Masukan untuk Pemerintah dalam Upaya Memperbaiki UU Cipta Kerja
Terbaru

Masukan untuk Pemerintah dalam Upaya Memperbaiki UU Cipta Kerja

Mulai memperbaiki materi muatan UU Cipta Kerja dari awal; prosedur penyusunan hingga pembahasan harus terbuka dan partisipatif; memperjelas metode omnibus law dalam revisi UU Pembentukan Peraturan; hingga memaksimalkan waktu dua tahun itu untuk penyempurnaan UU Cipta Kerja.

CR-28
Bacaan 3 Menit
Majelis MK saat membacakan putusan pengujian UU Cipta Kerja di ruang sidang MK, Kamis (25/11/2021) lalu. Foto: RES
Majelis MK saat membacakan putusan pengujian UU Cipta Kerja di ruang sidang MK, Kamis (25/11/2021) lalu. Foto: RES

Pemaknaan terhadap Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terus menuai perdebatan publik. Salah satunya, amar putusan yang menyebutkan menangguhkan segala tindakan/kebijakan pemerintah yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru dari UU Cipta Kerja. 

Misalnya, ada kelompok masyarakat yang memahaminya sebagai bentuk penangguhan berlakunya UU Cipta Kerja dan seluruh peraturan pelaksananya selama 2 tahun. Ada juga yang memaknai bahwa UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya tetap berlaku dan dilaksanakan dalam rangka memberi kepastian hukum yang adil. 

Menanggapi hal tersebut, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Muhammad Ali Safa'at menilai menangguhkan tindakan atau kebijakan yang strategis dan berdampak luas ini sangat wajar jika menimbulkan kebingungan. Dalam negara hukum yang disebut kebijakan pasti memiliki bentuk produk hukumnya. Sehingga kebijakan yang strategis dan berdampak luas setidak-tidaknya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).

“Dia (PP/Perpres, red) berbeda dengan Peraturan Menteri (Permen) yang merupakan kebijakan bersifat operasional,” ujar Muhammad Ali Safa'at dalam pemaparan materinya pada webinar bertajuk "2 Tahun Inkonstitusional Bersyarat, Apa dan Bagaimana UU Ciker?", Senin (6/12/2021). (Baca Juga: KSPI Minta Pemerintah Cabut UU Cipta Kerja dan Peraturan Turunannya)

Kemudian, tindakan yang strategis dan berdampak luas, siapa yang berhak menentukan strategis dan berdampak luas? “Itu wilayah pemerintah untuk menentukan. Tapi, tentu saja warga negara dapat men-challenge tindakan itu melalui (gugatan, red) PTUN,” tegasnya.

Safa’at menilai dalam putusan MK itu perbaikan materil harus diperhatikan dalam pembentukan UU Cipta Kerja yang disempurnakan dalam 2 tahun itu. Selain itu, tindak lanjut yang harus dilakukan pemerintah mengubah UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan memasukkan metode omnibus law dan pembentukan kembali UU Cipta Kerja dari awal.

“Jadi bukan revisi atau perubahan, tetapi melakukan proses pembentukan kembali UU Cipta Kerja. Jadi jika diajukan ke prolegnas bukan perubahan atas UU Cipta Kerja, tapi Rancangan UU tentang Cipta Kerja atau mau diberi judul lain ya boleh. Asal menyatakan UU Cipta Kerja tidak berlaku. Jadi proses lagi dari awal, prosedur biasa dari penyusunan hingga masuk pembahasan harus terbuka, masyarakat diajak memberi masukan, dan seterusnya. Ya, seperti UU baru," jelasnya.

Menurutnya, dalam proses pembentukan kembali UU Cipta Kerja yang baru, hal-hal bersifat materil yang selama ini dipersoalkan masyarakat baik di dalam maupun di dalam sidang MK, MK mengharapkan menjadi masukan bagi pemerintah agar diperbaiki. “Sehingga, kemungkinan akan adanya perubahan substansi dapat terjadi dalam proses perbaikan UU Cipta Kerj itu.”

Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ibnu Sina Chandranegara menilai terdapat beberapa gagasan yang dapat dipertimbangkan pengambil kebijakan menyikapi putusan MK tersebut. Misalnya, dalam perbaikan substansi UU Cipta Kerja, pemerintah harus memenuhi 5 tahapan pembentukan UU Cipta Kerja kembali dari awal. Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan.

“Pemerintah harus memaksimalkan waktu dua tahun itu untuk penyempurnaan UU Cipta Kerja. Selain itu, mempersiapkan diri bila UU Cipta Kerja kembali digugat ke MK setelah dua tahun mendatang,” kata dia.

Menyikapi putusan MK itu, kata dia, bila pemerintah ingin merevisi UU Pembentukan Peraturan, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan. Misalnya, reformulasi Pasal 10 dengan memasukan metode omnibus law; reformulasi teknik penyusunan standar baku, dan pasti dalam menerapkan metode yang digunakan; merumuskan batasan yang bisa atau tidak bisa menggunakan metode omnibus law.

Operasionalisasi UU Cipta Kerja

Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi, menegaskan dalam rangka menindaklanjuti putusan MK tentang UU Cipta Kerja itu, ada beberapa hal yang segera dilakukan pemerintah segera sebagai upaya bersama.

Pertama, pemerintah akan memberikan penjelasan komprehensif ke publik, pasar, asosiasi, dan investor yang berkaitan kegiatan investasi dan usaha. Hal ini sudah dilakukan Presiden dan beberapa Menteri sebelumnya. Kedua, operasionalisasi UU Cipta Kerja, pemerintah tetap melakukan operasionalisasi UU Cipta Kerja di seluruh sektor dan pemerintah daerah.

“Dalam hal masih diperlukan peraturan teknis di tingkat menteri dan kepala daerah, kami akan tetap lakukan sebagai operasionalisasi dari UU Cipta Kerja terutama yang berkaitan dengan pelayanan,” kata Elen.

Elen mencontohkan seperti pemberian pelayanan pembangunan gedung; pelaksanaan perizinan berusaha berbasis risiko; perizinan berusaha dengan Online Single Submission (OSS) tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dia melanjutkan bahwa Menteri Dalam Negeri RI akan menerbitkan instruksi kepada kepala daerah untuk operasionalisasi UU Cipta Kerja di daerah.

“Lalu, berkaitan dengan revisi UU Cipta Kerja, pemerintah akan menyiapkan draf revisi kedua UU tersebut sesuai putusan MK dimana revisi akan dimasukan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2022 yakni dalam daftar kumulatif terbuka sebagai akibat putusan MK,” katanya.

Tags:

Berita Terkait