiap terjadi kisruh, Freeport berusaha melakukan negosiasi.

 

 

 

Sejak ditekennya kuasa pertambangan di tanah adat suku Amungme pada 17 April 1967 oleh tergugat I dan  tergugat II melalui perantaranya yakni turut tergugat I dan turut tergugat II, kekayaan alam tidak dapat dinikmati masyarakat setempat.  Atas beroperasinya PTFI-Mc Moran  Cooper&Gold Inc di  wilayah Tembagapura menjadikan pembagian lahan saham bagi pihak-pihak berkepentingan. Tergugat I memiliki saham sebesar 81,9%, tergugat II sebesar 9,36%, dan tergugat III sebesar 9,36%. Sedangkan masyarakat adat suku Amungme harus gigit jari tidak memiliki saham seper pun.

 

Tidak puas atas perlakuan tersebut, sempat beberapa kali terjadi negoisasi antara masyarakat adat suku Amungme dengan tergugat I. Yakni tentang pembayaran uang sewa  sebagai dana perwalian. Jumlahnya hanya 1% dari pendapatan perhari penggalian penambangan yang dikerjakan oleh tergugat I. Sayangnya, masyarakat adat suku Amungme hingga kini tak kunjung menerima dana 1%  seperti yang telah disepakati. 27 Juni 2001 masyarakat suku Amungme sempat melayangkan somasi kepada tergugat I. Namun sebelum bergulir ke meja hijau, secara sepihak tergugat I meminta kepada masyarakat suku Amungme agar membatalkan, sehingga tidak mengajukan tuntutan. 

 

Alhasil, kedua belah pihak mengadakan pertemuan. Hasil pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa tergugat I bersedia memberikan dana perwalian  kepada masyarakat pemilik hak ulayat sebesar AS$ 1 juta pertahun. Dengan pembagian, AS$500 ribu kepada masyarakat suku  Amungme dan AS$500 ribu pertahun kepada masyarakat suku Kamoro. Sayangnya, dana yang di janjikan tak kunjung diterima. Akibatnya, masyarakat suku Amungme menggugat para penggugat. Atas dasar itu, masyarakat suku Amungme menuntut  uang pengakuan, uang sewa dari hasil pertambangan, uang kerusakan lingkungan hutan, uang untuk perwalian  serta kerugian atas terjadinya pelanggaran Hak Asasi manusia.

 

Menanggapi gugatan tersebut, Freeport, seperti dikatakan juru bicara perusahaan Mindo Pangaribuan, akan menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum yang sedang berjalan. Kita ikuti saja proses hukum  yang sedang berjalan ini, katanya.

 

Menurut Mindo, jika proses mediasi gagal, maka akan kembali ke pada persidangan awal. Menurutnya, masyarakat di wilayah penambangan  sempat beberapa kali menggugat Freeport.  Namun, pengadilan acap kali mengeluarkan putusan dengan memenangkan Freeport.

 

Dijelaskan Mindo, Freeport telah mentaati seluruh peraturan dan perundang-undangan Pemerintah Indonesia yang berlaku. Sehubungan dengan hak atas tanah, kata Mindo. Freeport beroperasi sesuai dengan Kontrak Karya dengan Pemerintah Indonesia. Freeport ditunjuk sebagai kontraktor tunggal  Pemerintah atas Wilayah Kontrak karya, dan diberikan hak tunggal untuk melakukan kegiatan-kegiatan pertambangan di wilayah tersebut, ujarnya.

 

Pada 8 Januari 1974 telah terjadi kesepakatan antara PTFI dengan perwakilan masyarakat setempat yang berasal dari suku Amungme. Yakni melalui perjanjian yang dikenal January Agreement. Menurutnya, masyarakat setempat menyatakan kesediaanya dan memperbolehkan kelanjutan penambangan di wilayah Kontrak Karya dan area lain. Dengan catatan, tidak bertentangan dengan Kontrak Karya. Freeport juga telah menyepakati untuk membangun sarana bagi kepentingan masyarakat setempat.

 

Pada November 2001, terjadi perjanjian implementasi antara Lembaga Masyarakat Amungme (Lemasa), Lembaga Masyarakat Kamoro (Lemasko) dengan PTFI. Kesepakatan itu menjadi dasar atas dana perwalian atau trust fund. Dana perwalian diberikan sejak 2001 hingga berakhirnya operasi PTFI sesuai Kontrak Karya. Menurutnya, PTFI telah melaksanakan berbagai program pengembangan masyarakat secara khusus untuk masyarakat suku Amungme dan masyarakat suku Kamoro. Yakni, dana kemitraan PTFI unutk program pengembangan masyarakat. Kemudian program 3 desa bagi masyarakat yang terkena dampak langsung pertambangan PTFI. Selain itu, PTFI juga memiliki kebijakan dengan mempekerjakan tenaga kerja Indonesia asal papua

Tags: